Jumat, 26 Juni 2009

Solusi dari Berbagai Musibah yang Dihadapi Umat Islam

Sungguh musibah silih berganti menimpa kaum muslimin. Realita ini mengharuskan kita semua untuk berpikir keras mencari solusi permasalahan. Banyak analisis yang diberikan beberapa pihak untuk mengidentifikasi problem yang sebenarnya dihadapi oleh kaum muslimin. Jika identifikasi yang diajukan tidak tepat, tentu solusi yang ditawarkan juga tidak pas.

Berbagai Solusi yang Ditawarkan Berbagai Pihak

Ada yang mengatakan bahwa problema umat Islam yang paling mendasar adalah konspirasi musuh-musuh Islam yaitu orang-orang kafir dan kemenangan orang kafir atas kaum muslimin. Pihak pertama ini menawarkan solusi berupa menyibukan kaum muslimin dengan strategi-strategi orang-orang kafir, perkataan dan penegasan mereka.

Ada juga yang mengatakan bahwa permasalahan kaum muslimin yang paling pokok adalah berkuasanya para pemimpin yang zalim di berbagai negeri kaum muslimin. Sehingga pihak kedua ini menawarkan solusi berupa upaya menggulingkan pemerintahan yang ada dan menyibukkan kaum muslimin dengan hal ini.

Di sisi lain ada juga yang berpendapat bahwa masalah kita yang paling pokok adalah perpecahan kaum muslimin. Oleh karenanya solusi tepat adalah menyatukan kaum muslimin sehingga kaum muslimin unggul dalam kuantitas.

Ada juga analisis keempat. Analisis ini mengatakan bahwa penyakit akut umat ini adalah meninggalkan jihad sehingga obat penyakit ini adalah mengibarkan bendera jihad dan menabuh genderang perang melawan orang-orang kafir.

Ada juga analisis yang lainnya bahwa problema umat Islam ini adalah karena masih banyaknya kaum muslimin yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga mereka menawarkan solusi untuk memperbaiki ekonomi kaum muslimin.

Marilah kita telaah bersama pendapat-pendapat di atas dengan dua panduan kita yaitu Al Qur’an dan Sunnah.

Problema: Konspirasi Orang Kafir

Terkait dengan pendapat pertama, kita jumpai firman Allah,

“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu” (QS Ali Imran: 120).

Ayat di atas dengan tegas menunjukkan bahwa jika kita benar-benar bertakwa kepada Allah maka konspirasi musuh bukanlah ancaman yang berarti.

Problema: Penguasa yang Zalim

Tentang pendapat kedua, kita jumpai firman Allah,

“Dan demikianlah, kami jadikan orang yang zalim sebagai pemimpin bagi orang zalim disebabkan maksiat yang mereka lakukan” (QS Al An’am: 129).

Ayat ini menunjukkan bahwa penguasa yang zalim hukuman yang Allah timpakan kepada rakyat yang juga zalim disebabkan dosa-dosa rakyat. Jika demikian, penguasa yang zalim bukanlah penyakit bahkan penyakit sebenarnya adalah keadaan rakyat.

Problema: Perpecahan Kaum Muslimin

Sedangkan untuk pendapat ketiga kita dapati firman Allah,

“Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun” (QS At Taubah:25).

Ayat ini menunjukkan bahwa persatuan dan jumlah yang banyak tidaklah bermanfaat jika kemaksiatan tersebar di tengah-tengah mereka. Kita lihat dosa ujub telah menghancurkan faedah dari jumlah yang banyak sehingga para shahabat menuai kekalahan pada saat perang Hunain. Di antara maksiat adalah menyatukan barisan bersama orang-orang yang membenci ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sikap tepat terhadap mereka adalah memberikan nasihat, bukan mendiamkan kesalahan. Sikap minimal adalah mengingkari dengan hati dalam bentuk tidak menghadiri acara-acara yang menyimpang dari sunnah bukan malah menikmati.

Problema: Meninggalkan Jihad

Untuk pendapat keempat kita katakan bahwa jihad itu bukanlah tujuan namun yang menjadi tujuan adalah menegakkan agama Allah di muka bumi. Oleh karena itu, ketika kaum muslimin lemah dari sisi agama dan persenjataan maka menabuh genderang perang pada saat itu lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya. Oleh karena itu, Allah tidak mewajibkan jihad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau masih berada di Mekah dikarenakan berperang ketika itu lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya.

Problema: Kemiskinan

Jika kita melihat pendapat yang lainnya yang mengatakan bahwa solusi problematika umat adalah kemiskinan, maka ini juga bisa disanggah dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Demi Allah, sebenarnya bukanlah kemiskinan yang aku takutkan akan membahayakan kalian. Akan tetapi, yang kutakutkan adalah apabila dunia telah dibentangkan pada kalian, sebagaimana telah dibentangkan pula bagi orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun akhirnya berlomba-lomba untuk meraih dunia sebagaimana orang-orang terdahulu berlomba untuk mendapatkannya. Akhirnya kalian pun akan binasa, sebagaimana mereka binasa. ” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa kemiskinan bukanlah perkara yang ditakutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, yang membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam takut adalah apabila manusia sudah terpesona dengan dunia dan akibatnya mereka melanggar batasan-batasan Allah dan terjerumus dalam kubangan maksiat.

Solusi yang Tepat: Membersihkan Diri dari Dosa Terutama Kesyirikan dan Kembali Mentauhidkan- Nya

Identifikasi yang tepat untuk penyakit yang membinasakan umat dan menjadikan kaum muslimin terbelakang adalah dosa-dosa kita sendiri. Banyak dalil dari al Qur’an yang menunjukkan hal ini. Di antaranya adalah firman Allah,

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS Ali Imran:165).

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan mu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

‘Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan,

“Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Ibnu Rojab Al Hambali –rahimahullah- mengatakan,

“Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa.” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)

Oleh sebab itu, obat yang mujarab adalah membersihkan diri kita dan seluruh umat dari dosa. Sedangkan dosa yang paling berbahaya adalah syirik dan bid’ah.
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa dosa syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni jika pelakunya masih belum bertaubat ketika kematian menjemputnya. Inilah yang menunjukkan bahaya kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa di bawah kesyirikan, bagi siapa yang dikehendaki- Nya.” (QS. An Nisa’: 48)

Begitu juga bid’ah (melakukan amalan yang tidak ada landasannya dari Nabi) adalah dosa yang berbahaya karena sebab bid’ah, amalan seorang muslim menjadi tertolak dan sia-sia belaka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim) Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan, “Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)

Demikian pula kita berusaha dengan penuh kesungguhan untuk mengembalikan umat kepada panduan hidup mereka yaitu Al Qur’an dan sunnah Rasul sebagaimana pemahaman salaf. Kita habiskan umur dan harta kita untuk menegakkan bendera tauhid dan sunnah dan menghancurkan bendera syirik dan bid’ah dengan berbagai sarana dan media yang kita miliki.

Jika bendera tauhid dan sunnah telah tegak berkibar dan bendera syirik dan bid’ah hancur maka saat itu kita berhak mendapatkan janji Allah yaitu kemenangan.

***

Sumber: Faedah dari Guru Kami Ustadz Aris Munandar, SS (http://ustadzaris. com) dan rujukan lainnya

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Senin, 15 Juni 2009

Larangan Jual Beli Dengan Cara 'Inah

Oleh : Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali

Dari 'Abdullah bin 'Umar r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Jika kalian berdagang dengan sistem 'inah dan kalian telah disibukkan dengan mengikuti ekor sapi (membajak sawah) serta ridha dengan bercocok tanam, maka Allah timpakan kehinaan atas kalian dan tidak akan mencabut kehinaan tersebut hingga kalian kembali kepada agama kalian'," (Hasan, HR Abu Dawud [3462], Ahmad [II/28,42 dan 84]. Ad-Dulabi dalam al-Kunaa walAsmaa' [II/65], al-Baihaqi [V/136], Ibnu Adi dalam al-Kaamil [V/1998], Abu Umayyah ath-Thurthusi dalam Musnad Ibnu 'Umar [22], ath-Thabrani [13583 dan 13585], Abu Ya'la [5659] dan Abu Nu'aim dalam Hilyah [I/313-314]).


Kandungan Bab:

1. Jual beli 'inah adalah si (A) menjual barang kepada si (B) dengan pembayaran bertempo. Si (A) menyerahkan barang kepada si (B). Kemudian si (A) membeli kembali barang tersebut dari si (B) dengan harga yang lebih murah secara kontan. Tujuannya adalah untuk mendapat keuntungan, yaitu uang tunai.

2. 'Inah adalah wasilah kepada riba bahkan termasuk wasilah (sarana) yang paling dekat kepadanya. Wasilah kepada perkara haram, maka hukum-nya adalah haram.

3. 'Inah termasuk hiyal (siasat licik) terhadap hukum syari'at. Oleh karena itu, syari'at mengharamkan siasat licik yang dapat membolehkan sesuatu yang telah diharamkan Allah atau menggugurkan perkara yang telah diwajibkan Allah.

4. Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata dalam kitab Tahdziib as-Sunan (V/109), "Ada bentuk keempat dari jual beli 'inah, -ini adalah bentuk 'inah yang paling ringan-, yaitu seorang memiliki barang dagangan yang hanya dijualnya dengan pembayaran bertempo. Imam Ahmad telah menegaskan makruhnya cara seperti ini. Beliau berkata, "Inah adalah seseorang memiliki barang dagangan yang hanya dijualnya dengan pembayaran bertempo. Jika ia menjualnya dengan pembayaran bertempo dan pembayaran kontan, maka tidaklah mengapa."

Beliau juga berkata, "Aku benci orang yang tidak menjalankan perniagaannya kecuali dengan cara 'inah. Janganlah ia jual melainkan secara kontan."

Ibnu 'Uqail berkata, 'Imam Ahmad membencinya karena kesamaan cara seperti itu dengan praktek riba. Karena penjual yang menjual barangnya dengan pembayaran bertempo pada umumnya tujuannya adalah tambahan harga.'

Guru kami, yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, menyebutkan alasannya bahwa jual beli seperti ini mengandung unsur paksaan. Biasanya orang yang membeli dengan pembayaran bertempo (kredit) disebabkan tidak mampu membelinya secara kontan. Jika seorang penjual tidak menjual barangnya kecuali dengan pembayaran bertempo (kredit), maka jelas menguntungkan pihak pembeli yang sangat membutuhkan barang tersebut. Namun, jika ia menjualnya dengan dua pilihan, tunai dan kredit, maka akan menguntungkan pihak penjual.

Ada bentuk kelima dari jual beli 'inah -ini merupakan bentuk yang paling buruk dan sangat diharamkan- yaitu dua orang (A dan B) bersepakat melakukan praktek riba, keduanya mendatangi seseorang yang memiliki barang (C). Lalu orang yang butuh barang si (A) membelinya dari si (C) untuk si (B) dengan harga kontan. Lalu (B) menjualnya kepada si (A) dengan pembayaran bertempo (kredit) dengan harga yang telah disepakati oleh keduanya. Kemudian si (A) mengembalikan barang tersebut kepada si (C) dengan memberikan sesuatu (upah) kepadanya. Ini disebut tsulatsiyah, karena melibatkan tiga orang. Jika barang itu berputar antara dua orang saja disebut tsuna-iyah. Dalam praktek tsulatsiyah dua belah pihak memasukkan orang ketiga dengan anggapan orang ketiga ini dapat menghalalkan bagi keduanya riba yang telah diharamkan oleh Allah. Kedudukannya sama seperti muhallil nikah, ia disebut muhallil riba. Sementara yang pertama tadi adalah muhallil kehormatan wanita. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi atas Allah, Dia Mahatahu pandangan yang khianat dan apa yang terselip dalam hati manusia."

Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah mengulas panjang lebar dalam kitab Tahdziib as-Sunan (V/100-109), beliau menjelaskan dalil-dalil haramnya praktek 'inah. Silahkan membacanya karena sangat berguna. Praktek tsulutsiyah dan tsuna-iyah yang beliau isyaratkan di atas justru banyak dipraktekkan oleh bank-bank yang berlabel Islam. Hanya kepada Allah saja kita mengadu.


Sumber:

Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/248-250

Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

 

blogger templates | Make Money Online