Senin, 09 Agustus 2010

Derajat hadits : Bermaafan jelang memasuki bulan Ramadhan

Mengenai Derajat riwayat berikut, karena dengan hadits ini sebahagian masyarakat kita berdasar / berdalil untuk saling memaafkan sebelum Bulan Ramadhan yaitu :
Do'a Malaikat Jibril menjelang Ramadhan


"Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
* Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
* Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami isteri;
* Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.Maka Rasulullah pun mengatakan Amiin sebanyak 3 kali ."

Namun anehnya, hampir semua orang yang menuliskan ataupun membawakan hadits ini tidak ada satupun yang menyebutkan Isnad (periwayatan) hadits. karena setelah dicari, hadits diatas tidak ditemukan di kitab-kitab hadits

maka Ulama' terdahulu, Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah, pernah menyampaikan :
"Al-isnadu minad-dien", Artinya "Periwayatan (isnad) itu bagian dari agama, jika tidak ada isnad, maka orang akan bicara seenaknya. Apalagi jika disandarkan kepada Nabi yang mulia Muhammad Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam.

Ketika dahulu banyak orang yang berdusta atas nama Rasulullah, para Ulama' bertanya kepada mereka yang menyampaikan / menyandarkan perkataannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:

"Samulanaa rijalakum ...." Artinya sebutkanlah orang-orang yang meriwayatkan darimu.

Inilah ilmu besar dalam ISLAM, yakni Ilmu Periwayatan Hadits atau Ilmu Hadits.Ilmu besar yang tidak ada pada agama lainnya Dan perhatikan, tidak semua hadits dapat kita amalkan, karena harus dilihat kembali, apakah hadits itu shahih, hasan, dha'if, maudhu atau la asla lahu.

Syarat Hadits dikatakan shah (Dan dishahkan oleh ahlinya, yakni para Muhaditsin), yakni :

1) Rawi-rawinya (periwayatnya) tsiqoh (terpercaya, tidak pernah berdusta dalam hal yang biasa orang-orang pada zaman ini berdusta)
2) Rawi-rawinya dhabith (kuat hafalannya)
3) Tidak ada illat (cacat pada sanad maupun matan)
4) Tidak syadz (rawi yang tsiqoh menyelisihi rawi-rawi yang lebih tsiqoh)
5) Masing-masing rawi yang saling meriwayatkan bertemu pada zamannya (maushul)

Oleh karenanya, sebagaimana Hadits No. 1291 yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah pada Kitab Shahihnya :

Dari Mughirah radhiyallahu 'anhu, ia berkata "Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam":

"Sesungguhnya berdusta atas (nama) ku tidaklah sama seperti berdusta atas nama orang lain. Barangsiapa berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka."

Hadits Shahih diriwayatkan Imam Al-Bukhari (No. 1291) dan Imam Muslim (I/10),diriwayatkan pula semakna dengan hadits ini oleh Abu Ya'la (I/414 no. 962),cet. Darul Kutub al-'Ilmiyyah dari Sa'id bin Zaid

Jadi sebaiknya pertanyaan diajukan kepada mereka, yakni kepada siapapun yang menyampaikan hadist yang disandarkan kepada Nabi yang Mulia, Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam:

1) DI KITAB MANA DIAMBIL HADITS TERSEBUT ?
2) APAKAH HADITSNYA SHAH ??
3) SIAPA YANG MENSHAHIHKAN HADITS INI ???

Jika belum mengetahui jawaban yang pasti, hendaknya kita berhati-hati dalam menyampaikan apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Karena termasuk 2 PENDUSTA dan diancam NERAKA adalah,

Pertama, yakni mereka yang membuat hadits palsu dengan sengaja dan
kedua, mereka yang dengan sengaja menyebarkannya, setelah mengetahui bahwa hadits tersebut, dha'if, maudhu'(palsu) atau tidak ada asal usulnya.

Tentang memaafkan sebelum bulan Ramadhan, tidak ada syari'at dari Al-Qur'an maupun pengajaran tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, Shahabat dan para Ulama'-ulama'salaf maupun 'Ulama saat ini yang meniti jalan salafush-shalih, yang menganjurkan untuk MENGKHUSUSKAN saling ma'af-mema'afkan sebelum Bulan Ramadhan.


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه

“Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no.2449)

Dari hadits ini jelas bahwa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika berbuat kesalahan kepada orang lain. Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam. Jika ada yang berkata: “Manusia khan tempat salah dan dosa, mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disadari”.

Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita meminta maaf kepada semua orang yang kita temui? Mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian?, padahal mereka orang-orang yang paling khawatir akan dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana

sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab bisa terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama.

Dan kata اليوم (hari ini) menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat dilakukan kapan saja dan yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera, karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.

Namun bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada saudaranya dan belum menemukan momen yang tepat untuk meminta maaf, dan menganggap momen datangnya Ramadhan adalah momen yang tepat, tidak ada larangan memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf kepada orang yang pernah dizhaliminya tersebut. Asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun.
Karena dengan pengkhususan saling berma'afan sebelum bulan Ramadhan, harus menggunakan dalil yang shah. Karena kita beragama dengan dalil yang shahih, bukan "KATANYA,... KATANYA".

Bandingkan dengan hadits SHOHIH ini
Artinya :


"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian berkata, "Amin, amin, amin".
Para sahabat bertanya. "Kenapa engkau berkata 'Amin, amin, amin, Ya Rasulullah?"


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Telah datang malaikat Jibril dania berkata :
'Hai Muhammad celaka seseorang yang jika disebut nama engkau namundia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!' maka kukatakan, 'Amin',


kemudian Jibril berkata lagi,
'Celaka seseorang yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhantidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!', maka aku berkata 'Amin'.


Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi. 'Celaka seseorangyang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup tetapi justru tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!' maka kukatakan, 'Amin".

[Hadits Riwayat Bazzar dalam Majma'uz Zawaid 10/1675-166, Hakim 4/153 dishahihkannya dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi dari Ka'ab binUjrah,diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 644 (ShahihAl-Adabul Mufrad No. 500 dari Jabir bin Abdillah)]


Dari sini jelaslah bahwa kedua hadits tersebut di atas adalah dua hadits yang berbeda. Entah siapa orang iseng yang membuat hadits pertama. Atau mungkin bisa jadi pembuat hadits tersebut mendengar hadits kedua, lalu menyebarkannya kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak, sehingga berubahlah makna hadits. Atau bisa jadi juga, pembuat hadits ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan, lalu sengaja menyelewengkan hadits kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut. 

Oleh karena itu, derajat hadits Pertama diatas yang dijadikan dalil untuk saling mema'afkan tidak ada asal-usulnya, kita pun tidak tahu siapa yang pertama kali membawakan / mengatakan hal itu. Sebenarnya itu bukan hadits dan tidak perlu kita hiraukan, apalagi diamalkan.


Kesimpulannya :

Tidak ada tuntunan untuk meminta maaf untuk mengawali puasa karena meminta maaf tidak menunggu datangnya puasa dan bukan merupakan bagian dari ibadah puasa itu sendiri.

Mudah2an Allah mengampuni kita semua dan mempertemukan kita dengan Bulan Suci RAMADHAN. Amin ya rabbal 'alamin.

Wallahu a'lam


Tidak ada komentar:

 

blogger templates | Make Money Online