Rabu, 29 Juli 2009

Ketika Ku Langkahkan Kakiku Keluar Untuk Bekerja

Oleh : Ummu Raihanah

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ“

Dan hendaklah kamu tetap(tinggal) dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya (Al-Ahzab :33)


Wahai ukhti muslimah,…Wanita dalam pingitan menunjukkan kemuliaan dan kesucian. Terdapat dalam sejarah dari dulu hingga kemudian. Dalam pingitan malu menjadi hiasan. Wajarlah bila ia menjadi primadona dan dambaan. Bukankah Allah ciptakan bidadari surga dalam pingitan?

Tetapi mengapa wanita sekarang berlomba-lomba meninggalkan rumahnya,menukar tempat yang mulia dengan kehinaan?Bukankah telah Allah perintahkan dalam Al-Qur’an tinggallah dalam rumah-rumah kalian wahai wanita yang beriman?tidakkah kau lihat sekarang terjadi berbagai kerusakan dari banyaknya wanita yang berbaur dengan laki-laki dan berkeliaran?perselingkuhan dan perzinahan menjadi kemaksiatan yang tak lagi menakutkan, pada Allahlah kita meminta pertolongan…

Wahai ukhti muslimah,…banyak slogan bertaburan untuk menjadikan kalian wanita yang mengikuti perkembangan zaman walaupun harus mengorbankan agama dan kehormatan kalian, agar julukan kuno dan ketinggalan zaman tidak melekat pada diri kalian.

Hingga akhirnya wahai saudariku,…sebagian saudari kita merasa sesak dan sempit dadanya ketika harus tinggal dirumah. “Seperti burung dalam sangkar “, katanya. Betapa membosankannya! Merasa nyaman ketika di luar rumah bergaul begitu bebas tanpa batasan, keluar rumah tanpa kebutuhan. Hilanglah sudah rasa malu yang menjadi hiasan utama para wanita, tak merasa risih berbicara dengan lawan jenisnya tanpa ada kebutuhan yang penting atau mendesak bahkan tertawa dan bercanda? Bukankah Rasul kita yang mulia bersabda : “Malu adalah sebagian dari iman?”1

Mereka beralasan “Tidaklah kami keluar melainkan karena kami harus bekerja membantu suami atau orangtua kami karena kebutuhan hidup yang semakin tinggi, bagaimana kami hidup jika kami tidak keluar bekerja?”

Wahai saudariku,…mencari nafkah adalah tanggungjawab suami jika engkau telah bersuami, ridhalah dengan pemberiannya. Syukurilah ia walau tak seberapa, keridhaanmu dan qana’ahmu (menerima apa adanya) justru akan membawa barakah pada harta suamimu. Bila engkau belum menikah maka ayahmulah yang bertanggungjawab atas biaya hidupmu. Bersyukurlah atas pemberian orangtuamu dan berbaktilah pada mereka agar doamu dikabulkanNya. Bukankah Uwais Al-qarni sangat berbakti pada ibunya yang membuat doanya dikabulkan Allah? hingga Nabi kita yang mulia menyuruh Umar Radiyallahu anhu bila berjumpa Uwais agar meminta doa darinya agar Allah mengampuni dosa Umar? Bukankah Umar radiyalahu anhu juga menawarkan dunia berupa surat rekomendasi kepada uwais yang waktu itu akan ke Kufah. Bila saja ia mau menggunakannya maka kehidupannya akan berubah. Dunia mendatangi Uwais dan tunduk padanya akan tetapi Uwais menolaknya dengan berkata, “Menjadi orang biasa dan tidak terkenal adalah lebih aku sukai.”2

Wahai saudariku fillah,… dalam hidup ini kita akan selalu dirisaukan dengan kelaparan, kefakiran dan ketakutan karena memang demikianlah Allah jelaskan dalam Al-Qur’an sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman :

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:155)

Tidakkah kau lihat dalam sejarah wahai saudariku,…sebelum sahabat dan sahabiyah mengenal islam. Hidup dalam gelap gulita, kehinaan, permusuhan, pertumpahan darah, kesesatan bahkan kefakiran. Kemudian mereka menyerahkan diri mereka hanya taat pada perintahNya dan RasulNya tercinta. Keikhlasan dan mengikuti Sunnah Nabi mereka adalah pedoman hidup mereka. Jasad mereka berjalan di atas muka bumi tetapi hati-hati mereka tergantung di akhirat. Iman, takwa dan amal shaleh menjadi pakaian mereka. Maka kejayaan, kekayaan bahkan dunia menghampiri dan bertekuk lutut dihadapan mereka. Tidakkah mereka pada saat itu menguasai bumi dari timur hingga barat? Allahpun memenuhi janjiNya.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa.” (An-Nuur: 55).



Wahai saudariku,…aku ulang sekali lagi, bukankah dunia menghampiri para sahabat yang mulia? Mereka tidak tertipu dan terbenam dalam gemerlapnya kehidupan dunia. Akan tetapi justru hidup zuhud adalah pilihan mereka. Mereka tetap memilih untuk khusyu’, tunduk dan berhina diri di hadapan Allah Azza wa jalla.

Lalu arahkanlah pandanganmu sekali lagi pada Al-Qur’an,…akan engkau dapati kisah indah dan menakjubkan. Dua wanita putri nabi yang mulia, sangat terpaksa harus membawa binatang ternaknya ke sumber air Madyan . Karena sang ayah telah lanjut usia hingga tugasnya tak mampu lagi beliau tunaikan. Rasa malu menghalangi mereka untuk berbaur (ikhtilath) dengan kaum lelaki jadilah mereka menunggu dari kejauhan. Mereka rela sabar menunggu memberi minum ternaknya setelah berlalunya rombongan. Inilah dia kisah yang akan membuat hatimu tertawan, Allah berfirman:

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ

“Dan tatkala ia (Nabi Musa alaihis salam) sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? ” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”.(Al-Qashas:23).

Maka Allahpun memberikan pertolongan pada kedua putri Nabi Syuaib alahis salam dengan hadirnya Nabi Musa alaihis salam yang memberi minum ternak mereka.



فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

“Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ketempat yang teduh lalu berdo’a: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashas :24).

Wahai hamba Allah yang shalihah,…renungkanlah kisah mulia diatas. Rasa malu ternyata telah menjadi hiasan wanita di masa lampau. Walau bagaimanapun beratnya tantangan hidup, dua putri nabi mulia memilih menjauh dari ramai sesaknya para pria. Bersabar menunggu hingga mereka pergi dan berlalu barulah mereka memberi minum ternaknya kemudian Allah pun memudahkan urusan dunia mereka dengan menghadirkan Musa alaihis salam agar menolong mereka berdua.

Diantara saudari kita ada yang berkata, “Kita tetap harus bekerja karena kita butuh pegangan, kita butuh harta agar anak-anak kita tidak terlantar bila ayahnya tiada, apalagi kita tidak tahu isi hati suami kita bagaimana kalau ia tergiur wanita lain lalu melupakan kewajibannya menafkahi keluarga?”

Wahai para istri,…tak ada satupun ulama melarang wanita bekerja dengan dua syarat kewajibanmu sebagai istri engkau tunaikan dan jenis pekerjaan yang tidak melanggar syariat agama. Tinggal dirumah adalah lebih utama akan tetapi bila memang engkau harus keluar maka taatilah rambu-rambu agama. Keluar dengan menutup aurat secara sempurna yaitu dengan jilbab syar’i yang merupakan pakaian wanita bertakwa, hindari ikhtilath semampumu, menundukkan pandangan dan hiasan malumu janganlah engkau tanggalkan. Karena dengan malu itulah engkau menjadi terhormat dan dimuliakan.

Jika engkau berburuk sangka pada suamimu diluar ketika mencari nafkah,..hatimu tidak tenang dan was-was boleh jadi ia tergiur wanita lain. Tidakkah engkau sadar karena ini adalah akibat dari bergaul bebasnya wanita dengan laki-laki sehingga engkaupun terkena fitnah keraguan? Sebagai seorang muslimah yang beriman hendaklah menjauhi dari prasangka karena ini adalah dosa sebagaimana Rabb kita berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” (Al-Hujuraat: 12)

“Bagaimana bila suamiku tiada, tentu anak-anakku akan terlantar”, Wahai saudariku,… jangan biarkan setan mengelabuhimu. Menakut-nakutimu terhadap perkara ghaib. Kematian adalah perkara yang ghaib, hanya Allah saja yang tahu. Boleh jadi kitalah yang mendahului suami kita karena urusan ajal adalah rahasia Allah semata. Kita dilarang berbuat “rajman bilghaib” yaitu menerka-nerka sesuatu perkara yang ghaib yang dimana hanya Allah saja yang mengetahuinya.

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Dan, tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Lukman : 34).

Bercerminlah wahai ukhti muslimah,…pada Ummu Salamah radiyallahu anha. Ketika suaminya tercinta ditakdirkan Allah sebagai syuhada. Beliau beristirja (mengucapkan innalillahi wa inna ilahi raajiun) kemudian bersabar dan bertawakal kepadaNya dengan berdoa:

“Ya, Allah berikanlah pahala karena musibah ini dan berikanlah kepadaku pengganti yang lebih baik”3.

Maka beliaupun bertanya pada dirinya sendiri, “Siapa gerangan yang lebih baik dari Abu Salamah?” Allahpun menjawab doanya ketika iddah beliau selesai, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam datang melamarnya kemudian menikahinya dan beliau pula yang menanggung anak-anak Ummu Salamah. Ummu Salamah berkata:

Allah telah mengganti untuk diriku yang lebih baik dari Abu Salamah radiyallahu anhu yaitu Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.4.

Wahai ukhti muslimah semoga Allah memuliakanmu, setelah engkau membaca kisah Ummu Salamah Radiyallahu anha apalagi yang engkau ragukan?Apa lagi yang engkau risaukan?Bukankah Ar-Rahman telah memberikan jaminan setelah Ia memberikan ujian dan cobaan pada hamba-hambaNya yang beriman?kebahagiaan di akhirat berupa surga yang penuh dengan kenikmatan dan keabadian. Di dunia bahkan Dia akan menggantinya dengan lebih baik dari yang sebelumnya hamba tersebut dapatkan. Buah dari kesabaran dan ketawakalan.

Tinggal di rumah adalah perintah dari Rabbmu Azza Wajalla, sangat utama ibadah dan berpahala. Kebaikan di dalamnya tersimpan melimpah ruah. Barakah dari atas langit senantiasa tercurah.

Duhai, para calon bidadari surga… segeralah kembali pada seruan Penciptamu,taatilah perintahNya maka keberuntungan akan menghampirimu, kebahagiaan dunia akan mendatangimu akhiratpun berbahagia menyambutmu.Wallahu a’lam bish-shawwab.

Artikel ini telah di muraja’ah (dibaca dan di cek ulang) dan di setujui oleh :

Ustadz Khalid Syamhudi Lc dan Ustadz Muhammad Elvy Syam Lc.

Sumber Rujukan:

1. Terjemah Shahih Bukhari,Asy-Syifa’, Semarang.
2. Ringkasan Shahih Muslim,Pustaka Amani, Jakarta.
3. Hiburan bagi Orang-orang Yang Tertimpa Musibah,Muhammad bin Muhammad Al-Manjabi Al-Hambali,Darul Haq,Jakarta.

Catatan kaki:

1. HR.Muslim no.30 Bukhari no.9 [↩]
2. Lihat Hadits Riwayat Muslim no.1747 dan 1748 [↩]
3. HR.Muslim no.918 kitab janaiz [↩]
4. lihat kisah ini dalam Shahih Muslim dalam kitab al-Janaiz [↩]

Diposting dari :
http://jilbab.or.id/archives/623-ketika-ku-langkahkan-kakiku-keluar-untuk-bekerja/

Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Keluarga Berencana Islami

Semua orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian wajib meyakini bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah ta’ala untuk kebaikan dan kebahagiaan hidup Manusia. Karena Allah ta’ala mensyariatkan agama-Nya dengan ilmu-Nya yang maha tinggi dan hikmah-Nya yang maha sempurna, maka jadilah syariat Islam satu-satunya pedoman hidup yang bisa mendatangkan kebahagiaan hakiki bagi semua orang yang menjalankannya dengan baik.


Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan) hidup bagimu.” (Qs. al-Anfaal: 24). (Lihat “Tafsir Ibnu Katsir”, 4/34)

Imam Ibnul Qayyim -semoga Allah ta’ala merahmatinya- berkata: “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan, yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin.” (Kitab al-Fawa-id, hal. 121- cet. Muassasatu Ummil Qura’)

Semakna dengan ayat di atas Allah ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. an-Nahl: 97)

Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan hidup” atau “rezeki yang halal” dan kebaikan-kebaikan lainnya. (Lihat “Tafsir Ibnu Katsir”, 2/772)

Oleh karena itulah, jalan keluar dan solusi dari semua masalah yang kita hadapi, tidak terkecuali masalah dalam rumah tangga dan problema pendidikan anak, hanya akan dicapai dengan bertakwa kepada Allah ta’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Qs. ath-Thalaaq: 2-3).

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4)

Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya) (Tafsir Ibnu Katsir, 4/489).

Anjuran memperbanyak keturunan

Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Seorang lelaki pernah datang (menemui) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: Sesungguhnya aku mendapatkan seorang perempuan yang memiliki kecantikan dan (berasal dari) keturunan yang terhormat, akan tetapi dia tidak bisa punya anak (mandul), apakah aku (boleh) menikahinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak (boleh)”, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk kedua kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali melarangnya, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya jumlah kalian) dihadapan umat-umat lain (pada hari kiamat nanti).” Bagi seorang perempuan yang masih gadis. kesuburan ini diketahui dengan melihat keadaan keluarga (ibu dan saudara perempuan) atau kerabatnya, lihat kitab ‘Aunul Ma’buud, 6/33-34). (HR Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (6/65) dan al-Hakim (2/176), dishahihkan oleh Ibnu Hibban (no. 4056- al-Ihsan), juga oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi).

Hadits ini menunjukkan dianjurkannya memperbanyak keturunan, yang ini termasuk tujuan utama pernikahan, dan dianjurkannya menikahi perempuan yang subur untuk tujuan tersebut. Lihat kitab Zaadul Ma’aad (4/228), Aadaabuz Zifaaf (hal. 60) dan Khataru Tahdiidin Nasl (8/16- Muallafaatusy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).

Dan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Ibuku (Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha) pernah berkata: (Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu). Anas berkata: Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku, dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan: “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah apa yang Engkau berikan kepadanya.” Anas berkata: Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang. (HSR. al-Bukhari (no. 6018) dan Muslim (no. 2481), lafazh ini yang terdapat dalam Shahih Muslim)

Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak keturunan yang diberkahi Allah ta’ala, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya, dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. (Lihat Syarah Shahih Muslim, 16/39-40)

Demikian pula keumuman hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan memiliki anak yang saleh, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika seorang manusia mati, maka terputuslah (pahala) amal (kebaikan)nya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya dengan diwakafkan), atau ilmu yang diambil manfaatnya (terus diamalkan), atau anak shaleh yang terus mendoakan kebaikan baginya.” (HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah, no. 1598)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: Bagaimana aku bisa mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu.” (Kitab al-Maudhuuaat (2/281), al-’Ilal mutanaahiyah (2/636) keduanya tulisan imam Ibnul Jauzi, dan Silsilatul Ahaaditsidh Dha’iifah” (no. 3580))

Adapun hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan membatasi keturunan, seperti hadits “Sebaik-baik kalian setelah dua ratus tahun mendatang adalah semua orang yang ringan punggungnya (tanggungannya); (yaitu) yang tidak memiliki istri dan anak”, dan yang semakna dengannya, semua hadits tersebut adalah hadits yang lemah bahkan beberapa diantaranya batil (palsu).

Demikian pula hadits-hadits yang menunjukkan tercelanya memiliki keturunan, semuanya hadits palsu. Imam Ibnul Qayyim berkata: “Hadits-hadits (yang menunjukkan) tercelanya (memiliki) anak semuanya dusta (hadits palsu) dari awal sampai akhir.” (Kitab al-Manaarul Muniif, no. 206)

Banyak anak tidak berarti banyak masalah

Setelah jelas bagi kita bahwa agama Islam menganjurkan untuk memperbanyak keturunan, maka dengan ini kita mengetahui kelirunya anggapan kebanyakan orang awam yang jahil (tidak paham agama), yang mengatakan bahwa banyak anak berarti banyak masalah. Karena tidak mungkin agama Islam yang diturunkan untuk kebaikan hidup manusia, menganjurkan sesuatu yang justru menimbulkan masalah bagi mereka. Hal ini disebabkan agama Islam tidak hanya menganjurkan memperbanyak keturunan, tapi juga menekankan kewajiban untuk mendidik keturunan dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. at-Tahriim: 6)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.” (Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 640)

Bahkan kalau kita amati dengan seksama, menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini justru merupakan faktor utama -setelah taufik dari Allah ta’ala- yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak, sekaligus sebagai penjagaan bagi anak dari setan yang selalu berupaya untuk memalingkan manusia dari jalan yang lurus sejak mereka dilahirkan ke dunia ini. (Dalam hadits shahih riwayat Muslim (no. 2367) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan”)

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4). (Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin, 4/14)

Sebagai contoh misalnya, anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk membaca doa:

بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami.” Maksud Rezeki pada hadits ini termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab Faidhul Qadiir (5/306).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seorang suami yang ingin mengumpuli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya.” (HSR al-Bukhari (no. 6025) dan Muslim, no. 1434)

Konsep Islam tentang Keluarga Berencana

Berdasarkan dalil-dalil yang tersebut di atas, maka hukum asal membatasi atau mengatur jumlah keturunan (baca: Keluarga Berencana) dalam Islam adalah diharamkan, karena menyelisihi petunjuk syariat Islam yang melarang keras perbuatan tabattul (hidup membujang selamanya) (Dalam hadits shahih Riwayat Ahmad (3/158 dan 3/245) dan Ibnu Hibban (no. 4028), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil (6/195)), dan memerintahkan untuk menikahi perempuan yang subur (banyak anak). Oleh karena itu, mengonsumsi pil pencegah kehamilan atau obat-obatan lainnya untuk mencegah kehamilan tidak diperbolehkan (dalam agama Islam), kecuali dalam kondisi-kondisi darurat (terpaksa) yang jarang terjadi (Fatawa Lajnah Daaimah (19/319) no (1585) yang dipimpin oleh syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dengan sedikit penyesuaian).

Ketika menjelaskan hikmah agung diharamkannya membatasi keturunan, imam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Barangsiapa yang memperhatikan keterangan yang telah kami sampaikan dan keterangan para ulama yang kami nukilkan (sebelumnya), dia akan mengetahui (dengan yakin) bahwa pendapat yang membolehkan untuk membatasi keturunan adalah pendapat yang berseberangan dengan syariat Islam yang sempurna, yang (selalu berusaha) mewujudkan dan menyempurnakan kemaslahatan (kebaikan bagi manusia), serta menolak dan memperkecil kemudharatan (keburukan/kerusakan bagi manusia). (Bahkan pendapat ini) bertentangan dengan fitrah manusia yang suci, karena Allah ta’ala menjadikan fitrah suci manusia untuk mencintai anak-anak dan mengusahakan sebab-sebab untuk memperbanyak keturunan. Sungguh Allah dalam al-Qur-an telah menjadikan banyaknya keturunan sebagai anugerah (bagi manusia) dan menjadikannya termasuk perhiasan (kehidupan) dunia. Allah ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ

“Allah menjadikan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik.” (Qs. an-Nahl: 72)

Allah ta’ala juga berfirman:

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia.” (Qs. al-Kahfi: 46)

(Kemudian) barangsiapa yang memperhatikan pembahasan masalah ini (dengan seksama) dia akan mengetahui bahwa pendapat yang membolehkan untuk membatasi keturunan adalah pendapat yang bertentangan dengan kemaslahatan (kebaikan) umat Islam (sendiri). Karena sungguh banyaknya keturunan (kaum muslimin) termasuk sebab kekuatan, kemuliaan, keperkasaan dan kewibawaan umat Islam (di hadapan umat-umat lain). Sedangkan membatasi keturunan bertentangan dengan semua (tujuan) tersebut, karena menjadikan sedikitnya (jumlah) dan lemahnya kaum muslimin, bahkan menjadikan musnah dan punahnya umat ini. Ini adalah perkara yang jelas bagi semua orang yang berakal dan tidak butuh argumentasi (untuk membuktikannya) (Majmu’u Fatawa wa Maqaalaat Syaikh Bin Baaz (3/19). Lihat juga tulisan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Bahayanya Membatasi Keturunan dalam “Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu” (8/16)).

Oleh karena itulah, Syaikh Shaleh al-Fauzan menegaskan bahwa pembatasan jumlah keturunan adalah pemikiran buruk yang disusupkan musuh-musuh Islam ke dalam tubuh kaum muslimin, dengan tujuan untuk melemahkan dan memperkecil jumlah kaum muslimin (Al-Muntaqa Min fatawa al-Fauzan, 69/20).

Berbagai alasan mengapa ber-KB dalam tinjauan syariat Islam

Adapun alasan-alasan yang di kemukakan oleh kebanyakan orang yang melakukan KB, seperti kekhawatiran tidak cukupnya rezeki atau kesulitan mendidik anak, maka ini adalah alasan-alasan yang sangat bertentangan dengan petunjuk Islam, bahkan mengandung buruk sangka kepada Allah ta’ala.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “…Kalau yang menjadi pendorong melakukan pembatasan keturunan adalah kekhawatiran akan kurangnya rezeki, maka ini (termasuk) berburuk sangka kepada Allah ta’ala. Karena Allah ta’ala Dialah yang menciptakan semua manusia, maka Dia pasti akan mencukupkan rezeki bagi mereka…

Allah berfirman:

وكأين من دابة لا تحمل رزقها الله يرزقها وإياكم وهو السميع العليم

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri, Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-’Ankabuut: 60)

Adapun jika pendorong melakukannya adalah kekhawatiran akan susahnya mendidik anak, maka ini adalah (persangkaan) yang keliru, karena betapa banyak (kita dapati) anak yang sedikit jumlahnya tapi sangat menyusahkan (orang tua mereka) dalam mendidik mereka, dan (sebaliknya) betapa banyak (kita dapati) anak yang jumlahnya banyak tapi sangat mudah untuk dididik jauh melebihi anak yang berjumlah sedikit. Maka yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah ta’ala. Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4) (Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin, 4/14).

Bahkan alasan membatasi keturunan seperti ini termasuk tindakan menyerupai orang-orang kafir di jaman Jahiliyah, yang membunuh anak-anak mereka karena takut miskin, hanya saja orang-orang di jaman sekarang mencegah kelahiran anak karena takut miskin, adapun orang-orang di jaman Jahiliyah membunuh anak-anak mereka yang sudah lahir karena takut miskin. (Lihat ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan dalam al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (89/19), dan syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 65)).

Allah ta’ala berfirman:

ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإياكم إن قتلهم كان خِطْأ كبيراً

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Qs. al-Israa’: 31)

Dan masih banyak alasan-alasan lain yang di kemukakan khususnya oleh para pengekor musuh-musuh Islam, yang mempropagandakan seruan untuk membatasi jumlah keturunan. Semua alasan yang mereka kemukakan itu disebutkan dan dibantah secara terperinci oleh Lajnah Daimah yang dipimpin oleh imam syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Syaikh. (Lihat Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (5/115-125)).

Kesimpulannya, semua alasan yang mereka kemukakan sangat menyimpang jauh dari kebenaran dan petunjuk Islam, bahkan bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan fitrah kemanusiaan, bahkan lebih dari pada itu, (upaya) untuk membatasi (jumlah keturunan) atau mencegah kehamilan dengan cara apapun akan menimbulkan banyak bahaya dan kerusakan, baik dari segi agama, ekonomi, politik, sosial, jasmani maupun rohani. (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah, (5/127), dengan sedikit penyesuaian)

Perbedaan antara membatasi (jumlah) keturunan dan mencegah kehamilan atau mengaturnya

Setelah kita mengetahui bahwa hukum asal Keluarga Berencana adalah diharamkan karena sebab-sebab tersebut di atas, kecuali dalam keadaan darurat dan dengan alasan yang benar menurut syariat, maka dalam hal ini para ulama membedakan antara membatasi keturunan dan mencegah kehamilan atau mengaturnya, sebagai berikut:

Membatasi (jumlah) keturunan: adalah menghentikan kelahiran (secara permanen) setelah keturunan mencapai jumlah tertentu, dengan menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa mencegah kehamilan. Tujuannya untuk memperkecil (membatasi) jumlah keturunan dengan menghentikannya setelah (mencapai) jumlah yang ditentukan. (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114, Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh (31/133)).

Membatasi keturunan dengan tujuan seperti ini dalam agama Islam diharamkan secara mutlak, sebagaimana keterangan Lajnah daaimah yang dipimpin oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (Fatawal Lajnatid Daaimah, (9/62) no (1584)), demikian juga Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin (Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh, (31/133)), syaikh Shaleh al-Fauzan (Al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (69/20)) dan Keputusan majelis al Majma’ al Fiqhil Islami (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286)). Karena ini bertentangan dengan tujuan-tujuan agung syariat Islam, seperti yang diterangkan di atas.

Mencegah kehamilan: adalah menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa menghalangi seorang perempuan dari kehamilan, seperti: al-’Azl (menumpahkan sperma laki-laki di luar vagina), mengonsumsi obat-obatan (pencegah kehamilan), memasang penghalang dalam vagina, menghindari hubungan suami istri ketika masa subur, dan yang semisalnya (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114 – Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah)).

Pencegahan kehamilan seperti ini juga diharamkan dalam Islam, kecuali jika ada sebab/alasan yang (dibenarkan) dalam syariat.

Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “Aku tidak menyangka ada seorang ulama ahli fikih pun yang menghalalkan (membolehkan) mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, kecuali jika ada sebab (yang dibenarkan) dalam syariat, seperti jika seorang wanita tidak mampu menanggung kehamilan (karena penyakit), dan (dikhawatirkan) jika dia hamil akan membahayakan kelangsungan hidupnya. Maka dalam kondisi seperti ini dia (boleh) mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, disebabkan dia tidak (mampu) menanggung kehamilan, karena kehamilan (dikhawatirkan) akan membahayakan hidupnya, maka dalam kondisi seperti ini boleh mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, karena darurat (terpaksa)… Adapun mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan tanpa ada sebab (yang dibenarkan) dalam syariat, maka ini tidak boleh (diharamkan), karena kehamilan dan keturunan (adalah perkara yang) diperintahkan dalam Islam (untuk memperbanyak jumlah kaum muslimin). Maka jika mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan itu (bertujuan untuk) menghindari (banyaknya) anak dan karena (ingin) membatasi (jumlah) keturunan, sebagaimana yang diserukan oleh musuh-musuh Islam, maka ini diharamkan (dalam Islam), dan tidak ada seorang pun dari ulama ahli fikih yang diperhitungkan membolehkan hal ini. Adapun para ahli kedokteran mungkin saja mereka membolehkannya, karena mereka tidak mengetahui hukum-hukum syariat Islam (al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan (89/25)).

Dalam fatwa Lajnah Daimah: “…Berdasarkan semua itu, maka membatasi (jumlah keturunan) diharamkan secara mutlak (dalam Islam), (demikian juga) mencegah kehamilan diharamkan, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang jarang (terjadi) dan tidak umum, seperti dalam kondisi yang mengharuskan wanita yang hamil untuk melahirkan secara tidak wajar, dan kondisi yang memaksa wanita yang hamil melakukan operasi (caesar) untuk mengeluarkan bayi (dari kandungannya), atau kondisi yang jika seorang wanita hamil maka akan membahayakannya karena adanya penyakit atau (sebab) lainnya. Ini semua dikecualikan dalam rangka untuk menghindari mudharat (bahaya) dan menjaga kelangsungan hidup (bagi wanita tersebut), karena sesungguhnya syariat Islam datang untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah kerusakan… (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (5/127)).

Mengatur kehamilan: adalah menggunakan berbagai sarana untuk mencegah kehamilan, tapi bukan dengan tujuan untuk menjadikan mandul atau mematikan fungsi alat reproduksi, tetapi tujuannya mencegah kehamilan dalam jangka waktu tertentu (bukan selamanya), karena adanya maslahat (kebutuhan yang dibenarkan dalam syariat) yang dipandang oleh kedua suami istri atau seorang ahli (dokter) yang mereka percaya (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114) Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/15)).

Mengatur kehamilan seperti ini -sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad al-’Utsaimin- boleh dilakukan dengan dua syarat:

1). Adanya kebutuhan (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika istri sakit (sehingga) tidak mampu menanggung kehamilan setiap tahun, atau (kondisi) tubuh istri yang kurus (lemah), atau penyakit-penyakit lain yang membahayakannya jika dia hamil setiap tahun.

2). Izin dari suami bagi istri (untuk mengatur kehamilan), karena suami mempunyai hak untuk mendapatkan dan (memperbanyak) keturunan (Al Fataawal Muhimmah (1/159-160) no. (2764)).

Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “…Demikian pula (diperbolehkan) mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, atau lebih tepatnya penunda kehamilan, untuk jangka waktu tertentu (bukan seterusnya), karena adanya suatu sebab (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika istri dalam kondisi sakit, atau kelahiran yang banyak berturut-turut yang membuat istri tidak mampu memberi makanan (ASI) yang cukup untuk bayinya, maka dia (boleh) mengonsumsi obat penunda kehamilan, supaya dia bisa berkonsentrasi (untuk mempersiapkan diri) menyambut kehamilan yang baru setelah selesai dari hamil yang pertama, maka dalam kondisi (seperti) ini diperbolehkan (Al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (89/24-25)).

Dalam fatwa Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Syaikh Bin Baz: “…Adapun mengatur keturunan yaitu (dengan) menunda kehamilan karena alasan yang benar (sesuai syariat), seperti (kondisi) istri yang lemah (sehingga) tidak mampu (menanggung) kehamilan, atau kebutuhan untuk menyusui bayi yang sudah lahir, maka ini diperbolehkan untuk kebutuhan tersebut (Fatawal Lajnatid Daaimah (19/428) no (16013)).

Yang perlu diperhatikan di sini, bahwa kondisi lemah, payah dan sakit pada wanita hamil atau melahirkan yang dimaksud di sini adalah lemah/sakit yang melebihi apa yang biasa dialami oleh wanita-wanita hamil dan melahirkan pada umumnya, sebagaimana yang diterangkan dalam fatwa Lajnah Daimah (Fatawal Lajnatid Daaimah (19/319) no (1585)). Karena semua wanita yang hamil dan melahirkan mesti mengalami sakit dan payah, Allah berfirman:

حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً

“…Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula)” (Qs. al-Ahqaaf: 15).

Penggunaan alat kontrasepsi dan obat pencegah hamil

Setelah kita mengetahui bahwa para ulama membolehkan penggunaan obat pencegah kehamilan dan alat kontrasepsi jika ada sebab yang dibenarkan dalam syariat, maka dalam menggunakannya harus memperhatikan beberapa hal berikut:

1) Sebelum menggunakan alat kontrasepsi/obat anti hamil hendaknya berkonsultasi dengan seorang dokter muslim yang dipercaya agamanya, sehingga dia tidak gampang membolehkan hal ini, karena hukum asalnya adalah haram, sebagaimana penjelasan yang lalu. Ini perlu ditekankan karena tidak semua dokter bisa dipercaya, dan banyak di antara mereka yang dengan mudah membolehkan pencegahan kehamilan (KB) karena ketidakpahaman terhadap hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan di atas. (Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam Khataru Tahdiidin Nasl (8/16) Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu), dan keputusan Majelis al Majma’ al Fiqhil Islami dalam Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286))

2) Pilihlah alat kontrasepsi yang tidak membahayakan kesehatan, atau minimal yang lebih ringan efek sampingnya terhadap kesehatan (Lihat keterangan Syaikh al-’Utsaimin dalam al-Fatawal Muhimmah (1/160) dan kitab Buhuutsun Liba’dhin Nawaazilil Fiqhiyyatil Mu’aashirah (28/6)).

3- Usahakanlah memilih alat kontrasepsi yang ketika memakai/memasangnya tidak mengharuskan terbukanya aurat besar (kemaluan dan dubur/anus) di hadapan orang yang tidak berhak melihatnya. Karena aurat besar wanita hukum asalnya hanya boleh dilihat oleh suaminya (Lihat Tafsir al-Qurthubi (12/205) dan keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (10/175)), adapun selain suaminya hanya diperbolehkan dalam kondisi yang sangat darurat (terpaksa) dan untuk keperluan pengobatan (Lihat kitab an-Nazhar Fi Ahkamin Nazhar (hal. 176) tulisan Imam Ibnul Qaththan al-Faasi, melalui perantaraan kitab Ahkaamul ‘Auraat Linnisaa’ (hal. 85)). Berdasarkan keumuman makna firman Allah ta’ala:

والذين هم لفروجهم حافظون، إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين

“…Dan mereka (orang-orang yang beriman) adalah orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Qs. al-Mu’minuun: 5-6)

Penutup

Inilah keterangan yang dapat kami sampaikan tentang hukum KB, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta penjelasan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita dan bagi semua orang yang membaca dan merenungkannya. Dan semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan petunjuk-Nya kepada kaum muslimin agar mereka selalu kembali kepada petunjuk-Nya dalam menjalani kehidupan mereka.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 4 Jumadal uula 1430 H

***

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Akal dan Agama Mana yang Mengatakan Ngebom Itu Jihad?!

Beberapa tahun yang silam pernah terjadi pengeboman dan perusakan di kota Riyadh, saat itulah Syeikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr angkat suara, “Alangkah miripnya kata tadi malam dengan semalam. Sesungguhnya peristiwa pemboman dan perusakan di kota Riyadh dan senjata-senjata lain yang digunakan di kota Makkah maupun Madinah pada awal tahun ini (1424 H, sekitar tahun 2003) merupakan hasil rayuan setan yang berupa bentuk meremehkan atau berlebih-lebihan dalam beragama.


Sejelek-jeleknya perbuatan yang dihiasi oleh setan adalah yang mengatakan bahwa pengeboman dan perusakan adalah bentuk jihad. Akal dan agama mana yang menyatakan membunuh jiwa, memerangi kaum muslimin, memerangi orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, membuat kekacauan, membuat wanita-wanita menjanda, menyebabkan anak-anak menjadi yatim, dan meluluhlantakkan bermacam bangunan sebagai jihad(?)”

Selanjutnya kita akan melihat berbagai ayat dan hadits yang menjelaskan bahwa syariat-syariat terdahulu juga menjelaskan hukuman keras terhadap pembunuhan. Juga akan dijelaskan pula mengenai bahaya akibat membunuh sesama muslim, hukum bunuh diri dan hukum membunuh orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin.

Beratnya Hukuman Pembunuhan Menurut Syariat Terdahulu

Allah Ta’ala berfirman mengenai kedua anak Adam yang saling membunuh,

فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah. Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.” (Qs. Al Maidah: 30)

Begitu pula hukuman keras bagi Bani Israel yang membunuh seorang manusia, Allah Ta’ala berfirman,

مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. Al Maidah: 32)

Bahkan bagi anak Adam yang membunuh saudaranya, dia akan terus menanggung dosa orang-orang sesudahnya yang melakukan pembunuhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا . وَذَلِكَ لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

“Tiada pembunuhan yang terjadi karena kezhaliman melainkan anak Adam yang pertama (yakni Qabil) yang akan menanggung dosa pembunuhan tersebut karena dialah yang pertama kali melakukannya.” (HR. Bukhari no. 32 dan Muslim no. 1677)

Harga Darah Seorang Muslim

Membunuh seorang muslim adakalanya dengan cara yang dibenarkan dan adakalanya tidak demikian. Membunuh dengan cara yang dibenarkan adalah jika pembunuhan tersebut melalui qishash atau hukuman had. Sedangkan membunuh tidak dengan cara yang benar bisa saja secara sengaja atau pun tidak.

Mengenai pembunuhan dengan cara sengaja, Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An Nisa’: 93)

Begitu pula Allah menyebutkan siksaan yang begitu pedih dan berlipat-lipat dalam firman-Nya,

وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا , يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا , إِلا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Rabb yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Furqan: 68-70)

Masalah darah adalah masalah antar sesama yang akan diselesaikan pertama kali di hari perhitungan nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِى الدِّمَاءِ

“Perkara yang pertama kali akan diperhitungkan antara sesama manusia pada hari kiamat nanti adalah dalam masalah darah.” (HR. Bukhari no. 6864 dan Muslim no. 1678)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا

“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan.” Kemudian ada yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, apa dosa-dosa tersebut? ” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan (di antaranya), “Berbuat syirik, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan tanpa jalan yang benar, memakan hasil riba …” (HR. Bukhari no. 6857 dan Muslim no. 89)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Musnahnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbutuhnya seorang muslim.” (HR. Muslim, An Nasa’i dan At Tirmidzi. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2439, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ وَأَهْلَ الأَرْضِ اِشْتَرَكُوْا فِي دَمِّ مُؤْمِنٍ لَأَكَّبَهُمُ اللهُ فِي النَّارِ

“Seandainya penduduk langit dan bumi bersekongkol untuk membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan menelungkupkan mereka ke dalam neraka.” (HR. At Tirmidzi. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2442, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi)

Dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا فَاغْتَبَطَ بِقَتْلِهِ لَمْ يَقْبَلِ اللهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً

“Barangsiapa membunuh seorang mukmin lalu dia bergembira dengan pembunuhan tersebut, maka Allah tidak akan menerima amalan sunnah juga amalan wajibnya.” (HR. Abu Daud. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2450, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, 6/252)

Adapun untuk pembunuhan terhadap seorang mukmin secara tidak sengaja, maka Allah telah memerintahkan untuk membayar diat dan kafarat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tidak sengaja, dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An Nisaa’: 92)

Balasan bagi Seorang Muslim yang Bunuh Diri

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا , وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Qs. An Nisa’: 29-30)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara seperti itu pula.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Contohnya adalah orang yang mati bunuh diri karena mencekik lehernya sendiri atau mati karena menusuk dirinya dengan benda tajam. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الَّذِى يَخْنُقُ نَفْسَهُ يَخْنُقُهَا فِى النَّارِ ، وَالَّذِى يَطْعُنُهَا يَطْعُنُهَا فِى النَّارِ

“Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan mencekik lehernya, maka ia akan mencekik lehernya pula di neraka. Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara menusuk dirinya dengan benda tajam, maka di neraka dia akan menusuk dirinya pula dengan cara itu.” (HR. Bukhari no. 1365)

Hukum Membunuh Orang Kafir

Orang-orang kafir yang haram untuk dibunuh adalah tiga golongan:

1. Kafir dzimmi (orang kafir yang membayar jizyah/upeti yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin)
2. Kafir mu’ahad (orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati)
3. Kafir musta’man (orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin).

Sedangkan orang kafir selain tiga di atas yaitu kafir harbi, itulah yang boleh diperangi.

Berikut kami tunjukkan beberapa dalil yang menunjukkan haramnya membunuh tiga golongan kafir di atas secara sengaja.

[Larangan membunuh Kafir Dzimmi yang telah menunaikan jizyah]

Allah Ta’ala berfirman,

قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Qs. At Taubah: 29)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. “ (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Larangan membunuh Kafir Mu'ahad yang telah membuat kesepakatan untuk tidak berperang]

Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Dosa orang yang membunuh kafir mu’ahad tanpa melalui jalan yang benar”. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

[Larangan Membunuh Kafir Musta'man yang telah mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin]

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (Qs. At Taubah: 6)

Dari ‘Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

“Dzimmah kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun).” (HR. Bukhari dan Muslim)

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dengan dzimmah dalam hadits di atas adalah jaminam keamanan. Maknanya bahwa jaminan kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui). Oleh karena itu, siapa saja yang diberikan jaminan keamanan dari seorang muslim maka haram atas muslim lainnya untuk mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam jaminan keamanan.” (Syarh Muslim, 5/34)

Adapun membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian dengan kaum muslimin secara tidak sengaja, Allah Ta’ala telah mewajibkan adanya diat dan kafaroh sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An Nisaa’: 92)

Setan Akan Merasuk Melalui Dua Pintu

Pada dasarnya setan akan merasuk ke dalam tubuh seorang muslim melalui dua pintu, dengan maksud membujuk dan menyesatkan mereka.

Pintu pertama, ditemukan pada orang yang sering lalai dan gemar berbuat maksiat. Setan akan memasukinya melalui pintu maksiat dan syahwat. Setan akan menghiasi manusia melalui jalan ini sehingga mereka akan semakin jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.

Pintu kedua, ditemukan pada orang yang taat beragama lagi ahli ibadah. Setan akan memasukinya melalui pintu bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama dan sikap melampaui batas. Setan akan menghiasinya bahwa perbuatan ghuluw yang dia lakukan adalah baik, dengan tujuan agar agamanya rusak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat mencela perbuatan ghuluw sebagaimana yang menimpa ahli kitab. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (Qs. An Nisa’: 171)

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَ الغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ

“Jauhilah sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama karena penyebab hancurnya umat-umat sebelum kalian adalah karena ghuluw dalam beragama.” (HR. Al Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Memperturutkan Hawa Nafsu dan Mengikuti Ayat yang Masih Samar

Di antara bentuk tipu daya setan untuk orang-orang yang selalu bertindak ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama adalah setan menghiasi mereka agar memperturutkan hawa nafsu. Mereka akhirnya salah dalam beragama dan enggan bertanya pada para ulama. Oleh karena itu, mereka tidak memperoleh ilmu dan keyakinan yang benar serta jauh dari petunjuk para ulama sehingga mereka tetap berada dalam kesesatan dan tertipu oleh bujuk rayu setan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ

“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (Qs. Muhammad: 14)

Allah Ta’ala juga berfirman,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (Qs. Ali Imran: 7)

Syeikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di -rahimahullah- menjelaskan, “Yang dimaksud ayat muhkam di sini adalah ayat yang jelas maknanya, tidak ada di dalamnya kesamaran dan kerancuan. Dan ayat muhkam inilah tempat rujukan bagi ayat-ayat yang masih samar (mutasyabih). Ayat muhkam inilah yang mendominasi dan paling banyak dalam Al Qur’an.”

Lalu Syeikh As Sa’di –semoga Allah selalu merahmati beliau- menjelaskan pula, “Di antara ayat-ayat Al Qur’an juga ada yang mutasyabih (masih samar). Kesamaran ini terjadi pada kebanyakan orang karena masih mujmal (global)-nya ayat tersebut. Atau mungkin tertangkap pada sebagian benak orang, namun bukan makna tersebut yang dimaksudkan.

Ringkasnya, dalam Al Qur’an ada ayat-ayat yang bersifat muhkam, jelas maknanya bagi setiap orang. Namun ada pula ayat yang masih samar bagi sebagian orang. Maka wajib bagi setiap muslim untuk membawa ayat-ayat mutasyabih (yang masih samar) kepada ayat-ayat yang muhkam (yang sudah jelas maknanya). Jika jalan seperti ini yang ditempuh, maka setiap ayat akan saling menjelaskan satu dan lainnya, sehingga tidak mungkin ada ayat-ayat yang saling bertentangan.”

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas, beliau pun bersabda,

فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ، فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ ، فَاحْذَرُوهُمْ

“Jika engkau melihat ada orang yang mengikuti hal yang masih samar (mutasyabih), inilah orang-orang yang Allah sebut telah menyimpang. Oleh karena itu, waspadalah terhadap orang-orang semacam itu.” (HR. Bukhari no. 4547 dan Muslim no. 2665)

Agar mendapat petunjuk, kembalilah pada ulama. Hal ini dibuktikan pada kisah 2000 orang Khawarij yang mengikuti petunjuk orang yang berilmu yakni Ibnu ‘Abbas sehingga mereka pun selamat dan sisanya yang tidak mau mengikuti akhirnya ditumpas karena berpaham sesat. Jadi dengan ilmu dan mau mengikuti arahan para ulama, itulah yang akan membuat setiap muslim terselamatkan dari kejahatan dan musibah.

Allah Ta’ala sendiri telah memerintahkan kita untuk bertanya pada orang yang berilmu jika kita tidak mengetahui, di antara contohnya adalah kita meminta penjelasan mereka mengenai ayat yang masih samar di benak kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. An Nahl: 43)

Penutup

Hendaklah setiap muslim merasa takut kepada Allah apalagi dalam masalah darah seorang muslim dan masalah orang yang tidak pantas ditumpahkan darahnya.

فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Al Baqarah: 24)

Rujukan:

1. Biayyi ‘Aqlin wa Diinin Yakuunu At Tafjiiru wa At Tadmiiru Jihaadan [?], Syeikh Abdul Muhsin bin Hamad Al Abbad Al Badr, http://islamspirit.com
2. Shahih At Targhib wa At Tarhib, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif – Riyadh
3. Syarh Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam
4. Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsiri Kalamil Mannan, Syeikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (www.rumaysho.com)
dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Serba-Serbi Bulan Sya’ban (02)

Puasa Setelah Pertengahan Sya’ban

Ada beberapa lafazh yang membicarakan larangan puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337)



Dalam lafazh lain,

إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِىءَ رَمَضَانُ

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)

Dalam lafazh yang lain lagi,

إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنِ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tahanlah diri dari berpuasa hingga datang bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad)

Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya.

Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.

Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Abdurrahman bin Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,

لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim no. 1082). Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.

Al Atsrom mengatakan, “Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”

At Thahawiy sendiri mengatakan bahwa hadits larangan berpuasa setelah separuh Sya’ban adalah hadits yang mansukh (sudah dihapus). Bahkan Ath Thohawiy menceritakan bahwa telah ada ijma’ (kesepakatan ulama) untuk tidak beramal dengan hadits tersebut. Dan mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut.

Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245)

Puasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim no. 1082)

Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model:

Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas terlarang.

Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas ulama membolehkannya.

Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadhan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah Al Hasan Al Bashri. Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)

Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan?

Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan.

Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib dan puasa sunnah. Dan memisahkan antara amalan yang wajib dan sunnah adalah sesuatu yang disyariatkan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyambungkan shalat wajib dengan shalat sunnah tanpa diselangi dengan salam atau dzikir terlebih dahulu. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)

Beberapa Hadits Lemah (Dho’if) dan Palsu (Maudhu’) di Bulan Sya’ban

[Hadits Pertama]

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan mengampuni dosa walaupun itu lebih banyak dari jumlah bulu yang ada di kambing Bani Kalb.” [Bani Kalb adalah salah satu kabilah di Arab yang punya banyak kambing]

Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Majah. At Tirmidzi mengatakan bahwa beliau mendengar Muhammad (yaitu Imam Bukhari) mendhoifkan hadits ini. (Lihat As Silsilah Ash Shohihah, no. 1144)

[Hadits Kedua]

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا. فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Apabila datang malam nishfu sya’ban, maka hidupkanlah malam tersebut dan berpuasalah di siang harinya. Karena ketika itu, Allah turun ke langit dunia pada malam tersebut mulai dari tenggelamnya matahari. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapa saja yang meminta ampunan, Aku akan mengampuninya. Siapa saja yang meminta rizki, aku pun akan memberinya. Siapa saja yang tertimpa kesulitan, Aku pun akan membebaskannya. Siapa pun yang meminta sesuatu, Aku akan mengabulkannya hingga terbit fajar”.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Sanad hadits ini adalah lemah, bahkan menurut Syeikh Al Albani adalah maudhu’ (palsu) karena di dalamnya terdapat perowi yang bernama Ibnu Abi Sabroh yang tertuduh sering memalsukan hadits sebagaimana dikatakan dalam At Taqrib. Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Ma’in juga berpendapat demikian yaitu Ibnu Abi Basroh sering memalsukan hadits. Sehingga Syeikh Al Albani berkesimpulan bahwa sanad hadits ini maudhu’ (palsu). (Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah, no. 2132)

[Hadits Ketiga]

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَانُ شَهْرِيْ وَ رَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِي .

“Rajab adalah syahrullah (bulan Allah), Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku.”

Dalam Al Jami’ Ash Shogir (6839), Syeikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.

[Hadits Keempat]

من صلى ليلة النصف من شعبان ثنتى عشرة ركعة يقرأ في كل ركعة قل هو الله أحد ثلاثين مرة، لم يخرج حتى يرى مقعده من الجنة …

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak 12 raka’at, setiap raka’atnya membaca surat “Qul huwallahu ahad” sebanyak tiga kali, maka dia tidaklah akan keluar sampai dia melihat tempat duduknya di surga …”
Hadits ini dibawakan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu). Ibnul Jauziy mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits maudhu’ (palsu) dan di dalamnya banyak perowi yang majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Maudhu’at, 2/129)

Demikian pembahasan kami mengenai panduan amalan di bulan Sya’ban. Semoga apa yang kami suguhkan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Semoga Allah selalu memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayib dan amalan yang diterima. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 29 Rajab 1430 H

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Serba-Serbi Bulan Sya’ban (01)

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, saat ini kita telah menginjak bulan Sya’ban. Namun kadang kaum muslimin belum mengetahui amalan-amalan yang ada di bulan tersebut. Juga terkadang kaum muslimin melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas serba-serbi bulan Sya’ban. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong dan mudahkanlah kami).


Keutamaan Bulan Sya’ban

Dari Usamah bin Zaid, beliau berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan dari bulan-bulannya selain di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif, 235)

Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban

Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)

Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,

أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)? Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.

Lalu Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa penuh di bulan Sya’ban? An Nawawi rahimahullah menuturkan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ” (Syarh Muslim, 4/161)

Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)

Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah:

1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkala manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban. Jadi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.
3. Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita mengikuti suri tauladan kita untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506). Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya (terkabulnya) do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad)

Malam Nishfu Sya’ban, Malam Diturunkannya Al Qur’an (?)

Di antara kaum muslimin ada yang menganggap bahwa malam Nishfu Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) adalah malam yang istimewa. Di antara keyakinan mereka adalah bahwa malam tersebut adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Sandaran mereka adalah perkataan ‘Ikrimah tatkala beliau menjelaskan maksud firman Allah,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (Qs. Ad Dukhan: 3-4)

Yang dimaksud dengan malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam Lailatul Qadar, menurut mayoritas ulama. Sedangkan ‘Ikrimah –semoga Allah merahmati beliau- memiliki pendapat yang lain. Beliau berpendapat bahwa malam tersebut adalah malam nishfu sya’ban. (Zaadul Maysir, 5/346)

Namun pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu turun pada malam Nishfu Sya’ban adalah pendapat yang lemah karena pendapat tersebut telah menyelisihi dalil tegas Al Qur’an. Ayat di atas (surat Ad Dukhan) itu masih global dan diperjelas lagi dengan ayat,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Dan dijelaskan pula dengan firman Allah,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada Lailatul Qadr.” (Qs. Al Qadr: 1)

Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Klaim yang mengatakan bahwa malam yang penuh berkah (pada surat Ad Dukhan ayat 3-4) adalah malam Nishfu Sya’ban –sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan lain-lain-, tidak diragukan lagi bahwasanya itu adalah klaim yang jelas keliru yang menyelisihi dalil tegas dari Al Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa apa saja yang menyelisihi al haq (kebenaran) itulah kebatilan. Sedangkan berbagai hadits yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan dengan malam tersebut adalah malam Nishfu Sya’ban, itu jelas-jelas telah menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas dan hadits tersebut sungguh tidak berdasar. Begitu pula sanad dari hadits-hadits tersebut tidaklah shahih sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul ‘Arobi dan para peneliti hadits lainnya. Sungguh sangat mengherankan, ada seorang muslim yang menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas, padahal dia sendiri tidak memiliki sandaran dalil, baik dari Al Qur’an atau hadits yang shahih.” (Adhwaul Bayan, 1552)

Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a (?)

Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).

Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah- mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat dengan beberapa alasan berikut:

Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).

Seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.” (At Tahdzir minal Bida’, 20). Begitu juga Syeikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.” (At Tahdzir minal Bida’, 20)

Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)

Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)

Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ

“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim no. 1144)

Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).

Syeikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Seandainya malam Nishfu Sya’ban, malam jum’at pertama di bulan Rajab, atau malam Isra’ Mi’raj boleh dijadikan perayaan (hari besar Islam) atau ibadah lainnya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi petunjuk kepada kita umat Islam mengenai hal ini atau beliau sendiri merayakannya. Jika memang seperti itu beliau lakukan, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan menyampaikan hal tersebut pada kita umat Islam dan tidak mungkin para sahabat menyembunyikannya. Ingatlah, para sahabat adalah sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling bagus dalam penyampaian setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan kalian pun telah mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa tidak ada satu dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari bulan Rajab dan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Oleh karena itu, menjadikan hari tersebut sebagai perayaan termasuk amalan yang tidak ada tuntunannya sama sekali dalam Islam.” (At Tahdzir minal Bida’, 30). Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini. [Silakan lihat penilaian kelemahan beberapa hadits mengenai malam Nishfu Sya'ban di akhir pembahasan ini]

Adapun mengenai Shalat Alfiyah, apakah shalat ini adalah suatu amalan yang dituntukan ketika malam Nishfu Sya’ban?

Perlu diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan shalat ini pada malam Nishfu Sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Babin Abul Hamroo’. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki bacaan Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam Nishfu Sya’ban dia melaksanakan shalat di Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di belakangnya seorang pria. Kemudian datang lagi tiga atau empat orang bermakmum di belakangnya. Lalu akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya bertambah banyak. Ketika datang tahun berikutnya, semakin banyak yang shalat bersamanya pada malam Nishfu Sya’ban. Kemudian amalan yang dia lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di rumah-rumah kaum muslimin, sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah Nabi. (Al Bida’ Al Hawliyah, 299)

Lalu kenapa shalat ini dinamakan shalat Alfiyah? Alfiyah berarti 1000. Shalat ini dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali. Shalat tersebut berjumlah 100 raka’at dan setiap raka’at dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 10 kali. Jadi total surat Al Ikhlas yang dibaca adalah 1000 kali. Oleh karena itu, dinamakanlah shalat alfiyah.

Adapun hadits yang membicarakan mengenai tata cara dan pahala mengerjakan shalat alfiyah ini terdapat beberapa riwayat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (Kumpulan Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits yang membicarakan keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu (maudhu’). Mayoritas jalan dalam tiga jalur adalah majhul (tidak diketahui), bahkan di dalamnya banyak periwayat yang lemah. Oleh karena itu, dipastikan haditsnya sangat tidak mungkin sebagai dalil.” (Al Maudhu’at, 2/127-130)

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Jumat, 10 Juli 2009

SIFAT (TATA CARA) ADZAN

Ketahuilah bahwa lafazh-lafazh adzan adalah masyhur:
Tarji' dalam pandangan kami adalah sunnah, yaitu bahwasanya mu'adzin mengucapkan dengan suara tinggi,


اَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ.

"Allah Mahabesar Allah Mahabesar."


Kemudian mengucapkan secara sirr dengan ukuran hanya didengar oleh dirinya sendiri dan orang yang berada di dekatnya,


أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ.

"Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah."

Kemudian dia kembali mengumandangkan dengan suara keras dan meninggikan suara (dengan membaca yang sama),


أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ.

"Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah."

Tatswib juga sunnah menurut kami, yaitu muadzin mengucapkan pada adzan shubuh secara khusus (Tatswib adalah sunnah pada adzan awal secara khusus tidak pada adzan yang kedua , pent) setelah,


حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.

"Mari menuju kemenangan."


اَلصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، اَلصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ .

"Shalat lebih baik dari tidur, shalat lebih baik dari tidur."

Terdapat hadits-hadits tentang tarji' dan tatswib dan hadits-hadits masyhur.

Ketahuilah, seandainya dia meninggalkan tarji' dan tatswib maka adzannya sah tetapi dia meninggalkan yang afdhal. (Sunnahnya adalah melakukan tarji' dalam waktu tertentu dan meninggalkannya dalam waktu yang lain, karena dengan itu semua dalil-dalil sunnah bisa diterapkan tanpa meninggalkan dan membuang sebagian darinya. Adapun tatswib maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Mahdzurah untuk beradzan dengannya pada adzan fajar yang pertama. Jadi prinsipnya adalah ia harus dijaga dan orang yang meninggalkannya beresiko memikul dosa, minimal meninggalkannya adalah makruh. Wallahu a'lam, pent.)

Tidak sah adzan dari anak yang belum mumayiz, wanita (Jika ada kaum laki-laki maka adzan tidak gugur dari mereka dengan adzan wanita, jika tidak maka tidak mengapa seorang wanita di tengah jamaah wanita, pent.) dan orang kafir, tetapi adzan anak kecil yang telah mumayiz adalah sah.

Jika orang kafir beradzan dan melafazhkan syahadatain maka itu adalah keislaman-nya menurut madzhab yang shahih dan pendapat yang terpilih. Sebagian kawan kami berkata, "Bukan keislaman." (Aku berkata, "Perbuatan tergantung pada niatnya, jika niatnya adalah syahadatain maka dia Muslim, jika niatnya ada-lah unjuk kemampuan bersuara merdu, beradzan dengan baik dan dilagukan -ini dilakukan sebagian Yahudi- jika begini, maka mana mungkin dikatakan Islam?", pent.). Tidak ada perbedaan pendapat bahwa adzannya tidak sah karena awalnya dilafazhkan sementara dia belum Islam.
Terdapat banyak perincian di bab ini yang dijelaskan di kitab-kitab fikih dan bukan ini tempat untuk menjelaskannya.

Sumber: dikutip dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Telp. 021-84998039. Oleh: Abu Nabiel)

Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

 

blogger templates | Make Money Online