Ibnu Wahdah meriwayatkan dengan sanad sampai ke Abu Utsman An Nahdi, beliau mengatakan: Salah seorang gubernur yang di angkat oleh Khalifah Umar ibnu Khattab berkirim surat kepada khalifah Umar, isi suratnya "Sesungguhnya di sini terdapat sekelompok orang yang berkumpul lantas memanjatkan doa kebaikan untuk kaum muslimin secara umum dan penguasa secara khusus." Balasan surat dari Khalifah Umar: "Hendaknya engkau menghadapku serta membawa mereka" Setelah gubernur tersebut tiba, khalifah Umar berpesan kepada penjaga rumah beliau untuk menyiapkan cambuk, tatkala mereka menemui khalifah Umar, beliau mencambuki pimpinan kelompok tersebut. Pimpinan kelompok tersebut berkata,
"Wahai amirul mu'minin kami bukanlah orang-orang yang di maksud oleh gubernur tersebut, yang dimaksudkan oleh gubernur adalah sekelompok orang yang berasal dari daerah timur." (Maa jaa fii bida' karya Ibnu Wahdah hal 54 & Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 8/558 dan sanadnya berderajat hasan. Lihat Adz Dzikir Al Jama'i baina Al-Ittiba' wal Ibtida' karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais hal 29).
Dalam hal 16 Dr. Al Khumais berkata, "Termasuk bentuk zikir jama'i yang ada saat ini adalah berkumpulnya banyak orang di suatu masjid karena negeri tersebut telah terjadi bencana. Mereka lalu berdoa kepada Allah secara serempak agar bencana segera berakhir." Pada akhir pembahasan di hal 54, Dr Muhammad Al Khumais mengatakan, "Jelaslah bahwa zikir jamaah itu tidak memiliki dasar dalam agama Allah, karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi dan para sahabat berzikir dengan berjamaah." Hal tersebut juga tidak dilakukan oleh salafus shalih bahkan mereka mengingkari orang yang melakukannya.
Tentang hal ini pernah ada orang bertanya kepada Imam Ahmad, "Apakah anda tidak menyukai jika ada sekelompok orang berkumpul untuk berdoa sambil mengangkat tangan?" Jawaban beliau "aku tidak membencinya asalkan berkumpulnya itu tidak dengan sengaja, kecuali mereka berjumlah banyak" (Iqtidha Ash Shirathal Mustaqim 2/630 & Al Amru bittiba' hal 180. Lihat Qowaid Ma'rifati Bida' hal 52).
Bisa kita simpulkan dari perkataan Imam Ahmad di atas bahwa doa berjamaah itu di perbolehkan dengan dua persyaratan:1. Tidak sengaja berkumpul untuk hal tersebut,2. Orang yang hadir tidak berjumlah besar sehingga orang-orang awam yang mengikutinya mengira bahwa amal ini memiliki keutamaan yang bersifat khusus.
***
Oleh: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Senin, 31 Maret 2008
Ketika Wanita Menggoda
Allah ta'ala telah menganugerahkan kepada kaum wanita keindahan yang membuat kaum lelaki tertarik kepada mereka. Namun syariat yang suci ini tidak memperkenankan keindahan itu diobral seperti layaknya barang dagangan di etalase atau di emperan toko. Tapi kenyataan yang kita jumpai sekarang ini wanita justru menjadi sumber fitnah bagi laki-laki. Di jalan-jalan, di acara TV atau di VCD para wanita mengumbar aurat seenaknya bak kontes kecantikan yang melombakan keindahan tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada siksa dan tidak kenal apa itu dosa. Benarlah sabda Rasulullah yang mulia dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, di mana beliau bersabda, "Tidak pernah kutinggalkan sepeninggalku godaan yang lebih besar bagi kaum lelaki daripada wanita." (HR. Bukhari Muslim)
Ya, begitulah realitasnya, wanita menjadi sumber godaan yang telah banyak membuat lelaki bertekuk lutut dan terbenam dalam lumpur yang dibuat oleh syaitan untuk menenggelamkannya. Usaha-usaha untuk menggoda bisa secara halus, baik disadari maupun tidak, secara terang-terangan maupun berkedok seni. Tengoklah kisah Nabi Allah Yusuf 'alaihis salam tatkala istri pembesar Mesir secara terang-terangan menggoda Beliau untuk diajak melakukan tindakan tidak pantas. Nabi Yusuf pun menolak dan berkata, "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik." (QS. Yusuf: 23)
Muhammad bin Ishaq menceritakan, As-Sirri pernah lewat di sebuah jalan di kota Mesir. Karena tahu dirinya menarik, wanita ini berkata, "Aku akan menggoda lelaki ini." Maka wanita itu membuka wajahnya dan memperlihatkan dirinya di hadapan As-Sirri. Beliau lantas bertanya, "Ada apa denganmu?" Wanita itu berkata, "Maukah anda merasakan kasur yang empuk dan kehidupan yang nikmat?" Beliau malah kemudian melantunkan syair,"Berapa banyak pencandu kemaksiatan yang mereguk kenikmatan dari wanita-wanita itu, namun akhirnya ia mati meninggalkan mereka untuk merasakan siksa yang nyata. Mereka menikmati kemaksiatan yang hanya sesaat, untuk merasakan bekas-bekasnya yang tak kunjung sirna. Wahai kejahatan, sesungguhnya Allah melihat dan mendengar hamba-Nya, dengan kehendak Dia pulalah kemaksiatan itu tertutupi jua." (Roudhotul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, karya Ibnul Qayyim)
Perhatikanlah bagaimana Rasulullah telah mewanti-wanti kepada kita sekalian lewat sabda beliau, "Hati-hatilah pada dunia dan hati-hatilah pada wanita karena fitnah pertama bagi Bani Isroil adalah karena wanita." (HR. Muslim) Kini, di era globalisasi, ketika arus informasi begitu deras mengalir, godaan begitu gampang masuk ke rumah-rumah kita. Cukup dengan membuka surat kabar dan majalah, atau dengan mengklik tombol remote control, godaan pun hadir di tengah-tengah kita tanpa permisi, menampilkan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok memamerkan aurat yang semestinya dijaga.
Lalu, sebagian muslimah ikut-ikutan terbawa oleh propaganda gaya hidup seperti ini. Pakaian kehormatan dilepas, diganti dengan pakaian-pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh, tanpa merasa risih. Godaan pun semakin kencang menerpa, dan pergaulan bebas menjadi hal biasa. Maka, kita perlu merenungkan dua bait syair yang diucapkan oleh Sufyan Ats-Tsauri: "Kelezatan-kelezatan yang didapati seseorang dari yang haram, toh akan hilang juga, yang tinggal hanyalah aib dan kehinaan, segala kejahatan akan meninggalkan bekas-bekas buruk, sungguh tak ada kebaikan dalam kelezatan yang berakhir dengan siksaan dalam neraka."
Seorang ulama yang masyhur, Ibnul Qayyim pun memberikan nasihat yang sangat berharga: "Allah Subhanahu wa ta'ala telah menjadikan mata itu sebagai cerminan hati. Apabila seorang hamba telah mampu meredam pandangan matanya, berarti hatinya telah mampu meredam gejolak syahwat dan ambisinya. Apabila matanya jelalatan, hatinya juga akan liar mengumbar syahwat..."
Wallahul Musta'an.
***
Penulis: Abu Harun Aminuddin
Sumber: Buletin at-Tauhid
Ya, begitulah realitasnya, wanita menjadi sumber godaan yang telah banyak membuat lelaki bertekuk lutut dan terbenam dalam lumpur yang dibuat oleh syaitan untuk menenggelamkannya. Usaha-usaha untuk menggoda bisa secara halus, baik disadari maupun tidak, secara terang-terangan maupun berkedok seni. Tengoklah kisah Nabi Allah Yusuf 'alaihis salam tatkala istri pembesar Mesir secara terang-terangan menggoda Beliau untuk diajak melakukan tindakan tidak pantas. Nabi Yusuf pun menolak dan berkata, "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik." (QS. Yusuf: 23)
Muhammad bin Ishaq menceritakan, As-Sirri pernah lewat di sebuah jalan di kota Mesir. Karena tahu dirinya menarik, wanita ini berkata, "Aku akan menggoda lelaki ini." Maka wanita itu membuka wajahnya dan memperlihatkan dirinya di hadapan As-Sirri. Beliau lantas bertanya, "Ada apa denganmu?" Wanita itu berkata, "Maukah anda merasakan kasur yang empuk dan kehidupan yang nikmat?" Beliau malah kemudian melantunkan syair,"Berapa banyak pencandu kemaksiatan yang mereguk kenikmatan dari wanita-wanita itu, namun akhirnya ia mati meninggalkan mereka untuk merasakan siksa yang nyata. Mereka menikmati kemaksiatan yang hanya sesaat, untuk merasakan bekas-bekasnya yang tak kunjung sirna. Wahai kejahatan, sesungguhnya Allah melihat dan mendengar hamba-Nya, dengan kehendak Dia pulalah kemaksiatan itu tertutupi jua." (Roudhotul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, karya Ibnul Qayyim)
Perhatikanlah bagaimana Rasulullah telah mewanti-wanti kepada kita sekalian lewat sabda beliau, "Hati-hatilah pada dunia dan hati-hatilah pada wanita karena fitnah pertama bagi Bani Isroil adalah karena wanita." (HR. Muslim) Kini, di era globalisasi, ketika arus informasi begitu deras mengalir, godaan begitu gampang masuk ke rumah-rumah kita. Cukup dengan membuka surat kabar dan majalah, atau dengan mengklik tombol remote control, godaan pun hadir di tengah-tengah kita tanpa permisi, menampilkan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok memamerkan aurat yang semestinya dijaga.
Lalu, sebagian muslimah ikut-ikutan terbawa oleh propaganda gaya hidup seperti ini. Pakaian kehormatan dilepas, diganti dengan pakaian-pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh, tanpa merasa risih. Godaan pun semakin kencang menerpa, dan pergaulan bebas menjadi hal biasa. Maka, kita perlu merenungkan dua bait syair yang diucapkan oleh Sufyan Ats-Tsauri: "Kelezatan-kelezatan yang didapati seseorang dari yang haram, toh akan hilang juga, yang tinggal hanyalah aib dan kehinaan, segala kejahatan akan meninggalkan bekas-bekas buruk, sungguh tak ada kebaikan dalam kelezatan yang berakhir dengan siksaan dalam neraka."
Seorang ulama yang masyhur, Ibnul Qayyim pun memberikan nasihat yang sangat berharga: "Allah Subhanahu wa ta'ala telah menjadikan mata itu sebagai cerminan hati. Apabila seorang hamba telah mampu meredam pandangan matanya, berarti hatinya telah mampu meredam gejolak syahwat dan ambisinya. Apabila matanya jelalatan, hatinya juga akan liar mengumbar syahwat..."
Wallahul Musta'an.
***
Penulis: Abu Harun Aminuddin
Sumber: Buletin at-Tauhid
Faedah Seputar Basmalah
Tafsir Basmalah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin berkata: "Tafsirnya adalah: Sesungguhnya seorang insan meminta tolong dengan perantara semua Nama Allah. Kami katakan: yang dimaksud adalah setiap nama yang Allah punya. Kami menyimpulkan hal itu dari ungkapan isim (nama) yang berbentuk mufrad (tunggal) dan mudhaf (disandarkan) maka bermakna umum. Seorang yang membaca basmalah bertawassul kepada Allah ta'ala dengan menyebutkan sifat rahmah. Karena sifat rahmah akan membantu insan untuk melakukan amalnya. Dan orang yang membaca basmalah ingin meminta tolong dengan perantara nama-nama Allah untuk memudahkan amal-amalnya." (Shifatush Shalah, hal. 64).
Kitabullah Diawali Basmalah
Penulisan Al-Qur'an diawali dengan basmalah. Hal itu telah ditegaskan tidak hanya oleh seorang ulama, di antara mereka adalah Al Qurthuby yarhamuhullah di dalam tafsirnya. Beliau menyebutkan bahwa para sahabat radhiyallahu 'anhum telah sepakat menjadikan basmalah tertulis sebagai ayat permulaan dalam Al-Qur'an, inilah kesepakatan mereka yang menjadi permanen -semoga Allah meridhai mereka- dan Al Hafizh Ibnu Hajar yarhamuhullah pun menyebutkan pernyataan serupa di dalam Fathul Baari (Ad Dalaa'il Wal Isyaaraat 'ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 9).
Teladan Nabi
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menulis surat memulai dengan bismillaahirrahmaanirrahiim (lihat Shahih Bukhari 4/402 Kitabul Jihad Bab Du'a Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ilal Islam wa Nubuwah wa 'an laa Yattakhidza Ba'dhuhum Ba'dhan Arbaaban min duunillaah wa Qauluhu ta'ala Maa kaana libasyarin 'an yu'tiyahullaahu 'ilman ila akhiril ayah, Fathul Bari 6/109 lihatlah perincian tentang hal ini di dalam Zaadul Ma'aad fii Hadyi Khairil 'Ibaad karya Ibnul Qayyim 3/688-696, beliau menceritakan surat menyurat Nabi kepada para raja dan lain sebagainya (Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 17). Di dalam Kitab Bad'ul Wahyi Imam Bukhari menyebutkan hadits: "Bismillahirrahmaanirrahiim min Muhammadin 'Abdillah wa Rasuulihi ila Hiraqla 'Azhiimir Ruum..." (Shahih Bukhari no. 7, Shahih Muslim no. 1773 dari hadits Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma, lihat Hushuulul Ma'muul, hal. 9, lihat juga Ad Dalaa'il Wal Isyaaraat 'ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 9).
Hadits Tentang Keutamaan Basmalah
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: "Adapun hadits-hadits qauliyah tentang masalah basmalah, seperti hadits, 'Kullu amrin dzii baalin laa yubda'u fiihi bibismillaahi fahuwa abtar.' hadits-hadits tersebut adalah hadits yang dilemahkan oleh para ulama." Hadits ini dikeluarkan oleh Al Khathib dalam Al Jami' (2/69,70), As Subki dalam Thabaqaat Syafi'iyah Al Kubra, muqaddimah hal. 12 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, tetapi hadits itu adalah hadits dha'ifun jiddan (sangat lemah) karena ia merupakan salah satu riwayat Ahmad bin Muhammad bin Imran yang dikenal dengan panggilan Ibnul Jundi. Al Khathib berkata di dalam Tarikh-nya (5/77): 'Orang ini dilemahkan riwayat-riwayatnya dan ada celaan pada madzhabnya.' Maksudnya: karena ia cenderung pada ajaran Syi'ah. Ibnu 'Iraq berkata di dalam Tanziihusy Syari'ah Al Marfuu'ah (1/33): 'Dia adalah pengikut Syi'ah. Ibnul Jauzi menuduhnya telah memalsukan hadits.' Hadits ini pun telah dinyatakan lemah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah sebagaimana dinukil dalam Futuhaat Rabbaniyah (3/290) silakan periksa Hushuulul Ma'muul, hal. 9). Adapun hadits: 'Kullu amrin laa yubda'u fiihi bibismillaahiirahmaanirrahiim fahuwa ajdzam' adalah hadits dha'if, didha'ifkan Syaikh Al Albani dalam Dha'iful Jaami' 4217 (lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur'an Al 'Azhim tahqiq Hani Al Hajj, 1/24).
Hikmah Memulai dengan Basmalah
Hikmah yang tersimpan dalam mengawali perbuatan dengan bismillahirrahmaanirraahiim adalah demi mencari barakah dengan membacanya. Karena ucapan ini adalah kalimat yang berbarakah, sehingga apabila disebutkan di permulaan kitab atau di awal risalah maka hal itu akan membuahkan barakah baginya. Selain itu di dalamnya juga terdapat permohonan pertolongan kepada Allah ta'ala (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 17). Selain itu basmalah termasuk pujian dan dzikir yang paling mulia (lihat Taudhihaat Al Kasdalamyifaat, hal. 48).
Apakah Basmalah Termasuk Al Fatihah ?
Syaikh Al 'Utsaimin berkata: "Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada di antara mereka yang berpendapat ia adalah termasuk ayat dari Al Fatihah dan dibaca dengan keras dalam shalat jahriyah (dibaca keras oleh imam) dan mereka berpandangan tidak sah orang yang shalat tanpa membaca basmalah karena ia termasuk surat Al Fatihah. Dan ada pula di antara mereka yang berpendapat bahwa ia bukan bagian dari Al Fatihah namun sebuah ayat tersendiri di dalam Kitabullah. Pendapat inilah yang benar. Dalilnya adalah nash serta konteks isi surat tersebut." Kemudian beliau merinci alasan beliau (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9 cet Darul Kutub 'Ilmiyah).
Sahkah Shalat Tanpa Membaca Basmalah ?
Dari Anas radhiyallahu 'anhu: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar mengawali shalat dengan membaca Alhamdulillaahi Rabbil 'aalamiin (Muttafaqun 'alaihi). Muslim menambahkan: Mereka semua tidak membaca bismillaahirrahmaanirrahiim di awal bacaan maupun di akhirnya. Sedangkan dalam riwayat Ahmad, Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah Anas berkata: Mereka semua tidak mengeraskan bacaan bismillaahirrahmaanirrahiim. Di dalam riwayat lainnya dalam Shahih Ibnu Khuzaimah dengan kata-kata: Mereka semua membacanya dengan sirr (pelan)
Diantara faidah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
Tata cara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khulafa'ur rasyidin membuka bacaan shalat dengan alhamdulillaahi rabbil 'aalamiin.
Hadits ini menunjukkan bahwa basmalah bukan termasuk bagian awal dari surat Al Fatihah. Oleh sebab itu tidak wajib membacanya beriringan dengan surat ini. Akan tetapi hukum membacanya hanyalah sunnah sebagai pemisah antara surat-surat, meskipun dalam hal ini memang ada perselisihan pendapat ulama.
Para imam yang empat berbeda pendapat tentang hukum membaca basmalah:
Imam Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad berpendapat bacaan itu disyari'atkan di dalam shalat.
Imam Malik berpendapat bacaan itu tidak disyari'atkan untuk dibaca dalam shalat wajib, baik dengan pelan maupun keras.
Kemudian Imam yang tiga (Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad) berselisih tentang hukum membacanya:
Imam Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat membacanya adalah sunnah bukan wajib karena basmalah bukan bagian dari Al Fatihah.
Imam Syafi'i berpendapat membacanya adalah wajib.(lihat Taudhihul Ahkaam, 1/413-414 cet. Dar Ibnul Haitsam)
Menjahrkan Basmalah dalam Shalat Jahriyah
Syaikh Ibnu 'Utsaimin ditanya: Apakah hukum menjahrkan (mengeraskan bacaan) basmalah? Beliau menjawab: "Pendapat yang lebih kuat adalah mengeraskan bacaan basmalah itu tidak semestinya dilakukan dan yang sunnah adalah melirihkannya karena ia bukan bagian dari surat Al Fatihah. Akan tetapi jika ada orang yang terkadang membacanya dengan keras maka tidak mengapa. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hendaknya memang dikeraskan kadang-kadang sebab adanya riwayat yang menceritakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengeraskannya (HR. Nasa'i di dalam Al Iftitah Bab Qiro'atu bismillahirrahmaanirrahiim (904), Ibnu Hibban 1788, Ibnu Khuzaimah 499, Daruquthni 1/305, Baihaqi 2/46,58) Akan tetapi hadits yang jelas terbukti keabsahannya menerangkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam biasa tidak mengeraskannya (berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu: Aku pernah shalat menjadi makmum di belakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di belakang Abu Bakar, di belakang Umar dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang memperdengarkan bacaan bismillahirrahmanirrahiim (HR. Muslim dalam kitab Shalat Bab Hujjatu man Qoola la yajharu bil basmalah (399)) Akan tetapi apabila seandainya ada seseorang yang menjahrkannya dalam rangka melunakkan hati suatu kaum yang berpendapat jahr saya berharap hal itu tidak mengapa." (Fatawa Arkanil Islam, hal. 316-317)
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassaam mengatakan: "Syaikhul Islam mengatakan: Terus menerus mengeraskan bacaan (basmalah) adalah bid'ah dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hadits-hadits yang menegaskan cara keras dalam membacanya semuanya adalah palsu." (Taudhihul Ahkaam, 1/414) Imam Ibnu Katsir mengatakan : "...para ulama sepakat menyatakan sah orang yang mengeraskan bacaan basmalah maupun yang melirihkannya..." (Tafsir Al-Qur'an Al 'Azhim, 1/22).
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin berkata: "Tafsirnya adalah: Sesungguhnya seorang insan meminta tolong dengan perantara semua Nama Allah. Kami katakan: yang dimaksud adalah setiap nama yang Allah punya. Kami menyimpulkan hal itu dari ungkapan isim (nama) yang berbentuk mufrad (tunggal) dan mudhaf (disandarkan) maka bermakna umum. Seorang yang membaca basmalah bertawassul kepada Allah ta'ala dengan menyebutkan sifat rahmah. Karena sifat rahmah akan membantu insan untuk melakukan amalnya. Dan orang yang membaca basmalah ingin meminta tolong dengan perantara nama-nama Allah untuk memudahkan amal-amalnya." (Shifatush Shalah, hal. 64).
Kitabullah Diawali Basmalah
Penulisan Al-Qur'an diawali dengan basmalah. Hal itu telah ditegaskan tidak hanya oleh seorang ulama, di antara mereka adalah Al Qurthuby yarhamuhullah di dalam tafsirnya. Beliau menyebutkan bahwa para sahabat radhiyallahu 'anhum telah sepakat menjadikan basmalah tertulis sebagai ayat permulaan dalam Al-Qur'an, inilah kesepakatan mereka yang menjadi permanen -semoga Allah meridhai mereka- dan Al Hafizh Ibnu Hajar yarhamuhullah pun menyebutkan pernyataan serupa di dalam Fathul Baari (Ad Dalaa'il Wal Isyaaraat 'ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 9).
Teladan Nabi
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menulis surat memulai dengan bismillaahirrahmaanirrahiim (lihat Shahih Bukhari 4/402 Kitabul Jihad Bab Du'a Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ilal Islam wa Nubuwah wa 'an laa Yattakhidza Ba'dhuhum Ba'dhan Arbaaban min duunillaah wa Qauluhu ta'ala Maa kaana libasyarin 'an yu'tiyahullaahu 'ilman ila akhiril ayah, Fathul Bari 6/109 lihatlah perincian tentang hal ini di dalam Zaadul Ma'aad fii Hadyi Khairil 'Ibaad karya Ibnul Qayyim 3/688-696, beliau menceritakan surat menyurat Nabi kepada para raja dan lain sebagainya (Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 17). Di dalam Kitab Bad'ul Wahyi Imam Bukhari menyebutkan hadits: "Bismillahirrahmaanirrahiim min Muhammadin 'Abdillah wa Rasuulihi ila Hiraqla 'Azhiimir Ruum..." (Shahih Bukhari no. 7, Shahih Muslim no. 1773 dari hadits Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma, lihat Hushuulul Ma'muul, hal. 9, lihat juga Ad Dalaa'il Wal Isyaaraat 'ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 9).
Hadits Tentang Keutamaan Basmalah
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: "Adapun hadits-hadits qauliyah tentang masalah basmalah, seperti hadits, 'Kullu amrin dzii baalin laa yubda'u fiihi bibismillaahi fahuwa abtar.' hadits-hadits tersebut adalah hadits yang dilemahkan oleh para ulama." Hadits ini dikeluarkan oleh Al Khathib dalam Al Jami' (2/69,70), As Subki dalam Thabaqaat Syafi'iyah Al Kubra, muqaddimah hal. 12 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, tetapi hadits itu adalah hadits dha'ifun jiddan (sangat lemah) karena ia merupakan salah satu riwayat Ahmad bin Muhammad bin Imran yang dikenal dengan panggilan Ibnul Jundi. Al Khathib berkata di dalam Tarikh-nya (5/77): 'Orang ini dilemahkan riwayat-riwayatnya dan ada celaan pada madzhabnya.' Maksudnya: karena ia cenderung pada ajaran Syi'ah. Ibnu 'Iraq berkata di dalam Tanziihusy Syari'ah Al Marfuu'ah (1/33): 'Dia adalah pengikut Syi'ah. Ibnul Jauzi menuduhnya telah memalsukan hadits.' Hadits ini pun telah dinyatakan lemah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah sebagaimana dinukil dalam Futuhaat Rabbaniyah (3/290) silakan periksa Hushuulul Ma'muul, hal. 9). Adapun hadits: 'Kullu amrin laa yubda'u fiihi bibismillaahiirahmaanirrahiim fahuwa ajdzam' adalah hadits dha'if, didha'ifkan Syaikh Al Albani dalam Dha'iful Jaami' 4217 (lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur'an Al 'Azhim tahqiq Hani Al Hajj, 1/24).
Hikmah Memulai dengan Basmalah
Hikmah yang tersimpan dalam mengawali perbuatan dengan bismillahirrahmaanirraahiim adalah demi mencari barakah dengan membacanya. Karena ucapan ini adalah kalimat yang berbarakah, sehingga apabila disebutkan di permulaan kitab atau di awal risalah maka hal itu akan membuahkan barakah baginya. Selain itu di dalamnya juga terdapat permohonan pertolongan kepada Allah ta'ala (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 17). Selain itu basmalah termasuk pujian dan dzikir yang paling mulia (lihat Taudhihaat Al Kasdalamyifaat, hal. 48).
Apakah Basmalah Termasuk Al Fatihah ?
Syaikh Al 'Utsaimin berkata: "Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada di antara mereka yang berpendapat ia adalah termasuk ayat dari Al Fatihah dan dibaca dengan keras dalam shalat jahriyah (dibaca keras oleh imam) dan mereka berpandangan tidak sah orang yang shalat tanpa membaca basmalah karena ia termasuk surat Al Fatihah. Dan ada pula di antara mereka yang berpendapat bahwa ia bukan bagian dari Al Fatihah namun sebuah ayat tersendiri di dalam Kitabullah. Pendapat inilah yang benar. Dalilnya adalah nash serta konteks isi surat tersebut." Kemudian beliau merinci alasan beliau (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9 cet Darul Kutub 'Ilmiyah).
Sahkah Shalat Tanpa Membaca Basmalah ?
Dari Anas radhiyallahu 'anhu: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar mengawali shalat dengan membaca Alhamdulillaahi Rabbil 'aalamiin (Muttafaqun 'alaihi). Muslim menambahkan: Mereka semua tidak membaca bismillaahirrahmaanirrahiim di awal bacaan maupun di akhirnya. Sedangkan dalam riwayat Ahmad, Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah Anas berkata: Mereka semua tidak mengeraskan bacaan bismillaahirrahmaanirrahiim. Di dalam riwayat lainnya dalam Shahih Ibnu Khuzaimah dengan kata-kata: Mereka semua membacanya dengan sirr (pelan)
Diantara faidah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
Tata cara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khulafa'ur rasyidin membuka bacaan shalat dengan alhamdulillaahi rabbil 'aalamiin.
Hadits ini menunjukkan bahwa basmalah bukan termasuk bagian awal dari surat Al Fatihah. Oleh sebab itu tidak wajib membacanya beriringan dengan surat ini. Akan tetapi hukum membacanya hanyalah sunnah sebagai pemisah antara surat-surat, meskipun dalam hal ini memang ada perselisihan pendapat ulama.
Para imam yang empat berbeda pendapat tentang hukum membaca basmalah:
Imam Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad berpendapat bacaan itu disyari'atkan di dalam shalat.
Imam Malik berpendapat bacaan itu tidak disyari'atkan untuk dibaca dalam shalat wajib, baik dengan pelan maupun keras.
Kemudian Imam yang tiga (Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad) berselisih tentang hukum membacanya:
Imam Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat membacanya adalah sunnah bukan wajib karena basmalah bukan bagian dari Al Fatihah.
Imam Syafi'i berpendapat membacanya adalah wajib.(lihat Taudhihul Ahkaam, 1/413-414 cet. Dar Ibnul Haitsam)
Menjahrkan Basmalah dalam Shalat Jahriyah
Syaikh Ibnu 'Utsaimin ditanya: Apakah hukum menjahrkan (mengeraskan bacaan) basmalah? Beliau menjawab: "Pendapat yang lebih kuat adalah mengeraskan bacaan basmalah itu tidak semestinya dilakukan dan yang sunnah adalah melirihkannya karena ia bukan bagian dari surat Al Fatihah. Akan tetapi jika ada orang yang terkadang membacanya dengan keras maka tidak mengapa. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hendaknya memang dikeraskan kadang-kadang sebab adanya riwayat yang menceritakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengeraskannya (HR. Nasa'i di dalam Al Iftitah Bab Qiro'atu bismillahirrahmaanirrahiim (904), Ibnu Hibban 1788, Ibnu Khuzaimah 499, Daruquthni 1/305, Baihaqi 2/46,58) Akan tetapi hadits yang jelas terbukti keabsahannya menerangkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam biasa tidak mengeraskannya (berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu: Aku pernah shalat menjadi makmum di belakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di belakang Abu Bakar, di belakang Umar dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang memperdengarkan bacaan bismillahirrahmanirrahiim (HR. Muslim dalam kitab Shalat Bab Hujjatu man Qoola la yajharu bil basmalah (399)) Akan tetapi apabila seandainya ada seseorang yang menjahrkannya dalam rangka melunakkan hati suatu kaum yang berpendapat jahr saya berharap hal itu tidak mengapa." (Fatawa Arkanil Islam, hal. 316-317)
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassaam mengatakan: "Syaikhul Islam mengatakan: Terus menerus mengeraskan bacaan (basmalah) adalah bid'ah dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hadits-hadits yang menegaskan cara keras dalam membacanya semuanya adalah palsu." (Taudhihul Ahkaam, 1/414) Imam Ibnu Katsir mengatakan : "...para ulama sepakat menyatakan sah orang yang mengeraskan bacaan basmalah maupun yang melirihkannya..." (Tafsir Al-Qur'an Al 'Azhim, 1/22).
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Hadits Dho'if menjadi Sandaran Hukum
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Saat ini telah tersebar berbagai macam perkara baru dalam agama ini (baca: bid'ah). Seperti contohnya adalah acara tahlilan /yasinan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pernah pula dilakukan oleh para sahabatnya. Dan kebanyakan bid'ah saat ini terjadi dikarenakan tersebarnya hadits dho'if/lemah di tengah-tengah umat.
Contoh dari hadits dho'if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut adalah, "Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara kalian". (Hadits ini dho'if (lemah) diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa'i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul (tidak dikenal)).
Selain itu juga, hadits dho'if digunakan oleh sebagian orang untuk menjelaskan fadh'ail a'mal yaitu mendorong umat untuk melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka agar tidak melakukan kejelekaan. Hadits dho'if (bahkan palsu) ini semakin tersebar -di zaman yang penuh kebodohan mengenai derajat hadits saat ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para da'i. Namun menjadi suatu pertanyaan penting, apakah hadits dho'if (atau bahkan palsu) boleh dijadikan sandaran hukum?! Simaklah pembahasan berikut ini
Larangan Berdusta Atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Kaum muslimin yang semoga selalu ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran. Perlu diketahui, bahwa berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk dosa besar karena beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam orang yang demikian dengan neraka. Sebagaimana sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya,
"Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka". (HR. Bukhari & Muslim).
Dari hadits ini terlihat jelas bahwasanya seseorang yang menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa mengetahui keshohihannya, dia terancam masuk neraka.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, "Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan setiap yang dia dengar." (HR. Muslim). Imam Malik -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, "Ketahuilah, sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika dia menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang imam (yang menjadi panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya. (Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa'id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani).
Dari perkataan Imam Malik ini terlihat bahwasanya walaupun seseorang tidak dikatakan berdusta secara langsung namun dia dapat dikatakan mendukung kedustaan karena menukil banyak hadits lalu mendiamkannya, padahal bisa saja hadits yang disampaikan dho'if atau dusta. (Lihat Muntahal Amani)
Hukum Memakai Hadits Dho'if
Setelah penjelasan larangan berdusta atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu seseorang tidak boleh menyampaikan suatu hadits tanpa tahu terlebih dahulu keshohihannya, maka perlu kita ketahui pula hukum menggunakan hadits dho'if dengan melihat perkataan Imam Muslim -semoga Allah merahmati beliau- berikut ini.
Imam Muslim -rahimahullah- berkata, "Ketahuilah -semoga Allah memberikan taufiq padamu- bahwasaya wajib atas setiap orang yang mengerti pemilahan antara riwayat yang shohih dari riwayat yang lemah dan antara perowi yang tsiqoh (terpercaya, pen) dari perowi yang tertuduh (berdusta, pen); agar tidak meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui keshohihan periwatnya dan terpercayanya para penukilnya, dan hendaknya dia menjauhi riwayat-riwayat yang berasal dari orang-orang yang tertuduh dan para ahli bid'ah (yang sengit permusuhannya terhadap ahlus sunnah).
Dalil dari perkataan kami ini adalah firman Allah yang artinya,
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (Q.S. Al Hujurat: 6)
Ayat yang kami sebutkan ini menunjukkan bahwa berita orang yang fasik gugur dan tidak diterima dan persaksian orang yang tidak adil adalah tertolak." (Muqoddimah Shohih Muslim, dinukil dari Majalah Al Furqon). Maka dapat disimpulkan bahwa hadits dho'if tidak boleh dijadikan sandaran hukum karena periwayat hadits dho'if termasuk orang yang fasik.
Bolehkah Hadits Dho'if Digunakan dalam Fadho'il A'mal?!
Ada sebagian kaum muslimin yang sering membawakan hadits dho'if (bahkan sangat dho'if/lemah) tentang fadha'il a'amal (keutamaan berbagai amal) dalam dakwah mereka. Mereka beralasan bahwa para ulama telah sepakat bolehnya menggunakan hadits dho'if dalam fadha'il a'mal. Padahala di pihak lain, banyak ulama yang menyatakan hadits dho'if tidak boleh diamalkan secara mutlak meskipun di dalam masalah fadha'il a'mal.
Perlu kaum muslimin ketahui, bahwa maksud sebagian ulama yang membolehkan menggunakan hadits dho'if bukanlah yang dimaksudkan mereka menggunakan hadits dho'if serampangan begitu saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya dibolehkan menggunakan hadits dho'if untuk menjelaskan fadha'il a'mal (keutamana amalan) dalam amalan yang telah disyari'atkan dalam syari'at dengan dalil-dalil yang shohih seperti dzikir, puasa, dan shalat. Hal ini dimaksudkan agar jiwa manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi takut untuk melaksanakan suatu kejelekan. Para ulama tidak menghendaki penetapan hukum syar'i dengan hadits-hadits yang dho'if/lemah yang tidak memiliki landasan pokok dari hadits yang shohih. Seperti yasinan/tahlilan tidak memiliki dalil dari hadits yang shohih sama sekali yang menjadi landasan pokok dalam penetapan hukum.
Para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dho'if di dalam fadho'il a'mal juga memberikan persyaratan bagi hadits yang boleh diamalkan dalam hal tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah:
(1) Hendaknya hadits tersebut bukanlah hadits yang sangat dho'if/lemah,
(2). Hendaknya hadits tersebut masuk di bawah hadits shohih (atau hasan, pen) yang umum,
(3) Di dalam mengamalkannya tidak diyakini keshohihannya,
(4) Hadits ini tidak boleh dipopulerkan.
Syarat-syarat di atas di dalam prakteknya sulit sekali diterapkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Kebanyakan dari mereka tidak bisa memilah antara hadits dho'if dengan hadits yang dho'if jiddan (lemah sekali) dan antara hadits yang di dalamnya memiliki landasan dari hadits yang shohih dengan yang tidak. (Lihat Majalah Al Furqon, thn.6, ed.2 dan Ilmu Ushul Bida')
Maka pendapat terkuat dalam hal ini adalah bahwa hadits dho'if tidak boleh digunakan secara mutlak termasuk juga dalam fadha'il a'mal. Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh TuasikalMuroja'ah: Ustadz Aris Munandar
Contoh dari hadits dho'if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut adalah, "Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara kalian". (Hadits ini dho'if (lemah) diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa'i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul (tidak dikenal)).
Selain itu juga, hadits dho'if digunakan oleh sebagian orang untuk menjelaskan fadh'ail a'mal yaitu mendorong umat untuk melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka agar tidak melakukan kejelekaan. Hadits dho'if (bahkan palsu) ini semakin tersebar -di zaman yang penuh kebodohan mengenai derajat hadits saat ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para da'i. Namun menjadi suatu pertanyaan penting, apakah hadits dho'if (atau bahkan palsu) boleh dijadikan sandaran hukum?! Simaklah pembahasan berikut ini
Larangan Berdusta Atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Kaum muslimin yang semoga selalu ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran. Perlu diketahui, bahwa berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk dosa besar karena beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam orang yang demikian dengan neraka. Sebagaimana sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya,
"Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka". (HR. Bukhari & Muslim).
Dari hadits ini terlihat jelas bahwasanya seseorang yang menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa mengetahui keshohihannya, dia terancam masuk neraka.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, "Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan setiap yang dia dengar." (HR. Muslim). Imam Malik -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, "Ketahuilah, sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika dia menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang imam (yang menjadi panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya. (Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa'id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani).
Dari perkataan Imam Malik ini terlihat bahwasanya walaupun seseorang tidak dikatakan berdusta secara langsung namun dia dapat dikatakan mendukung kedustaan karena menukil banyak hadits lalu mendiamkannya, padahal bisa saja hadits yang disampaikan dho'if atau dusta. (Lihat Muntahal Amani)
Hukum Memakai Hadits Dho'if
Setelah penjelasan larangan berdusta atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu seseorang tidak boleh menyampaikan suatu hadits tanpa tahu terlebih dahulu keshohihannya, maka perlu kita ketahui pula hukum menggunakan hadits dho'if dengan melihat perkataan Imam Muslim -semoga Allah merahmati beliau- berikut ini.
Imam Muslim -rahimahullah- berkata, "Ketahuilah -semoga Allah memberikan taufiq padamu- bahwasaya wajib atas setiap orang yang mengerti pemilahan antara riwayat yang shohih dari riwayat yang lemah dan antara perowi yang tsiqoh (terpercaya, pen) dari perowi yang tertuduh (berdusta, pen); agar tidak meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui keshohihan periwatnya dan terpercayanya para penukilnya, dan hendaknya dia menjauhi riwayat-riwayat yang berasal dari orang-orang yang tertuduh dan para ahli bid'ah (yang sengit permusuhannya terhadap ahlus sunnah).
Dalil dari perkataan kami ini adalah firman Allah yang artinya,
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (Q.S. Al Hujurat: 6)
Ayat yang kami sebutkan ini menunjukkan bahwa berita orang yang fasik gugur dan tidak diterima dan persaksian orang yang tidak adil adalah tertolak." (Muqoddimah Shohih Muslim, dinukil dari Majalah Al Furqon). Maka dapat disimpulkan bahwa hadits dho'if tidak boleh dijadikan sandaran hukum karena periwayat hadits dho'if termasuk orang yang fasik.
Bolehkah Hadits Dho'if Digunakan dalam Fadho'il A'mal?!
Ada sebagian kaum muslimin yang sering membawakan hadits dho'if (bahkan sangat dho'if/lemah) tentang fadha'il a'amal (keutamaan berbagai amal) dalam dakwah mereka. Mereka beralasan bahwa para ulama telah sepakat bolehnya menggunakan hadits dho'if dalam fadha'il a'mal. Padahala di pihak lain, banyak ulama yang menyatakan hadits dho'if tidak boleh diamalkan secara mutlak meskipun di dalam masalah fadha'il a'mal.
Perlu kaum muslimin ketahui, bahwa maksud sebagian ulama yang membolehkan menggunakan hadits dho'if bukanlah yang dimaksudkan mereka menggunakan hadits dho'if serampangan begitu saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya dibolehkan menggunakan hadits dho'if untuk menjelaskan fadha'il a'mal (keutamana amalan) dalam amalan yang telah disyari'atkan dalam syari'at dengan dalil-dalil yang shohih seperti dzikir, puasa, dan shalat. Hal ini dimaksudkan agar jiwa manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi takut untuk melaksanakan suatu kejelekan. Para ulama tidak menghendaki penetapan hukum syar'i dengan hadits-hadits yang dho'if/lemah yang tidak memiliki landasan pokok dari hadits yang shohih. Seperti yasinan/tahlilan tidak memiliki dalil dari hadits yang shohih sama sekali yang menjadi landasan pokok dalam penetapan hukum.
Para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dho'if di dalam fadho'il a'mal juga memberikan persyaratan bagi hadits yang boleh diamalkan dalam hal tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah:
(1) Hendaknya hadits tersebut bukanlah hadits yang sangat dho'if/lemah,
(2). Hendaknya hadits tersebut masuk di bawah hadits shohih (atau hasan, pen) yang umum,
(3) Di dalam mengamalkannya tidak diyakini keshohihannya,
(4) Hadits ini tidak boleh dipopulerkan.
Syarat-syarat di atas di dalam prakteknya sulit sekali diterapkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Kebanyakan dari mereka tidak bisa memilah antara hadits dho'if dengan hadits yang dho'if jiddan (lemah sekali) dan antara hadits yang di dalamnya memiliki landasan dari hadits yang shohih dengan yang tidak. (Lihat Majalah Al Furqon, thn.6, ed.2 dan Ilmu Ushul Bida')
Maka pendapat terkuat dalam hal ini adalah bahwa hadits dho'if tidak boleh digunakan secara mutlak termasuk juga dalam fadha'il a'mal. Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh TuasikalMuroja'ah: Ustadz Aris Munandar
Langganan:
Postingan (Atom)