Kamis, 30 Oktober 2008

Tasmiyatul Maulud

(Diringkas dari buku Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk yang Dinanti, Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat)

Kita sering mendengar seseorang mengatakan “Apalah arti sebuah nama”. Sebenarnya masalahnya tidak sesederhana itu, nama merupakan tanda pengenal bagi seseorang, selain itu, ia juga bisa menjadi pertanda asal muasal seseorang bahkan agama seseorang. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan masalah pemberian nama ini, kita harus memberi nama-nama yang bagus sebagaimana yang ditutunkan oleh syariat dan kita harus menghindari nama-nama yang jelek yang dapat merendahkan anak serta membuatnya tidak punya jati diri sebagai seorang muslim.



Tulisan ini akan merinci nama-nama yang dicintai maupun yang dibenci Allah dan rasul-Nya, sehingga kita dapat memilihkan nama yang terbaik untuk anak kita dan dijauhkan dari nama-nama yang dibenci.

Nama-Nama yang Dicintai dan Disukai Allah dan Rasul-Nya

1. ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman, serta nama-nama lain yang dikaitkan dengan nama dan sifat Allah yang menunjukkan penghambaan kepada Allah sebagaimana kedua nama tersebut, misalnya ‘Abdul ‘Aziz, ‘Abdul Malik, ‘Abdul Ghafur, dan lain-lain. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nama-nama yang paling disukai Allah ialah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.” (HR. Muslim)
2. Nama-nama nabi dan rasul Allah, karena mereka adalah manusia yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya disisi Allah ‘Azza wa Jalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malam ini telah lahir anakku, aku menamainya dengan nama ayahku, Ibrohim.” (HR. Muslim). Dan nama nabi yang paling utama adalah nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Muhammad atau Ahmad.
3. Nama-nama orang shalih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang-orang terdahulu, “Mereka itu memberi nama (anak-anaknya) dengan nama-nama nabi dan orang-orang shalih sebelumnya.” (HR. Muslim). Dalam hal ini para sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling utama sebagai kaum yang shalih.
4. Nama-nama yang bagus maknanya menurut syara’, yaitu nama-nama yang tidak mensucikan diri orang tersebut dan tidak merendahkannya, tetapi nama-nama yang mempunyai makna dan arti yang menimbulkan semangat dan pengharapan, seperti sahl yang artinya “mudah”.

Nama-Nama yang Diharamkan dan Dimakruhkan

Nama-Nama yang Diharamkan:

1. Nama-nama yang menunjukkan kepada penghambaan selain Allah, contohnya: ‘Abdul Masih, ‘Abdul Ali, ‘Abdul Hasan, dan lain-lain.
2. Nama-nama yang merupakan kekhususan bagi Allah, contoh: Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Kholiq. Boleh menggunakan nama-nama Allah jika tidak menyertakan alif lam dan maksudnya bukan makna sifat. Artinya, nama itu hanya sekedar sebagai tanda. Seperti nama Hakim, termasuk nama sahabat, yaitu Hakim bin Hizam. (Fatwa-Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al’Utsaimin, masalah ke 101, penerbit Hazanah Ilmu)
3. Nama-nama yang merupakan nama berhala yang disembah selain Allah, contoh: Al-Laata, Al-’Uzza, Wisnu, Brahma, dan lain-lain.
4. Nama-nama yang merupakan nama-nama syaithan, contoh: Khinzab, Walhan, Al-’A'war, Al-Ajda’.
5. Nama yang bermakna raja diraja atau sulthannya sulthan, berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya serendah-rendah nama di sisi Allah seseorang yang bernama raja diraja (malikul amlak), tidak ada raja (diraja) selain Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dikiaskan dengan nama-nama tersebut antara lain: sultannya para sultan, hakimnya para hakim, qodhinya para qodhi.

Nama-Nama yang Dimakruhkan:

1. Nama-nama yang artinya menunjukkan maksiat, seperti Zhalim.
2. Nama-nama yang menunjukkan nama binatang, seperti Aurelia Aurita (ubur-ubur), tania (cacing), dll.
3. Nama-nama yang merangsang, seperti Wishal, Siham, Nuhad (wanita yang montok payudaranya dan menonjol buah dadanya), Ghadat (wanita yang halus, lunak, gemulai), Siham, Fitnah, dll.
4. Nama-nama Fir’aun dan orang-orang yang sombong, seperti: Fir’aun, Qarun, Haamaan, dll.
5. Nama-nama malaikat, seperti: Jibril, Mikail, Israafil.
6. Nama-nama yang merupakan nama surat dalam Al-Qur’an, seperti: Yasin, An-Nisa’, dll.
7. Nama-nama yang dikaitkan dengan lafadz Ad-Diin atau Al-Islam, seperti: Gafaruddin, Syamsuddin, Nuruddin, Qomaruddin, Nurul Islam, Syaiful Islam, Nashiruddin, Muhyidin, Izzuddin. Sebabnya karena kebesaran dua lafadz tersebut, sehingga mengkaitkan nama dengan lafadz tersebut merupakan kebohongan dan terkena larangan mensucikan diri. Termasuk ghuluw ialah nama Zainal Abidin (perhiasan para ‘abid/ahli ibadah), dan Zainal Arifin.
8. Nama-nama yang tersusun, seperti: Muhammad Haris, Muhammad Ahmad.
9. Nama-nama yang arti dan lafadznya tidak disukai oleh hati.
10. Yasaar, Rabaah, Aflah, Nafi’, Najih. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Dari Samurah bin Jundub, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam, “Janganlah engkau namakan ghulammu dengan nama Rabaah (yang beruntung), Yasaar (Yang mudah), Aflah (yang menang) dan Naafi’ (Bermanfaat).” (HR. Muslim). Dalam riwayat yang lain dari Imam Muslim: Dari Samurah bin Jundub, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perkataan yang paling dicintai Allah ada empat macam: subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha illalllah, allahu akbar. Tidak salah bagimu engkau memulai dari yang mana saja. Dan janganlah engkau namakan anakmu dengan nama Yasaar, rabaah, Najiih, dan Aflah. Karena sesungguhnya apabila engkau bertanya: apakah disana ada dia ? Padahal dia tidak ada disana. Maka orangpun akan menjawab tidak ada.”
11. Nama yang menunjukkan nama-nama orang kafir yang sudah menjadi kekhususan mereka: Suzan, John, Jacklin, Diana, Linda, Victoria, Gloria. Karena hal ini menunjukkan penyerupaan terhadap mereka, dan tasyabuh (meniru-niru) dengan kebiasaan dan perbuatan mereka merupakan sesuatu yang diharamkan Islam (artikel Jauhi Nama-nama Orang kafir Bagi Buah Hati Anda, majalah As-Sunnah edisi 02/Th XII/1429 H/2008 M).

Mengganti Nama

Mengganti nama merupakan sunnah yang dilakukan nabi dan para sahabat, ada banyak riwayat yang menunjukkan hal ini, antara lain:

Dari Ibnu ‘umar, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggati nama ‘Ashiyah (perempuan yang maksiat, dan beliau bersabda, “Engkau (yakni namamu sekarang) Jamilah.” (HR. Muslim)

Dari Usamah bin Akhdariy: Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang bernama Ashram bersama rombongan orang-orang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa namamu?” laki-laki itu menjawab, “Saya Ashram (yang terpotong).” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Bahkan engkau sekarang adalah Zur’ah (yang tumbuh).” (HR. Abu Dawud)

Dari Sa’id bin Musyyab dari bapaknya (Musayyab bin Hazn) berkata: Sesungguhnya bapaknya (yaitu Hazn) telah datang kepada nabi, lalu beliau bertanya, “Siapa namamu?” ia menjawab, “Hazn (keras)” beliau bersabda, “Engkau Sahl (lembut).” Jawab Hazn, “Aku tidak akan mengganti nama yang diberikan bapakku kepadaku.” berkata Said bin Musayyab, “Sesudah itu, maka senantiasa khuzunah (kekerasan dan kekasaran) ada pada keluarga kami.” (HR. Bukhari). Ketika Hazn menolak mengganti nama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan saja, ini menunjukkan bahwa perintah tersebut hukumnya sunnah, seandainya perintah tersebut wajib, tentu Rasulullah tidak akan membiarkannya ia tetap memakai nama tersebut.

Nabi bertanya kepada Abu Usaid siapakah nama anaknya, jawab Abu Usaid, “Si Fulan.” bersabda nabi, “Akan tetapi namanya Mundzir.” maka Abu Usaid menamakan anaknya pada hari itu Mundzir.

Dari Muhammad bin Amr bin Atha’: telah menceritakan kepadaku Zainab anak perempuan ummu salamah, ia berkata, “Dahulu namaku Barrah (artinya kebaikan, yakni yang terbaik) kemudian Rasulullah menamakanku Zainab. Dan pernah masuk menemui beliau zainab binti Jahsyin yang namanya juga Barrah, kemudian beliau menamainya Zainab.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata, “Dahulu Juwairiyah namanya Barrah. Kemudian diganti oleh Rasulullah namanya menjadi Juwairiyah. Dan beliau tidak suka dikatakan orang bahwa beliau baru saja keluar dari sisi Barrah.” (HR. Muslim)

Dari Basyir maula (bekas budak) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dahulu namanya di masa jahiliyah adalah Zahm bin Ma’bad. Kemudian dia hijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bertanya, “Siapa namamu?” dia menjawab, “Zahm (yang sempit).” Beliau bersabda, “Bahkan engkau Basyir (yang memberi kabar gembira).” (HR. Abu Dawud)

Dari Yazid bin Miqdam bin Syuraih dari bapaknya dari kakeknya Hani’: Bahwasanya dia pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaumnya, beliau mendengar mereka meng-kunyah-kannya dengan Abul Hakam (yang artinya Bapak Hukum). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah dialah Al-Hakam dan kepadanya dipulangkan segala hukum, maka kenapakah engkau dikunyahkan dengan Abul Hakam?” Dia menjawab, “Sesungguhnya kaumku apabila mereka berselisih tentang sesuatu mereka datang kepadaku kemudian aku putuskan hukum diantara mereka, maka ridhalah kedua belah pihak.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alangkah bagusnya (perbuatanmu) ini, maka berapakah anakmu?” Dia menjawab, “Saya mempunyai (anak namanya): Syuraih, Muslim, dan Abdullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah yang paling tua?” dia menjawab, “Syuraih.” Beliau bersabda, “Maka engkau adalah Abu Syuraih.” kemudian beliau mendo’akan dia dan anaknya (yakni Syuraih). (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

***

Penyusun: Ummu Ibrohim
Artikel www.muslimah.or.id
Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Musik dalam Timbangan Islam...!!!

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hal ini, ada yang membolehkannya secara mutlak, ada yang tidak membolehkannya secara mutlak dan ada yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Namun sebelum itu ada hal-hal yang menjadi titik temu dan disepakati:


* Sepakat bahwa haram hukumnya bila berisi kata-kata yang jorok, mengajak kepada kemaksiatan (termasuk penyebab ke arah itu seperti adanya khalwat danikhtilath), kesyirikan dst.

* Sepakat membolehkan yang bersifat fitrah tanpa alat musik pada momen-momen kegembiraan seperti walimah, 'ied, dst… Asalkan tidak dilakukan oleh wanita di hadapan lelaki-lelaki asing.

Selanjutnya terjadi perbedaan pendapat;
1. Pendapat yang tidak membolehkan, dalilnya: Dari Ibnu Mas'udRadhiallahu 'anhu bahwa dia bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya yang dimaksud dengan firman Allah : "Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan(manusia) dari jalan Allah" . (Q.s.Luqman:6).adalah nyanyian. (Tafsir Ibnu Katsir,6/333)

Abu Amir dan Abu Malik al-Asy'ari Radhiallahu 'Anhu meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam : "Kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan Zina, Sutera, Khamar dan alat-alat musik."(H.R.Bukhari).

Dan dalam hadits Anas bin Malik Radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda :"Kelak akan terjadi pada umat ini (tiga hal): (mereka) ditenggelamkan (kedalam bumi); dihujani batu; dan diubah bentuk mereka yaitu jika mereka minum arak, mengundang biduanita-biduanita (untuk menyanyi) dan menabuh (membunyikan) musik". (al-Silsilah ash-Shahihah, 2203, diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam kitab "Dzammul Malahi", dan at-Turmuzi, no.2212).

Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam melarang gendang, lalu menyatakan,” …Seruling adalah suara orang bodoh dan tukang maksiat”. Para Ulama terdahulu seperti Imam Ahmad Rahimahullah berdasarkan hadits- hadits shahih yang melarang alat-alat musik seperti Kecapi, Seruling, Rebab, Simbab dan yang lainnya.

Tidak diragukan lagi, alat-alat musik modern yang kita kenal saat ini masukdalam kategori alat musik yang dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam . Seperti Piano, Biola, Harpa, Guitar dan lain sebagainya . Bahkan alat-alat modern tersebut lebih cepat mempengaruhi mabuknya jiwa daripada alat-alat musik zaman dulu yang telah diharamkan dalam beberapa hadits. Menurut penuturan para ulama,diantaranya Ibnu Qayyim, keterlenaan dan mabuknya jiwa akibat pengaruh nyanyian lebih besar bahayanya dari pada akibat minum arak. Kemudian tidak diragukan lagi pelanggarannya akan lebih keras dan dosanya akan lebih besar jika alat-alat musik tersebut diiringi dengan nyanyian, baik oleh biduan atau biduanita. Lalu, bahayanya akan lebih bertumpuk jika untaian kata-kata syairnya berkisah tentang cinta, asamara dan kecantikan wanita atau kegagahan pria.

Karena itu tidak mengherankan jika para ulama menyebukan nyanyian adalah sarana yang mengantarkan pada perbuatan zina, menumbuhkan perasaan dan sifat nifak di hati. Dan secara umum, nyanyian dan musik adalah tema besar zaman ini yang melahirkan banyak fitnah.

Musibah itu semakin menjadi-jadi, setelah pada saat ini kita saksikan musik menyelusup di setiap barang dan ruang seperti HP, jam dinding, bel, mainan anak-anak, computer, persawat telepon dan sebagainya. Untuk menghindari berbagai hal diatas sungguh memerlukan kekuatan hati yang tangguh.
Mudah-mudahan Allah menjadi penolong kita semua. Amin.

(baca buku "Dosa-Dosa Yang Dianggap Biasa" (terjemahan dari bahasa Arab) karya Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, h.100-102, penerbit: YAYASAN AL-SOFWA. Buku ini bagus untuk dibaca dan baca juga bulletin alsofwah, di : www.alsofwah.or.id, kategori : Fiqih, "hukum musik dan lagu").

2.ADAPUN dalil mereka yang membolehkannya adalah bantahan mereka terhadap dalil-dalil diatas, seperti bantahan terhadap makna lafadz "Lahwal hadits" (perkataan yang tidak berguna) di dalam surat Luqman diatas . Juga, kaedah ushul fiqih yang berbunyi: "hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan". Diantara ulama yang membolehkannya ini adalah Imam al-Ghazaly di dalam bukunya "Ihya 'Ulumuddin" dan Ibnu Hazm di dalam bukunya "al-Muhalla". (Bisa dilihat pada kedua kitab tersebut untuk perinciannya)

Kami lebih menguatkan pendapat yang tidak membolehkannya tersebut tetapitidak mutlak, yakni dibolehkan dengan alat pukul seperti rebana tanpa alat- alat musik lainnya dan tidak dilakukan oleh wanita di hadapan jama'ah lelaki asing.

Nyanyian yang diperbolehkan
Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan yaitu:
1. Menyanyi pada hari raya. Hal itu berdasarkan hadits A'isyah:
"Suatu ketika Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam masuk ke bilik 'Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing
memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata: "... dan di sisi sayan terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi."), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam malah bersabda: "Biarkanlah mereka karena sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini." (HR. Bukhari)

2. Menyanyi dengan rebana ketika berlangsung pesta pernikahan, untuk
menyemarakkan suasana sekaligus memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara (lagu) pada saat pernikahan." (Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud di sini adalah khusus untuk kaum wanita.

3. Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa diiringi dengan musik) yang disenandungkan saat bekerja sehingga bisa lebih membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya terdapat do'a. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyenandungkan sya'ir Ibnu Rawahah dan menyemangati para sahabat
saat menggali parit. Beliaubersenandung:

"Ya Allah tiada kehidupan kecuali kehidupan akherat maka ampunilah kaum
Anshar dan Muhajirin." Seketika kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya dengan senandung lain: "Kita telah membai'at Muhammad, kita selamanya selalu dalam jihad."

Ketika menggali tanah bersama para sahabatnya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga bersenandung dengan sya'ir Ibnu Rawahah yang lain:
"Demi Allah, jika bukan karena Allah, tentu kita tidak mendapat petunjuk,
tidak pula kita bersedekah, tidak pula mengerjakan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, mantapkan langkah dan pendirian kami jika bertemu (musuh).
Orang-orang musyrik telah mendurhakai kami, jika mereka menginginkan
fitnah maka kami menolaknya."
Dengan suara koor dan tinggi mereka balas bersenandung "Kami menolaknya, ...kami menolaknya." (Muttafaq 'Alaih)

4. Nyanyian yang mengandung pengesaan Allah, kecintaan kepada Rasululah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan menyebutkan sifat-sifat beliau yang terpuji; atau mengandung anjuran berjihad, teguh pendirian dan memperbaiki akhlak; atau seruan kepada saling mencintai, tolong-menolong di antara sesama; atau menyebutkan beberapa kebaikan Islam, berbagai prinsipnya serta hal-hal lain yang bermanfaat buat masyarakat Islam, baik dalam agama atau akhlak mereka.

Di antara berbagai alat musik yang diperbolehkan hanyalah Rebana. Itupun penggunaannya terbatas hanya saat pesta pernikahan dan khusus bagi para wanita. Kaum laki-laki sama sekali tidak dibolehkan memakainya. Sebab Rasulullah
Shallallahu 'Alahih Wasallam tidak memakainya, demikian pula halnya dengan para sahabat beliau Radhiallahu 'Anhum Ajma'in (dari : buletin an-Nur yang disadur dari tulisan Syaikh Jamil Zainu).

Hal ini sebagai upaya menghindari sarana-sarana yang mengarah kepada
perbuatan maksiat, sebab kenyataannya lagu-lagu dan musik saat ini tidak
terbebas dari syarat-syarat yang dilonggarkan oleh ulama terdahulu apalagi dari sisi lainnya seperti lirik /isinya, adanya ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan yang bukan mahram), adanya khalwat (penyendirian dengan wanita asing, mojok, dua-duaan), adanya zina mata, telinga, tangan, dst...

Kita diperintahkan untuk menjaga diri kita dari sarana-sarana yang mengarah ke arah tersebut. Karena bila kita telah mendekatinya, maka akan tergoda untuk melakukan selanjutnya. sebaliknya, bila kita berusaha untuk menghindarinya maka insya Allah tidak akan tergoda untuk mendengarnya tersebut.

Sumber :http://www.alsofwah.or.id
Dipublikasikan kembali oleh : Budhyanto.blogspot.com

Kamis, 23 Oktober 2008

Adakah Zakat Profesi ?

Harta yang dimiliki oleh seorang muslim dalam bentuk emas, perak ataupun uang (termasuk perhiasan) yang dihasilkan baik itu dari jalan bekerja, perniagaan, warisan, hadiah ataupun yang lainnya jika sudah mencapai nishab dan haulnya maka wajiblah dikeluarkan zakatnya.

Allah Ta'ala dan Rasul-Nya memberikan ancaman yang keras bagi orang – orang yang tidak mengeluarkan zakat.


Allah Ta'ala berfirman,

"Dan orang – orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam jahannam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan'" (QS. At Taubah 34 – 35)

Dan Rasulullah ShallallaHu 'alayhi wa sallam bersabda,

"Siapa saja yang memiliki emas dan perak lalu tidak dikeluarkan zakatnya maka pada hari Kiamat nanti akan dibentangkan baginya lempengan dari api lalu dipanaskan dalam neraka kemudian dahi – dahi mereka, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya. Setiap kali lempengan itu menjadi dingin, kembali dipanaskan. Demikianlahlah berlaku setiap hari yang panjangnya setara dengan 50.000 tahun di dunia. Hingga diputuskan ketentuan masing – masing hamba apakah ke surga ataukah ke neraka" (HR. Muslim, Kitab Az Zakah)

Adapun nishab dan haul (putaran 1 tahun) pada zakat mal berdasarkan nash dan dalil yang syar'i adalah sebagai berikut :

1. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallaHu 'anHu, Rasulullah ShallallaHu 'alayHi wa sallam bersabda:

"Engkau tidak wajib mengeluarkan sesuatu (maksudnya zakat dari emas) sehingga engkau memiliki sebanyak 20 dinar. Jika engkau telah memiliki sebanyak 20 dinar dan sudah genap satu tahun, maka (zakatnya) maka zakatnya setengah (1/2) dinar. Adapun selebihnya, maka dihitung dengan perhitungan tersebut. Tidak ada kewajiban zakat pada suatu harta sampai genap satu tahun" (HR. Abu Dawud no. 1573, Al Baihaqi no. 7273 dan Ahmad, hadits ini dishahihkan oleh Bukhari dan dihasankan oleh Al Hafizh). 20 dinar setara dengan 85 gram emas dan nishab zakatnya adalah 2,5% serta haulnya adalah satu tahun.

2. Sahabat Ibnu Umar radhiyallaHu 'anHu berkata pada suatu atsar, "Barangsiapa mendapatkan harta maka tidak wajib atasnya zakat sehingga menjalani putaran haul" (HR. Tirmidzi, hadits shahih)

(Lihat juga Kitab Taudhihul Ahkam 3/33-36, Kitab Subulus Salam 2/256-259, Kitab Bulughul Maram yang ditakhrij oleh Abu Qutaibah Nadhr Muhammad Al Faryabi 1/276/279)

Berdasarkan dalil shahih diatas maka tidak ada kewajiban zakat terhadap harta yang dimiliki oleh seorang muslim jika tidak memenuhi kedua syarat di atas yaitu nishabnya 85 gram emas dan haulnya 1 tahun.

Contoh : Misalkan harga emas saat ini per gramnya adalah Rp 100.000,- per gramnya (sehingga nishabnya jika dikonversikan ke rupiah adalah Rp. 8.500.000,-) . Jika seorang muslim suatu ketika memiliki gaji Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per bulan maka secara nishab hartanya telah melampaui batasan tersebut namun ia belum wajib untuk berzakat karena hartanya tersebut belum disimpan selama 1 putaran haul (1 tahun).

Begitu pula sebaliknya, jika seorang muslim mendapatkan harta warisan sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan kemudian sebelum tepat melewati 1 putaran haul (1 tahun) hartanya tinggal Rp. 3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah) maka ia pun tidak terkena kewajiban membayar zakat karena hartanya tidak mencapai nishab.

Dengan demikian jelaslah tidak ada kewajiban bagi seseorang yang mendapatkan gaji atau upah memberikan atau menyalurkan zakatnya jika belum sampai pada nishab dan haulnya atau seperti yang dikenal pada saat ini dengan nama zakat profesi.

Penetapan zakat profesi yang marak akhir – akhir ini merupakan tindakan yang tidak ada dalil syar'inya atau dengan kata lain perintah untuk melakukan zakat profesi tidak pernah ada di dalam Al Qur'an ataupun As Sunnah dan juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu 'anhum (silahkan dicari dalilnya jika ada !, pada Al Qur'an, kitab – kitab hadits shahih, ataupun kitab – kitab ulama' ahlus sunnah)

Adapun atsar tentang Khalifah Umar bin Abdul Azis mengambil gaji pegawainya sebesar 2,5% untuk keperluan zakat, adalah para pegawainya yang telah bekerja (paling tidak) lebih dari 1 tahun. Jadi tetap mengacu kepada harta yang sudah melampaui nishab dan haul.

Dan jika memang apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ini menjadi dasar dilakukannya zakat profesi maka hal ini tidak pernah dilakukan oleh khalifah – khalifah yang sebelumnya yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman ataupun Ali bin Abi Thalib radhiyallaHu 'anHum Artinya adalah apa yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz tidak dapat dijadikan dalil dan cukuplah Al Qur'an dan As Sunnah sebagai petunjuk, sebagaimana sabda Rasulullah ShallallaHu 'alayHi wa sallam,

"Dan sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian kelak, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk" (HR An Nasa'i dan At Tirmidzi, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih dan dishahihkan pula oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Shahihah no. 937)

Lalu dari permasalahan ini timbul suatu pertanyaan, "Mengapa para petani (atau tuan tanah !?) diwajibkan membayar zakat (pertanian) sementara para konsultan, dokter, eksekutif, karyawan yang bergaji tinggi tidak diwajibkan membayar zakat !?", maka jawabannya adalah, "Mengapa Allah Ta'ala menetapkan kaum wanita warisannya lebih sedikit dari laki – laki padahal wanita adalah kaum yang lemah !?.

Bukankah kewajiban kita sebagai muslim sami'naa wa atha'naa bukan sami'naa wa ashainaa !, kenapa kita pertanyakan apa yang Allah Ta'ala dan Rasul-Nya telah tetapkan"

Namun jika sekiranya ada sebagian kaum muslimin yang ingin segera melakukan amal shalih atas harta yang ia dapatkan maka hal tersebut adalah perbuatan sunnah yang mulia namun namanya bukan zakat profesi tetapi infaq dan shadaqah. Dan jumlah infaq atau shadaqah yang ia berikan tidak ada ketentuannya yang diatur oleh syariat (seperti 2,5% pada zakat mal), tetapi semakin besar yang ia berikan maka pahalanya pun semakin besar pula.

Fatwa – fatwa Ulama' tentang Zakat Profesi :

1. Fatwa Lembaga Ulama untuk Kajian Ilmiah dan Fatwa yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan lainnya : "Bukanlah hal yang meragukan, bahwa diantara jenis harta yang wajib dizakati ialah 2 mata uang (emas dan perak). Dan diantara syarat wajibnya zakat pada jenis – jenis harta semacam ini ialah bila sudah sempurna mencapai haul … Zakat gaji ini tidak bisa diqiyaskan dengan zakat hasil bumi, sebab persyaratan haul (satu tahun) tentang wajibnya zakat bagi 2 mata uang merupakan persyaratan yang sudah jelas berdasarkan nash. Apabila sudah ada nash, maka tidak ada lagi qiyas" (Majalah As Sunnah edisi 06/VII/2003 M)
2. Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin : "Tidak ada zakat pada suatu harta hingga telah berputar padanya satu haul (satu tahun). Maka apabila engkau telah menghabiskan gaji tersebut, maka tidak ada zakat terhadapmu. Apabila engkau menyimpan dari gaji tersebut seukuran nishabnya, maka wajib zakat terhadapmu bila telah berputar satu haul pada harta simpanan itu" (Majalah An Nashihah volume 09/2005 M)
3. Fatwa Syaikh Abu Usamah Abdullah bin Abdurrahman al Bukhari : "Pemasukan bulanan yang disebut oleh para pegawai dengan nama gaji bulanan, apabila digunakan selalu habis, maka tidak ada zakat padanya. Zakat itu diwajibkan dengan beberapa perkara, satu, harta yang telah terkumpul telah berlalu padanya satu haul yaitu satu tahun, dua, hendaknya telah mencapai nishabnya". (Majalah An Nashihah volume 09/2005 M)

Harta seorang muslim adalah haram hukumnya diambil ! Sampai ada nash yang shahih yang membolehkannya

Selasa, 07 Oktober 2008

Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi). Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhori: 6502


Puasa Seperti Setahun Penuh

Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”

Dilakukan Setelah Iedul Fithri


Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)

Apakah Harus Berurutan ?

Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.

Mendahulukan Puasa Qodho’

Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.

Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu a’lam bish showab.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

 

blogger templates | Make Money Online