Selasa, 30 November 2010

Fenomena TKI di Arab Saudi

Sebuah pemerintahan Islam atau masyarakat Islam bukanlah sebuah kumpulan orang-orang yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali, sehingga kita tidak bisa menuduh para ulama yang membimbing masyarakat tersebut telah gagal atau tidak becus dalam membina negaranya.

Bahkan di masa kepemimpinan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang masyarakatnya adalah generasi terbaik ummat ini, ada orang yang didera karena minum khamar[1], ada yang dirajam karena berzina[2], bahkan ada yang murtad keluar dari Islam[3]. Namun tidak ada satupun yang menuduh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah gagal mendidik para sahabatnya
Karena memang, tidak ada satu pun manusia yang terjaga dari kesalahan selain para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda.

كُلُّ بنِي آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak adam senantiasa berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang senantiasa bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 3139)

Pengalaman belajar di Saudi, bergaul dengan sebagian pekerja Indonesia yang kebetulan ketemu di masjid, di jalan, di toko, di majelis-majelis ilmu dan dalam suatu bimbingan ibadah haji tahun 1431 H atas permintaan sebuah travel yang pesertanya lebih dari 90 % pekerja Indonesia, sisanya India, Maroko dan Philipina. Semua itu menyisakan banyak cerita yang mungkin sebagiannya bisa dijadikan pelajaran, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara pekerja dan majikan, yang oleh musuh-musuh Dakwah Tauhid dijadikan senjata untuk menjatuhkan ulama Ahlus Sunnah di negeri ini. Insya Allah akan kami sarikan dalam beberapa poin berikut:

Pertama: Para majikan tidak semuanya memahami agama dengan baik, banyak yang awam, tidak mau belajar agama dan banyak yang zalim terhadap pekerjanya[4]. Kepada mereka para ulama di negeri ini telah menasihati, baik secara pribadi maupun terang-terangan, seperti nasihat Asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Fiyfiy hafizhahullah yang sangat menyentuh di www.sahab.net[5] yang berjudul At-Tahdzir min Zhulmil Khudam wal ‘Ummal(Peringatan Keras dari Perbuatan Zalim kepada para Pembantu dan Pekerja). Demikian pula para khatib dan imam masjid terkadang menyampaikan khutbah tentang bahaya perbuatan zalim terhadap para pekerja

Kedua: Seharusnya TKI diberikan informasi tentang keadaan calon majikannya sebelum dia memutuskan bekerja kepada majikan tersebut, semoga hal ini bisa menjadi catatan untuk semua pihak yang terkait dalam pemberangkatan TKI

Ketiga: Alhamdulillah tidak semua majikan yang zalim, masih banyak yang baik insya Allah, meskipun bukan dari kalangan mutawwa’[6], atau penuntut ilmu, apalagi masyaikh. Bentuk-bentuk kebaikan mereka yang bisa saya ceritakan di sini:

* Dari 100 orang yang ikut haji dalam bimbingan kami hampir semuanya dibiayai oleh majikannya, biayanya sekitar 3500 riyal atau senilai kurang lebih 7,5 juta rupiah
* Perhatian majikan kepada pekerjanya selama melaksanakan ibadah haji dalam bentuk menelepon dan menanyakan kabar serta bagaimana pelayanan travel terhadap mereka. Jika pekerjanya mengadukan pelayanan travel yang kurang bagus, tidak lama kemudian majikan akan menelepon pengurus travel ini dan memarahinya habis-habisan
* Sampai-sampai ada majikan yang berkata kepada pekerjanya, “Sampaikan kepada pengurus travel, berapa saja biaya yang dia minta akan saya berikan, asalkan kamu mendapat pelayanan yang baik”.
* Seorang Ikhwan dibebaskan oleh majikannya dari seluruh pekerjaannya demi untuk menuntut ilmu, masih ditambah dengan uang saku per bulan dikirim secara rutin oleh majikannya. Bahkan Ikhwan yang lain, sampai pulang ke Indonesia masih dikirimi uang secara rutin oleh majikannya, demi untuk membiayai kegiatan-kegiatan dakwah.
* Seorang pekerja asal Sumbawa, apabila dia cuti pulang kampung majikannya biasa menitipkan uang untuk dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangganya yang miskin.
* Pekerja asal Jawa Barat, mengabarkan tentang pembangunan masjid di kampungnya yang belum selesai, langsung dikucurkan dana oleh majikannya tanpa mengecek langsung ke lokasi apakah dananya sampai atau tidak.
* Seorang pekerja asal Jawa Barat, majikannya biasa mengantarnya untuk menghadiri pengajian yang diadakan oleh Kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing.
* Seorang Ikhwan menceritakan, saudarinya bekerja pada seorang masyaikh, bertahun-tahun bekerja kepada keluarga masyaikh tersebut tidak pernah sekali pun dia berada dalam satu ruangan bersama majikannya yang laki-laki.
* Seorang Ustadz menceritakan, bahwa seorang majikan meminta bantuannya untuk menasihati pembantu wanitanya yang sering menggodanya untuk berzina, akhirnya sang Ustadz menelepon dan menasihati pembantu ini.
* Banyak majikan yang mensyaratkan supirnya harus disertai istrinya untuk mengantar anak-anak puteri mereka ke sekolah. Demikian pula sebaliknya, pembantu wanita harus datang bersama mahramnya.
* Para masyaikh banyak sekali membebaskan pekerja mereka dari semua pekerjaan jika para pekerja ini benar-benar mau menuntut ilmu.

Keempat: Sebenarnya aturan-aturan pemerintah Saudi sangat menjamin para pekerja asing, di antaranya kewajiban majikan untuk membuatkan asuransi kesehatan bagi para pekerjanya dan hukuman yang setimpal bagi para majikan yang zalim terhadap pekerjanya, berikut beberapa kasus yang kami dengarkan:

* Seorang majikan memukul supirnya, sang supir ini ditemukan oleh seorang Ikhwan Saudi dan membawanya ke kantor polisi, saat itu juga majikannya langsung dijemput dan ditahan oleh polisi dan wajib diqishah atau membayar sejumlah uang kepada pekerjanya yang dizalimi.
* Cerita seorang Ustadz, ada majikan yang dituntut oleh pengadilan untuk membayar berapa pun yang diminta oleh seorang pembantu wanita yang dizalimi oleh si majikan.
* Seorang majikan yang membunuh pekerjanya terancam hukuman mati, namun pihak keluarga di Indonesia lebih memilih untuk memaafkan dan menerima ganti rugi (diyah), akhirnya uang milyaran rupiah dititipkan melalui kedutaan Indonesia.

Kelima: Ketika majikan berbuat zalim, masalah terbesar para pekerja Indonesia adalah tidak mampu melapor ke kantor polisi ketika dizalimi, di antaranya karena kendala bahasa, tidak mengerti dengan aturan-aturan yang ada dan tidak adanya pendamping mereka yang siap siaga ketika dibutuhkan. Adapun pemerintah Philipina, sangat terkenal pendampingan dan pembelaannya kepada pekerjanya. Jika ada masalah yang terjadi pada pekerjanya mereka akan langsung turun ke lokasi dan menggunakan kekuatan diplomasinya untuk menekan pemerintah Saudi agar memproses menurut hukum yang berlaku. Sehingga jarang terdengar ada masalah antara majikan dan pekerja Philipina, padahal jumlah mereka (di luar kota suci Makkah dan Madinah) tidak kalah banyak dengan pekerja Indonesia

Keenam: Masalah terbesar dari sisi syari’at adalah datangnya para pekerja wanita (TKW) tanpa disertai mahram atau suami. Hampir semua masalah terjadi pada TKW yang tidak bersama suami atau mahramnya, sehingga dengan mudah mereka dizalimi tanpa ada yang membela mereka atau melaporkan ke kantor polisi. Padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah melarang safar wanita tanpa mahram dalam sabda beliau,

لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم ولا يدخل عليها رجل إلا ومعها محرم

“Janganlah wanita melakukan safar (bepergian jauh) kecuali bersama mahramnya, dan janganlah seorang laki-laki asing menemuinya melainkan wanita itu disertai mahramnya.” (HR. Al-Bukharidari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma)

Ketujuh: Alhamdulillah, dengan sebab kerja di Saudi banyak sekali pekerja yang mendapatkan kebaikan yang sangat besar, di antara bentuknya:

* Banyak pekerja yang tadinya beraqidah sufiyah quburiyah dan aqidah kesyirikan lainnya dengan berbagai macam bid’ahnya, tidak melaksanakan sholat lima waktu dan tidak memahami adab-adab Islami. Setelah tinggal di Saudi mereka tersentuh dakwah tauhid, meninggalkan semua bentuk syirik dan bid’ah, rajin melaksanakan sholat lima waktu dan mulai berhias dengan adab-adab Islami.
* Pekerja-pekerja Philipina, Nepal dan Sri Lanka yang tadinya beragama Nasrani, Hindu dan Budha juga banyak sekali (sampai puluhan ribu orang) yang masuk Islam dengan sebab da’i-da’i dan buku-buku yang dicetak dengan bahasa mereka oleh Kantor-kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing di bawah naungan Kementrian Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Saudi Arabia.
* Bisa menghadiri majelis-majelis ilmu para ulama.
* Bisa melaksanakan ibadah haji dan umroh.

Kedelapan: Sayang sekali, banyak Kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing disusupi oleh hizbiyyun dari sebuah partai Islam di Indonesia dengan hanya bermodalkan ijazah LC [7], di antara kerusakan yang mereka lakukan:

* Fasilitas dakwah digunakan untuk mendakwahkan kebatilan manhaj mereka.
* Mengajak kepada perpecahan dengan menjajakan partai mereka di musim Pemilu.
* Beberapa orang TKI yang ana temui, telah ikut kajian mereka bertahun-tahun namun tidak nampak adanya perubahan dalam aqidah dan ibadahnya menjadi lebih baik. Berbeda dengan TKI yang mengikuti kajian da’i-da’i Ahlus Sunnah, alhamdulillah banyak yang berubah menjadi lebih baik, seperti yang ana singgung di atas.
* Hal itu karena memang tidak ada perhatian mereka terhadap dakwah tauhid dan sunnah kecuali sedikit, malah mereka lebih banyak memanfaatkan para TKI untuk bisnis pengiriman barang dan travel haji, dengan bimbingan haji yang tidak mengikuti petunjuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Kesembilan: Kezaliman yang diderita sebagian TKI bukan hanya oleh majikan di Saudi tapi juga oleh PJTKI maupun calo-calonya di Indonesia. Ana pernah menyaksikan sendiri bagaimana para TKI ini dibentak-bentak dan diperlakukan tidak seperti manusia di tempat penampungan TKI di Jakarta. Bahkan ketika sudah bekerja di Saudi sebagian TKI masih diwajibkan mengirim sejumlah uang setiap bulan kepada calo-calo ini di Indonesia.

Kesepuluh: Kami menghimbau kepada semua pihak yang terkait dalam pemberangkatan TKI (termasuk keluarga para TKI) ataupun yang diberi amanah oleh pemerintah untuk mengurus TKI di Saudi maupun di negara lainnya; hendaklah bertakwa kepada Allah Ta’ala, janganlah mengirim TKW tanpa disertai suami atau mahramnya dan hendaklah melaksanakan tugas pembelaan dan pengurusan TKI sesuai amanah pemerintah. Ingatlah pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat!

Inilah catatan ringan kami, hasil dari dialog dengan beberapa TKI, semoga bisa diambil pelajarannya baik oleh TKI, calon TKI maupun semua pihak yang terkait dalam pengurusan TKI. Semoga Allah Ta’ala memperbaiki keadaan kaum muslimin dan pemerintah mereka.

Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Musta’an.

Footnote:

[1] Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya (6391):

عن أنس بن مالك رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه و سلم ضرب في الخمر بالجريد والنعال وجلد أبو بكر أربعين

[2] Seperti kisah Ma’iz bin Malik radhiyallahu’anhu dalam riwayat Al-Bukhari (6438) danMuslim (4520)

[3] Seperti kisah suami Ummu Habibah radhiyallahu’anha yang murtad di negeri Habasyah

[4] Ada juga majikan atau orang Saudi yang Sufi (murid-muridnya Alwi Al-Maliki), Syi’ah dan Hizbi Ikhwani. Salah seorang Ustadz kita, ketika diketahui oleh majikannya yang Ikhwani bahwa Ustadz kita ini pernah belajar di Darul Hadits Dammaj, majikannya mulai mempersulit ruang gerak beliau, sampai saat ini beliau dipaksa pulang ke Indonesia dengan membayar ganti rugi kepada majikannya sebesar 6000 riyal. Adakah yang mau membantu?

[5] http://www.sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=829

[6] Mutawwa’ adalah istilah orang-orang awam di Saudi untuk menyebut orang yang nampak keshalihannya dan menjalankan sunnah seperti jenggot dan memendekkan pakaian (tidak sampai menutupi mata kaki)

[7] Lebih disayangkan lagi, ada seorang Ustadz terkenal, penerjemah buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yang dicetak oleh Kantor Kerjasama Dakwah dan Bimbingan Islam di Riyadh, yang memberikan jalan kepada da’i-da’i hizbi ini untuk masuk menjadi pembina-pembina TKI di Kantor-kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing di Saudi

Penulis: Ustadz Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray

Artikel www.nasihatonline.wordpress.com , dipublish ulang oleh www.muslim.or.id

(*) Telah mengalami sedikit pengeditan oleh M. A. Tuasikal

Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Senin, 25 Oktober 2010

Pembagian Kaum Kafir

Kaum kuffar terbagi ke dalam beberapa golongan, setiap golongan memilki hukum tersendiri.

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Dahulu kaum musyrikin terbagi menjadi dua golongan di hadapan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Diantara mereka ada golongan yang dinamakan ahlul harb, nabi memerangi mereka dan mereka pun memerangi beliau. Ada golongan yang disebut ahlul ahd, nabi tidak memerangi mereka, dan mereka tidak memerangi beliau.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaum kuffar terbagi menjadi ahlul harb dan ahlul ahd. Dan ahlul ahd ini terbagi menjadi tiga golongan, ahlu dzimmah, ahlu hudnah, ahlu aman. Para ahli fiqih telah membuat pembahasan tersendiri untuk setiap golongan, ada bab Al Hudnah,bab Al Aman, bab ‘Aqdudz Dzimmah.

Lafadz “adz dzimmah” dan “al ‘ahd” pada asalnya mencakup tiga jenis orang kafir di atas. Demikian pulan lafadz “ash shulh”, sehingga lafadz “adz dzimah” sejenis dengan lafadz “al ‘ahd” dan “al ‘aqd”. Kemudian beliau berkata, “Demikian juga lafadz “ash shulh” merupakan lafadz yang umum dan mencakup seluruh perjanjian, baik yang diadakan oleh sesama kaum muslimin, maupun yang diadakan dengan kaum kuffar. Namun, yang kerap digunakan oleh para ahli fiqih, ahludz dzimmah merupakan istilah untuk orang kafir yang menunaikan jizyah, sehingga mereka mendapatkan perlindungan dari kaum muslimin sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mereka mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin untuk memberlakukan hukum Allah dan rasul-Nya terhadap diri mereka dikarenakan mereka menetap di negeri yang memberlakukan hukum Allah dan rasul-Nya.

Golongan tersebut berbeda dengan ahlul hudnah, golongan ini mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, baik perjanjian itu megandung kompensasi materi ataupun tidak, sementara mereka berada di negeri mereka masing-masing. Hukum islam tidak diberlakukan pada mereka sebagaimana ahludz dzimmah, namun mereka berkewajiban untuk tidak memerangi kaum muslimin. Golongan inilah yang dinamakan ahlul ‘ahd, ahlush shulh atau ahlul hudnah.

Adapun al mustakman adalah golongan yang mendatangi negeri kaum muslimin namun tidak menetap disana. Golongan ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu

* Para utusan
* Para pedagang
* Orang-orang yang meminta perlindungan kepada kaum muslimin sehingga punya kesempatan untuk mempelajari Islam dan al qur-an kepada mereka. Jika mereka ingin, mereka dapat masuk islam, jika tidak mereka pun dikembalikan ke negara mereka masing-masing.
* Orang-orang yang berkepentingan di negeri kaum muslimin, seperti orang kafir yang berkunjung (baca:turis, ed) dan semisalnya.

Golongan ini tidak diperangi dan dibunuh serta tidak diberlakukan jizyah terhadap mereka. Orang yang meminta perlindungan dari golongan ini ditawari untuk masuk islam, apabila dia menerimanya itulah yang diinginkan, namun jika dia hendak kembali ke negeri asalnya, maka dirinya pun diantarkan menuju ke sana dan islam tidak ditawarkan kembali kepadanya sebelum sampai di negerinya. Apabila dirinya telah sampai di negeri asalnya, maka statusnya kembali menjadi ahlul harb yang boleh diperangi.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/873).

Ketentuan dalam Perjanjian Hudnah

Syari’at tidak membolehkan untuk mengadakan perjanjian hudnah yang bersifat kekal antara kaum muslimin dengan kuffar. Hal ini sebagaimana kesepakatan (ijma’) yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/876). Hal tersebut tidak diperbolehkan karena akan menihilkan pensyari’atan jihad.

Adapun bentuk perjanjian hudnah dengan pembatasan tempo, maka hal ini dibolehkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya bersama kaum kafir Quraisy sebagaimana perjanjian Hudaibiyah yang beliau adakan selama 10 tahun.

Sedangkan bentuk perjanjian hudnah yang bersifat mutlak, diperbolehkan berdasarkan pendapat yang terkuat dari dua pendapat ulama. Yang dimaksud dengan perjanjian mutlak adalah kaum muslimin mengadakan perjanjian dengan kaum kuffar tanpa ada pembatasan jangka waktu berlakunya perjanjian. Kaum muslimin berniat apabila keadaan mereka kuat, maka mereka akan membatalkan perjanjian setelah adanya pemberitahuan kepada pihak kafir.

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Boleh mengadakan perjanjian hudnah baik bersifat mutlak maupun dengan adanya penentuan waktu perjanjian. Perjanjian yang disertai penentuan waktu bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, wajib untuk untuk dipenuhi selama pihak musuh tidak membatalkannya serta tidak boleh dibatalkan semata-mata didorong adanya rasa khawatir akan dikhianati oleh pihak musuh, hal ini berdasarkan pendapat yang terkuat dari dua pendapat ulama. Adapun perjanjian yang bersifat mutlak, maka hal itu tergolong akad yang jaiz (boleh dibatalkan oleh kedua belah pihak-pent), imam boleh melakukannya jika terdapat maslahah.” (Al Ikhtiyaraat Al Fiqhiyyah hal. 542).

Beliau mengatakan pula, “Sesungguhnya kaum musyrikin terbagi menjadi dua golongan. Yang pertama golongan yang memiliki perjanjian mutlak (yang diadakan dengan kaum muslimin-pent) tanpa adanya penentuan batas waktu berakhirnya perjanjian. Perjanjian ini tergolong akad yang jaiz, bukan akad lazim. Golongan kedua adalah mereka yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin dengan disertai penentuan batas waktu perjanjian. Maka Allah memerintahkan rasul-Nya untuk membatalkan perjanjian mutlak yang beliau adakan dengan kaum musyrikin, karena perjanjian jenis tersebut tergolong akad yang jaiz, bukan akad lazim dan Dia memerintahkan beliau untuk mengumumkan pembatalan tersebut kepada mereka denga jangka waktu empat bulan. Adapun golongan yang mengadakan perjanjian disertai penentuan batas waktu perjanjian, maka hal ini tergolong akad perjanjian yang bersifat lazim dan Allah memerintahkan beliau untuk memenuhi perjanjian tersebut.

Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa perjanjian hudnah harus dilaksanakan dengan disertai penentuan batas waktu perjanjian. Sedangkan sebagian lain berpendapat imam diperbolehkan untuk membatalkan perjanjian hudnah meski mereka tidak melanggar kewajiban.

Yang tepat dalam hal ini adalah pendapat ketiga, yaitu diperbolehkan mengadakan perjanjian hudnah baik secara mutlak atau disertai dengan penentuan batas waktu. Perjanjian hudnah yang bersifat mutlak tergolong akad yang jaiz, bukan lazim, dan kedua pihak dapat memilih tetap meneruskan perjanjian atau membatalkannya. Sedangkan perjanjian hudnah yang disertai penentuan batas waktu, maka jenis ini tergolong akad lazim.” (Al Jawabus Shahih 1/175). Kemudian beliau membawakan permulaan surat Bara-ah hingga ayat 13.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Apabila hal ini telah diketahui, kemudian yang menjadi pertanyaan apakah boleh bagi penguasa untuk mengadakan perjanjian hudnah dengan kaum kuffar secara mutlak tanpa menentukan batas waktu perjanjian, dengan sekedar ucapan “Kami mengadakan perjanjian dengan kalian sekehendak yang kami inginkan.” Pihak yang hendak membatalkan perjanjian boleh membatalkan perjanjian tersebut dengan syarat memberitahukan niat pembatalannya kepada pihak lain dan tidak melakukan pengkhianatan, atau dengan sekedar ucapan, “Kami mengadakan perjanjian dengan kalian dan membuat ketentuan terhadap kalian sekehendak yang kami inginkan.”

Dalam permasalahan ini pendapat para ulama- dalam madzhab imam Ahmad maupun selain beliau-, terbagi menjadi dua:

Pertama:

Hal tersebut tidak diperbolehkan. Hal ini merupakan pendapat Asy Syafi’I dalam salah satu kesempatan dan disetujui oleh sebagian ulama madzhab Hambali seperti Al Qadli (Abu Ya’la, ed) dalam Al Mujarrad dan Asy Syaikh (Ibnu Qudamah, ed) dalam Al Mughni dan para mereka tidak menyebutkan pendapat lainnya.

Kedua:

Hal tersebut diperbolehkan. Inilah pendapat yang ditegaskan oleh Asy Syafi’I dalam Al Mukhtashar dan dua pendapat ini disebutkan oleh beberapa ulama sebagai dua pendapat yang ada dalam mazhab Hambali. Diantara yang menyebutkan demikian adalah Ibnu Hamdan.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau berpendapat bahwa hal tersebut tergolong akad yang jaiz, sehingga diperbolehkan bagi imam untuk membatalkan perjanjian tersebut kapan pun dia menginginkannya. Pendapat ini berseberangan dengan pendapat pertama dari Asy Syafi’i.

Ketiga:

Pendapat yang mengambil jalan tengah diantara kedua pendapat yang telah lalu.

Asy Syafi’i mengomentari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Khaibar,

“Kami biarkan kalian selama Allah membiarkan kalian.” Beliau mengatakan bahwa maksudnya adalah kami akan membiarkan kalian selama Allah mengizinkan kami untuk membiarkan kalian berdasarkan hukum syar’i.

Syafii mengatakan, ketentuan dalam hadits ini hanya bisa diketahui berdasarkan wahyu. Sehingga ini khusus untuk Nabi dan tidak berlaku untuk selain Nabi.

Mereka yang berpendapat dengan perkataan Asy Syafi’i ini (pendapat pertama-pent) seakan-akan memandang apabila perjanjian hudnah diadakan secara mutlak, maka akan menjadikannya sebagai akad yang lazim dan berlaku selamanya sebagaimana akad dzimmah. Oleh karenanya, hal ini tidak diperbolehkan mengingat adanya ijma’ yang melarang mengadakan perjanjian damai selama-lamanya. Dan dikarenakan perjanjian hudnah berubah menjadi akad lazim, maka tentu harus dipenuhi, dan Allah ‘azza wa jalla memerintahkan untuk memenuhinya dan melarang untuk melakukan khianat, dan menunaikan perjanjian tidaklah diperintahkan melainkan jika akad perjanjian merupakan akad yang lazim.

Pendapat kedua -dan inilah pendapat yang benar-, menyatakan diperkenankan bagi imam untuk mengadakan perjanjian hudnah baik bersifat mutlak maupun disertai penentuan batas waktu perjanjian. Apabila perjanjian disertai penentuan batas waktu, maka boleh dijadikan sebagai akad lazim. Sebagaimana dibolehkan jika dijadikan sebagai akad jaiz, dimana kedua pihak boleh membatalkannya kapanpun seperti akad syirkah, wikalah, mudlarabah dan sejenisnya, dengan syarat pembatalan tersebut dengan cara yang jujur (kedua belah pihak sama-sama tahu).

Selain itu boleh mengadakan perjanjian hudnah secara mutlak. Apabila bentuknya mutlak, maka bukan berarti akad tersebut berlaku selamanya. Bahkan perjanjian dapat dibatalkan kapan saja diinginkan. Hal itu disebabkan hukum asal dalam berbagai perjanjian adalah seluruh perjanjian diadakan berdasarkan maslahat yang ada, dan terkadang maslahat ditemui ketika meneruskan perjanjian atau membatalkannya.

Bagi pihak yang mengadakan perjanjian boleh baginya mengadakan perjanjian dengan akad lazim dari kedua pihak, dan boleh baginya mengadakan perjanjian dengan akad jaiz, yang memungkinkan untuk dibatalkan apabila tidak terdapat faktor yang menghalangi hal tersebut. Dalam perjanjian seperti ini (dengan akad jaiz-pent) tidak terdapat faktor penghalang tersebut, bahkan terkadang terdapat maslahah di dalamnya. Maka, apabila penguasa membuat perjanjian dengan waktu yang cukup lama terkadang terdapat maslahat bagi kaum muslimin dalam mempersiapkan diri untuk berperang sebelum batas waktu perjanjian berakhir. Bagaimanakah kiranya apabila hal itu telah ditunjukkan oleh Al Qur-an dan As Sunnah?

Sebagian besar perjanjian yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adakan bersama kaum musyrikin bersifat mutlak tanpa adanya penentuan batas waktu perjanjian, berupa akad jaiz bukan akad lazim. Diantaranya adalah perjanjian yang beliau adakan dengan penduduk Khaibar, di saat Khaibar ditaklukkan dan dikuasai kaum muslimin dan yang mendiami wilayah tersebut adalah kaum Yahudi yang tidak terdapat seorang muslim pun diantara mereka. Dan pada saat itu ayat jizyah belum diturunkan karena ayat tersebut tercantum dalam surat Bara-ah dan turun pada saat perang Tabuk tahun 9 H, sedangkan Khaibar ditaklukkan sebelum Mekkah setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah tepatnya pada tahun 7 H. Maka kaum Yahudi berada di bawah kekuasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan seluruh harta (seperti tanah, rumah dan lahan pertanian-pent) menjadi milik kaum muslimin.

Terdapat riwayat dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,

“Kami biarkan kalian sekehendak yang kami inginkan”, atau dengan lafadz lain, “selama Allah membiarkan kalian.”

Sabda beliau, “selama Allah membiarkan kalian.” ditafsirkan oleh lafadz yang lain. Dan yang dimaksudkan adalah kapanpun kami menginginkan, kami akan mengusir kalian dari wilayah Khaibar. Oleh karena itu menjelang kematiannya, beliau memerintahkan untuk mengusir kaum Yahudi dan Nasrani dari jazirah Arab dan hal tersbut dilakukan oleh ‘Umar radliallahu ‘anhu pada masa pemerinahannya.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/874).

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Dalam kisah ini terdapat dalil bolehnya mengadakan perjanjian hudnah secara mutlak. Bahkan kapanpun imam menginginkan (perjanjian dengan bentuk seperti itu boleh diadakan-pent). Dan tidak terdapat dalil yang menghapus ketentuan tersebut, sehingga pendapat yang benar adalah perjanjian hudnah secara mutlak boleh diadakan. Hal ini telah ditegaskan oleh Asy Syafi’i sebagaimana keterangan Al Muzanni dan para imam selain beliau juga menegaskan hal yang serupa. Namun tidak diperkenankan menyerbu dan memerangi mereka sebelum melakukan pemberitahuan agar mereka dan imam kaum muslimin sama-sama mengetahui bahwa perjanjian telah dibatalkan.” (Zaadul Ma’aad 3/146).

Perhatian:

Pihak yang mampu menentukan manfaat dan bahaya dalam permasalahan ini adalah para ulama. Allah ta’alaa berfirman,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (An Nisaa: 83).

Sedangkan pihak yang berhak menetapkan perjanjian dan hudnah adalah penguasa sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan jihad. Berbagai maslahah dan mafsadat dalam permasalahan ini tidak ditentukan oleh para mujahid sebagaimana yang didengungkan sebagian diantara mereka dikarenakan dua alasan:

* Tatkala terjadi perselisihan, sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk mengembalikan permasalahan kepada para mujahid, bahkan Dia memerintahkan kita untuk merujuk pada syari’at-Nya. Sedangkan pihak yang paling mengetahui syari’at-Nya adalah para ulama’, oleh karenanya Dia berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An Nahl: 43).

* Telah jelas kesalahan para mujahidin di berbagai kejadian kontemporer yang baru saja terjadi tatkala mereka menyelisihi para ulama rabbaniyyin yang memiliki pengetahuan mendalam dalam ilmu syar’i. akan tetapi adakah adakah orang yang mau mengambil pelajaran?! Allah ta’alaa berfirman,

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ

“Maka jadikanlah (kejadian itu) sebagai pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Al Hasyr: 2).

Hanya Allah yang tahu berapa banyak Islam dan kaum muslimin menjadi korban dikarenakan berbagai ijtihad yang mereka lakukan. Ribuan jiwa terbunuh, ratusan kehormatan telah dilanggar, banyak kota yang sudah berkembang menjadi rata dengan tanah, belum lagi yang terluka, berada dalam pengungsian, penjara dan hal ini merupakan realita yang tidak dapat dihitung.

Tidak ada yang senang akan ulah mereka melainkan dua golongan. Mereka yang bodoh dan hanya mengandalkan semangat, perasaanlah motor penggerak mereka, bukan akal mereka. Dan golongan yang lain adalah kaum kuffar yang senantiasa menanti berbagai kesempatan yang tepat untuk memperdaya islam dan kaum muslimin.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id
Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Selasa, 19 Oktober 2010

Jagalah Pandanganmu

Mencuci mata” sudah menjadi kebiasaan dan budaya banyak orang terutama di kalangan para muda. Nongkrong di pinggir jalan untuk “mencuci mata”, menikmati pemandangan alam yang indah dan penuh pesona sudah menjadi adat sebagian orang. Namun yang menjadi pertanyaan adalah alam apakah yang sedemikian indahnya sehingga menjadikan para pemuda begitu banyak yang tertarik dan terkadang mereka nongkrong hingga berjam-jam? Ternyata alam tersebut adalah wajah manis para wanita. Apalagi sampai terlontar dari sebagian mereka pemahaman bahwa memandang wajah manis para wanita merupakan ibadah dengan dalih, “Saya tidaklah memandang wajah para wanita karena sesuatu (hawa nafsu), namun jika saya melihat mereka saya berkata, “Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”[1]

Ini jelas merupakan racun syaithan yang telah merasuk dalam jiwa-jiwa sebagian kaum muslimin. Pada hakekatnya istilah yang mereka gunakan (cuci mata) merupakan istilah yang telah dihembuskan syaithan pada mereka. Istilah yang benar adalah “Ngotori mata”.

Kebiasaan yang sudah merebak seantero dunia ini memang sulit untuk ditinggalkan. Bukan cuma orang awam saja yang sulit untuk meninggalkannya bahkan betapa banyak ahli ibadah yang terjerumus ke dalam praktek “ngotori mata” ini. Masalahnya alam yang menjadi fokus pandangan sangatlah indah dan dorongan dari dalam jiwa untuk menikmati pesona alam itupun sangat besar.

Oleh karena itu penulis mencoba untuk memaparkan beberapa perkara yang berkaitan dengan hukum pandangan, semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan juga bagi saudara-saudaraku para pembaca yang budiman.

Fadhilah menjaga pandangan

Menjaga pandangan mata dari memandang hal-hal yang diharamkan oleh Allah merupakan akhlak yang mulia, bahkan Rasulullah menjamin masuk surga bagi orang-orang yang salah satu dari sifat-sifat mereka adalah menjaga pandangan.

Abu Umamah berkata,”Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اُكْفُلُوا لِي بِسِتٍ أَكْفُلْ لَكُمْ بِالْجَنَّةِ, إِذَا حَدَّثَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَكْذِبْ, وَ إِذَا اؤْتُمِنَ فَلاَ يَخُنْ, وَ إِذَا وَعَدَ فَلاَ يُخْلِفْ, غُضُّوْا أَبْصَارَكُمْ, وَكُفُّوْا أَيْدِيَكُمْ, وَاحْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ

“Berilah jaminan padaku enam perkara, maka aku jamin bagi kalian surga. Jika salah seorang kalian berkata maka janganlah berdusta, dan jika diberi amanah janganlah berkhianat, dan jika dia berjanji janganlah menyelisihinya, dan tundukkanlah pandangan kalian, cegahlah tangan-tangan kalian (dari menyakiti orang lain), dan jagalah kemaluan kalian.”[2]

Bahkan orang jahiliyahpun mengetahui bahwa menjaga pandangan adalah akhlak yang mulia. Berkata ‘Antarah bin Syaddad seorang penyair di zaman jahiliyah :

وَأَغُضُّ طَرْفِي مَا بَادَتْ لِي جَارَتِي حَتَّى يُوَارِيَ جَارَتِي مَأْوَاهَا

“Dan akupun terus menundukkan pandanganku tatkala tampak istri tetanggaku sampai masuklah dia ke rumahnya”[3]

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdilmuhsin Al-’Abbad –Hafidzohumulloh- berkata,”Inilah salah satu akhlak mulia yang dipraktekkan oleh orang pada zaman jahiliyah, namun yang sangat memprihatinkan justru kaum muslimin di zaman sekarang meninggalkannya.”

Menjaga pandangan di zaman sekarang ini sangatlah sulit

Menjaga pandangan dari hal-hal yang dilarang memang perkara yang sangat sulit apalagi di zaman sekarang ini. Hal-hal yang diharamkan untuk dipandang hampir ada disetiap tempat, di pasar, di rumah sakit, di pesawat, bahkan di tempat-tempat ibadah. Majalah-majalah, koran-koran, televisi (ditambah lagi dengan adanya parabola), gedung-gedung bioskop penuh dengan gambar-gambar seronok dan porno alias para wanita yang berpenampilan vulgar. Wallahul Musta’an…

Bagaimana para lelaki tidak terjebak dengan para wanita yang aslinya merupakan keindahan kemudian bertambah keindahannya tatkala para wanita tersebut menghiasi diri mereka dengan alat-alat kecantikan, dan lebih bertambah lagi keindahannya jika yang menghiasi adalah syaithan yang memang ahli dalam menghiasi para wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
 
المَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syaitan memandangnya”[4]

Berkata Al-Mubarokfuuri, “Yaitu syaitan menghiasi wanita pada pandangan para lelaki, dan dikatakan (juga) maksudnya adalah syaitan melihat wanita untuk menyesatkannya dan (kemudian) menyesatkan para lelaki dengan memanfaatkan wanita tersebut sebagai sarana…”[5]

Diantara penyebab terjangkitinya banyak orang dengan penyakit ini, bahkan menimpa para penuntut ilmu, karena sebagian mereka telah dibisiki syaithan bahwasanya memandang wanita tidaklah mengapa jika tidak diiringi syahwat. Atau ada yang sudah mengetahui bahwasanya hal ini adalah dosa namun masih juga menyepelekannya. Yang perlu digaris bawahi adalah banyak sekali orang yang terjangkit penyakit ini dan mereka terus dan sering melakukannya dengan tanpa merasa berdosa sedikitpun, atau minimalnya mereka tetap meremehkan hal ini, padahal ada sebuah kaedah penting yang telah kita ketahui bersama yaitu

لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الإصْرَار

Tidak lagi disebut dosa kecil jika (perbuatan maksiat itu) dilakukan terus menerus.[6]

Hukum memandang wajah wanita yang bukan mahram.

Dari Jarir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu , ia berkata,

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجَاءَةِ, فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَِصْرِفَ بَصَرِيْ

“Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau memerintahan aku untuk memalingkan pandanganku”[7]

Dari Buraidah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ali radliyallahu ‘anhu,

يَا عَلِيّ ُ! لاَتُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ, فَإِنَّمَا لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الأَخِيْرَةُ

“Wahai Ali janganlah engkau mengikuti pandangan (pertama yang tidak sengaja) dengan pandangan (berikutnya), karena bagi engkau pandangan yang pertama dan tidak boleh bagimu pandangan yang terakhir (pandangan yang kedua)”[8]

Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membonceng Al-Fadl lalu datang seorang wanita dari Khots’am. Al-Fadl memandang kepada wanita tersebut –dalam riwayat yang lain, kecantikan wanita itu menjadikan Al-Fadl kagum- dan wanita itu juga memandang kepada Al-Fadl, maka Nabipun memalingkan wajah Al-Fadl kearah lain (sehingga tidak memandang wanita tersebut)…”[9]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memalingkan wajah Al-Fadl sehingga tidak lagi memandang wajah wanita tersebut, jelaslah hal ini menunjukan bahwa memandang wajah seorang wanita (yang bukan mahram) hukumnya haram.[10]

Bahayanya Tidak Menjaga Pandangan Mata.

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

العَيْنَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا النَّظْرُ

“Dua mata berzina, dan zina keduanya adalah pandangan”[11]

Penamaan zina pada pandangan mata terhadap hal-hal yang haram merupkan dalil yang sangat jelas atas haramnya hal tersebut dan merupakan peringatan keras (akan bahayanya), dan hadits-hadits yang semakna hal ini sangat banyak[12]

Allah berfirman,

قلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ….

Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, “Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”, dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, “Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka…..

Hingga firman Allah diakhir ayat…

وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman semoga kalian beruntung. (An-Nuur 30-31)

Berkata Syaikh Utsaimin,“Ayat ini merupakan dalil akan wajibnya bertaubat karena tidak menundukan pandangan dan tidak menjaga kemaluan -menundukkan pandangan yaitu dengan menahan pandangan dan tidak mengumbarnya- karena tidak menundukkan pandangan dan tidak menjaga kemaluan merupakan sebab kebinasaan dan sebab kecelakaan dan timbulnya fitnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

Tidak pernah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya terhadap kaum pria daripada finah para wanita.[13]

وَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاء

Dan sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa bani Israil adalah fitnah wanita.[14]

Oleh karena itu musuh-musuh Islam bahkan musuh-musuh Allah dan RasulNya dari golongan Yahudi, Nasrani, orang-orang musyrik, dan komunis, serta yang menyerupai mereka dan merupakan antek-antek mereka , mereka semua sangat ingin untuk menimpakan bencana ini kepada kaum muslimin dengan (memanfaatkan) para wanita. Mereka mengajak kepada ikhtilath (bercampur baur) antara para lelaki dan para wanita dan menyeru kepada moral yang rusak. Mereka mempropagandakan hal itu dengan lisan-lisan mereka, dengan tulisan-tulisan mereka, serta dengan tindak-tanduk mereka -Kita berlindung kepada Allah- karena mereka mengetahui bahwa fitnah yang terbesar yang menjadikan seseorang melupakan Robbnya dan melupakan agamanya hanyalah terdapat pada wanita.[15]

Dan para wanita memberi fitnah kepada para lelaki yang cerdas sebagaimana sabda Nabi,

مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَ دِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ

“Tidak pernah aku melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih membuat hilang akal seorang lelaki tegas dari pada salah seorang dari kalian (wahai para wanita)”.[16]

Apakah engkau ingin (penjelasan) yang lebih jelas dari (penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gamblang) ini?

Tidak ada yang lebih dari para wanita dalam hal melalaikan akal seorang laki-laki yang tegas, lalu bagiamana dengan pria yang lemah, tidak memiliki ketegasan, tidak memiliki semangat, tidak memiliki agama dan kejantanan? Tentunya lebih parah lagi.

Namun seorang pria yang tegas dibuat “teler” oleh para wanita –kita mohon diselamatkan oleh Allah- dan inilah kenyataan yang terjadi. Oleh karena itu setelah Allah memerintah kaum mukminin untuk menundukan pandangan Allah berkata,

وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman semoga kalian beruntung.

Maka wajib atas kita untuk saling menasehati untuk bertaubat dan hendaknya saling memperhatikan antara satu dengan yang lainnya apakah seseorang diantara kita telah bertaubat ataukah masih senantiasa tenggelam dalam dosa-dosanya, karena Allah mengarahkan perintah untuk bertaubat kepada kita semua.” [17]

Perintah Allah secara khusus untuk bertaubat dari tidak menjaga pandangan mata menunjukan bahwa hal ini bukanlah perkara yang sepele. Pandangan mata merupakan awal dari berbagai macam malapetaka.

Barangsiapa yang semakin banyak memandang kecantikan seorang wanita yang bukan mahramnya maka semakin dalam kecintaannya kepadanya hingga akhirnya akan mengantarkannya kepada jurang kebinasaannya, Wal ‘iyadzu billah[18]

Berkata Al-Marwazi,“Aku berkata kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal), Seseorang telah bertaubat dan berkata ,”Seandainya punggungku dipukul dengan cambuk maka aku tidak akan bermaksiat”, hanya saja dia tidak bisa meninggalkan (kebiasaan tidak menjaga) pandangan?”, Imam Ahmad berkata, “Taubat macam apa ini”?[19]

Berkata Syaikh Muhammad Amin, “Dengan demikian engkau mengetahui bahwasanya firman Allah يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأَعْيُنِ (Dia mengetahui pandangan mata yang berhianat)[20] merupakan ancaman terhadap orang yang berkhianat dengan pandangannya yaitu dengan memandang kepada perkara-perkara yang tidak halal baginya”[21]

Berkata Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأَعْيُنِ (Dia mengetahui pandangan mata yang berhianat)[22], “Seorang pria berada bersama sekelompok orang. Kemudian lewatlah seorang wanita maka pria tersebut menampakkan kepada orang-orang yang sedang bersamanya bahwa dia menundukkan pandangannya, namun jika dia melihat mereka lalai darinya maka diapun memandang kepada wanita yang lewat tersebut, dan jika dia takut ketahuan maka diapun kembali menundukkan pandangannya. Dan Allah telah mengetahui isi hatinya bahwa dia ingin melihat aurat wanita tersebut.”[23]

Dari Abdullah bin Abi Hudzail berkata, “Abdullah bin Mas’ud masuk dalam sebuah rumah mengunjungi seseorang yang sakit, beliau bersama beberapa orang. Dan dalam rumah tersebut terdapat seorang wanita maka salah seorang dari mereka orang-orang yang bersamanya memandang kepada wanita tersebut, maka Abdullah (bin Mas’ud) berkata kepadanya,“Jika matamu buta tentu lebih baik bagimu””[24]

Jangankan memandang paras ayu sang wanita, bahkan memandangnya dari belakangnya saja, atau bahkan hanya memandang roknya saja bisa menimbulkan fitnah. Akan datang syaithan dan mulai menghiasi sekaligus mengotori benak lelaki yang memandangnya dengan apa yang ada di balik rok tersebut. Jelaslah pandangannya itu mendatangkan syahwat.

Berkata Al-‘Ala’ bin Ziyad, “Janganlah engkau mengikutkan pandanganmu pada pakaian seorang wanita. Sesungguhnya pandangan menimbulkan syahwat dalam hati”

Demikianlah sangat takutnya para salaf akan bahayanya mengumbar pandangan, dan perkataan mereka ini bukanlah suatu hal yang berlebihan, bahkan bahaya itupun bisa kita rasakan. Namun yang sangat menyedihkan masih ada di antara kita yang merasa dirinya aman dari fitnah walaupun mengumbar pandangannya. Hal ini tidaklah lain kecuali karena dia telah terbiasa melakukan kemaksiatan, terbiasa mengumbar pandangannya, sehingga kemaksiatan tersebut terasa ringan di matanya. Dan ini merupakan ciri-ciri orang munafik. Berkata Abdullah bin Mas’ud,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعٍِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا

“Seorang mu’min memandang dosa-dosanya seperti gunung yang ia berada di bawah gunung tersebut, dia takut (sewaktu-waktu) gunung tersebut jatuh menimpanya. Adapun seorang munafik memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang terbang melewati hidungnya lalu dia pun mngusir lalat tersebut.”[25]

Bahkan tatkala seseorang sedang melaksanakan ibadah sekalipun, hendaknya dia tidak merasa aman dan tetap menjaga pandangannya.

Berkata Al-Fadl bin ‘Ashim,”Tatkala seorang pria sedang thawaf di ka’bah tiba-tiba dia memandang seorang wanita yang ayu dan tinggi semampai, maka diapun terfitnah disebabkaan wanita tersebut, hatinyapun gelisah. Maka diapun melantunkan sebuah syair,

Aku tidak menyangka kalau aku bisa jatuh cinta….tatkala sedang thawaf mengelilingi rumah Allah yang diberi “kiswah”[26]…
Hingga akhirnya akupun ditimpa bencana maka jadilah aku setengah gila…
Gara-gara jatuh cinta kepada seorang seorang wanita yang parasnya menawan laksana rembulan…
Duhai…sekirainya aku tidak memandang elok rupanya

Demi Allah apa kiranya yang bisa aku harapkan dari pandanganku dengan memandangnya? “[27]
Berkata Ma’ruf Al-Kurkhi , “Tundukkanlah pandangan kalian walaupun kepada kambing betina”
Berkata Sufyan At-Tsauri menafsirkan firman Allah وَخُلِقَ الإِنْساَنُ ضَعِيْفًا (Dan manusia dijadikan bersifat lemah 4,28), “Seorang wanita melewati seorang pria, maka sang pria tidak mampu menguasai dirinya untuk menunudukkan pandangannya pada wanita tersebut…maka adakah yang lebih lemah dari hal ini?”[28]
Berkata seorang penyair ,”Namun kadang seorang pria tak berdaya, tekuk lutut dibawah kerling mata wanita”

Praktek para salaf dalam menjaga pandangan.

Dari Al-Mada’ini dari syaikh-syaikh beliau berkata, “Sebagian orang pemerintahan di Bashrah hendak bertemu dengan Dawud bin Abdillah, maka Dawudpun pergi (menuju Bashrah) dan singgah di rumah salah seorang sahabat beliau yang terletak di pinggiran Bashrah. Sahabatnya ini adalah seorang yang sangat pencemburu. Dia memiliki seorang istri yang bernama Zarqaa’ yang cantik jelita. Pada suatu saat sahabatnya ini keluar karena ada suatu keperluan, maka diapun berpesan kepada istrinya untuk bersikap ramah dan melayani Dawud. Tatkala kembali kerumahnya diapun berkata kepada Dawud, “Bagaimana menurutmu dengan si Zarqaa’?, bagaimana sikap ramahnya kepadamu?”. Dawud berkata, “Siapa itu Zarqaa’?”, dia berkata, “Yang mengurusimu dirumah ini”. Dawud berkata, “Saya tidak tahu dia si Zarqaa’ atau si Kahlaa’?”. Lalu istrinya menemuinya maka diapun marah dan berkata, “Aku telah berpesan kepadamu agar ramah dan melayani Dawud, lalu mengapa tidak kau lakukan pesanku?”. Istrinya berkata, “Engkau telah berpesan kepadaku untuk melayani seorang yang buta, demi Allah dia sama sekali tidak melirik kepadaku!”

Dari Muhammad bin Abdillah Az-Zarraad berkata, “Hassaan (bin Abi Sinan) keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied, tatkala dia kembali dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, kami tidak melihat hari raya ‘ied yang wanitanya paling banyak (keluar ikut shalat ‘ied) dari pada ‘ied tahun ini! Dia berkata,“Tidak ada seorang wanitapun yang bertemu denganku hingga aku kembali!”. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa tatkala dia kembali istrinya berkata kepadanya, “Berapa wanita cantik yang engkau lihat hari ini?” (Hasan diam tidak menjawab) namun tatkala istrinya terus mendesaknya diapun berkata, “Celaka engkau! saya tidak melihat kecuali pada jempol kakiku semenjak saya keluar darimu hingga saya kembali kepadamu!” [29]

Berkata Sufyan,“Ar-Robi’ bin Khutsaim selalu menundukkan pandangannya. (Pada suatu hari) lewatlah di depannya sekelompok wanita maka diapun menundukkan kepalanya hingga para wanita tersebut menyangka bahwa dia buta. Para wanita tersebutpun berlindung kepada Allah dari (ditimpa) kebutaan”[30]

Salaf tidak hanya menjaga pandangan mereka dari hal-hal yang diharamkan, bahkan mereka juga menjaga pandangan mereka dari hal-hal yang tidak perlu.

Seorang laki-laki berkata kepada Dawud At-Tha’i, “Sebaiknya engkau memerintahkan (seseorang) untuk membersihkan sarang laba-laba yang ada di langit-langit rumah”!, Dawud berkata, “Tidakkah engkau tahu bahwasanya memandang yang tidak perlu itu dibenci?”, lalu Dawud berkata,“Aku dikabarkan bahwa dirumah Mujahid lantai dua ada sebuah kamar, namun Mujahid tidak tahu sama sekali selama tiga puluh tahun.”[31]

Hal ini menunjukan kesungguhan salaf dalam menjaga pandangan mereka, sampai-sampai sarang laba-laba yang dilangit-langit rumah dan kamar yang ada di lantai atas rumah mereka tidak mereka katahui, karena mereka tidak memandang kepada hal-hal yang tidak perlu sehingga mereka tidak memandang ke atas karena tidak ada perlunya. Barangsiapa yang membiasakan dirinya mengumbar pandangannya untuk memandang hal-hal yang tidak perlu maka suatu saat dia akan memandang hal yang diharamkan oleh Allah. Sungguh jauh berbeda antara salaf dengan sebagian kita yang tatkala berjalan matanya jelalatan ke sana kemari.

Akibat buruk tidak menundukkan pandangan mata.

Ibnul Qoyyim berkata, “Kebanyakannya maksiat itu masuk kepada seorang hamba melalui empat pintu, yang keempat pintu tersebut adalah kilasan pandangan, betikan di benak hati, ucapan, dan tindakan. Maka hendaknya seorang hamba menjadi penjaga gerbang pintu bagi dirinya sendiri pada keempat gerbang pintu tersebut, dan hendaknya ia berusaha terus berjaga ditempat-tempat yang rawan ditembus oleh musuh-musuh yang akibatnya merekapun merajalela (berbuat kerusakan) di kampung-kampung kemudian memporak-porandakan dan meruntuhkan semua bangunan yang tinggi.

Adapun pandangan maka dia adalah pembimbing (penunjuk jalan) bagi syahwat dan utusan syahwat. Menjaga pandangan merupakan dasar untuk menjaga kemaluan, barangsiapa yang mengumbar pandangannya maka dia telah mengantarkan dirinya terjebak dalam tempat-tempat kebinasaan. Pandangan merupakan sumber munculnya kebanyakan malapetaka yang menimpa manusia, karena pandangan melahirkan betikan hati kemudian berlanjut betikan di benak hati menimbulkan pemikiran (perenungan/lamunan) lalu pemikiran menimbulkan syahwat kemudian syahwat melahirkan keinginan kemudian menguat kehendak tersebut hingga menjadi ‘azam/tekad (keinginan yang sangat kuat) lalu timbullah tindakan –dan pasti terjadi tindakan tersebut- yang tidak sesuatupun yang mampu mencegahnya. Oleh karena itu dikatakan “kesabaran untuk menundukan pandangan lebih mudah daripada kesabaran menahan kepedihan yang akan timbul kelak akibat tidak menjaga pamdangan”.

Berkata seorang penyair

كُلُّ الْحَوَدِثِ مَبْدَأُهَا مِنَ النَّظْرِ وَمُعْظَمُ النَّارِ مِن مُسْتَصْغِرِ الشِّرَرِ

كَمْ نَظْرَةٍ بَلَغَتْ فِيْ قَلْبِ صَاحِبِهَا كَمَبْلَغِ السَّهْمِ بَيْنَ الْقَوْسِ وَالْوَتْرِ

وَالْعَبْدُ مَا دَامَ ذَا طَرْفٍ يَقْلِبُهُ فِي أَعْيُنِ النَّاسِ مَوْقُوْفٌ عَلَى الْخَطْرِ

يَسُرُّ مُقْلَتَهُ مَا ضَرَّ مُهْجَتَهُ لاَ مَرْحَبًا بِسُرُوْرٍ عَادَ بِالضَّرَرِ

Seluruh malapetaka sumbernya berasal dari pandangan…….dan besarnya nyala api berasal dari bunga api yang kecil

Betapa banyak pandangan yang jatuh menimpa hati yang memandang…..sebagaimana jatuhnya anak panah yang terlepaskan antara busur dan talinya

Selama seorang hamba masih memiliki mata yang bisa ia bolak-balikan (umbar)……maka ia sedang berada di atas bahaya di antara pandangan manusia

Menyenangkan mata apa yang menjadikan penderitaan jiwanya…..sungguh tidak ada kelapangan dan keselamatan dengan kegembiraan yang mendatangkan penderitaan.

Diantara akibat tidak menjaga pandangan yaitu menimbulkan penyesalan yang sangat mendalam dan hembusan nafas yang panjang (tanda penyesalan) serta kesedihan dan kepahitan yang dirasakan. Seorang hamba akan melihat dan menghendaki sesuatu yang ia tidak mampu untuk meraihnya dan dia tidak mampu untuk bersabar jika tidak mampu meraihnya, dan hal ini merupakan ‘adzab (kesengsaraan dan penderitaan) yang sangat berat, yaitu engkau menghendaki sesuatu yang engkau tidak bisa menahan kesabaranmu untuk mendapatkannya bahkan engkau tidak bisa sabar walaupun untuk mencicipi sedikit yang kau inginkan tersebut padahal engkau tidak memiliki kemampuan untuk meraihnya. Betapa banyak orang yang mengumbar kilasan pandangannya maka tidaklah ia melepaskan kilasan-kilasan pandangan tersebut kecuali kemudian ia terkapar diantara kilasan-kilasan pandangan yang dilepaskannya itu. Yang sungguh mengherankan kilasan pandangan yang diumbar merupakan anak panah yang tidak sampai menancap kepada yang dipandang agar yang dipandang menyiapkan tempat untuk hati sipemandang…yang lebih mengherankan lagi bahwasanya pandangan menggores luka yang parah pada hati sipemandang kemudian luka tersebut tidak berhenti bahkan diikuti dengan luka-luka berikutnya (karena berulangnya pandangan yang diumbar oleh si pemandang-pen) namun pedihnya luka tersebut tidaklah menghentikan sipemandang untuk berhenti mengulang-ulang umbaran pandangannya. Dikatakan “Menahan umbaran pandangan lebih ringan dibanding penyesalan dan penderitaan yang berkepanjangan…”[32].

Berkata Ibnul Qoyyim, “Diriwayatkan bahwasanya dahulu di kota Mesir ada seorang pria yang selalu ke mesjid untuk mengumandangkan adzan dan iqomah serta untuk menegakkan sholat. Nampak pada dirinya cerminan ketaatan dan cahaya ibadah. Pada suatu hari pria tersebut naik di atas menara seperti biasanya untuk mengumandangkan adzan dan di bawah menara tersebut ada sebuah rumah milik seseorang yang beragama nasrani. Pria tersebut mengamati rumah itu lalu ia melihat seorang wanita yaitu anak pemilik rumah itu. Diapun terfitnah (tergoda) dengan wanita tersebut lalu ia tidak jadi adzan dan turun dari menara menuju wanita tersebut dan memasuki rumahnya dan menjumpainya. Wanita itupun berkata, “Ada apa denganmu, apakah yang kau kehendaki?”, pria tersebut berkata, “Aku menghendaki dirimu”, sang wanita berkata, “Kenapa kau menghendaki diriku?”, pria itu berkata, “Engkau telah menawan hatiku dan telah mengambil seluruh isi hatiku”, sang wanita berkata, “Aku tidak akan memenuhi permintaanmu untuk melakukan hal yang terlarang”, pria itu berkata, “Aku akan menikahimu”, sang wanita berkata, “Engkau beragama Islam adapun aku beragama nasrani, ayahku tidak mungkin menikahkan aku denganmu”, pria itu berkata, “Saya akan masuk dalam agama nasrani”, sang wanita berkata, “Jika kamu benar-benar masuk ke dalam agama nasrani maka aku akan melakukan apa yang kau kehendaki”. Maka masuklah pria tersebut ke dalam agama nasrani agar bisa menikahi sang wanita. Diapun tinggal bersama sang wanita di rumah tersebut. Tatkala ditengah hari tersebut (hari dimana dia baru pertama kali tinggal bersama sang wanita dirumah tersebut-pen) dia naik di atas atap rumah (karena ada keperluan tertentu-pen) lalu iapun terjatuh dan meninggal. Maka ia tidak menikmati wanita tersebut dan telah meninggalkan agamanya”.[33]

Berkata Ibnu Katsir, “Ibnul Jauzi menyebutkan dari ‘Abduh bin Abdirrohim, beliau berkata, “Lelaki celaka ini dahulunya seorang yang sering berjihad di jalan Allah memerangi negeri Rum, namun pada suatu saat di suatu peperangan tatkala pasukan kaum muslimin mengepung suatu daerah di negeri Rum (dan kaum Rum bertahan di benteng mereka-pen), dia memandang seorang wanita Rum yang berada dalam benteng pertahanan mereka maka diapun jatuh cinta kepada wanita tersebut. Lalu diapun menulis surat kepada wanita itu, “Bagaimana caranya agar aku bisa berjumpa dengan engkau?”. Wanita tersebut menjawab, “Jika engkau masuk ke dalam agama nasrani dan engkau naik bertemu denganku”. Maka iapun memenuhi permintaan sang wanita”. Dan tidaklah pasukan kaum muslimin kembali kecuali ia tetap berada di sisi wanita tersebut. Kaum muslimin sangat sedih tatkala mengetahui akan hal itu, dan hal ini sangat berat bagi mereka. Tak lama kemudian mereka (pasukan kaum muslimin) melewatinya dan dia sedang bersama wanita tersebut dalam benteng, mereka berkata kepadanya, “Wahai fulan, apa yang dilakukan oleh hafalan Qur’anmu?’ apa yang dilakukan oleh amalanmu?, apa yang dilakukan puasamu?, apa yang dilakukan oleh jihadmu?’ apa yang dilakukan oleh sholatmu?”, maka iapun menjawab, :”Ketahuilah aku telah dilupakan Al-Qur’an seluruhnya kecuali firman Allah “Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. 15:32-3)”, sekarang aku telah memiliki harta dan anak di tengah-tengah mereka.”[34]

Ibnul Qoyyim menyebutkan, “Ada seorang pria yang akan meninggal dikatakan kepadanya, “Katakan laillaaha illallaah!”, diapun berkata, “Dimana jalan menuju kawasan pemandian umum Minjab?”. Ibnul Qoyyim berkata, perkataannya ini ada sebabnya yaitu pria ini sedang berdiri di depan rumahnya dan pintu rumahnya mirip dengan pintu kawasan pemandian umum Minjab. Lalu lewatlah seorang wanita yang berparas ayu dan bertanya kepadanya, “Dimana jalan menuju kawasan pemandian umum Minjab?”. Pria tersebut menjawab, “Ini adalah kawasan tempat pemandian umum Minjab (padahal itu adalah rumahnya)”. Maka masuklah sang wanita ke dalam rumahnya dan diapun masuk juga dibelakang sang wanita. Tatkala sang wanita mengetahui bahwa di telah masuk ke dalam rumah sang pria dan dia telah tertipu maka sang wanita menampakkan kepada pria tersebut kegembiraan dan rasa riang dengan berkumpulnya dia dengan sang pria. Sang wanita berkata, “Sungguh baik jika bersama kita sesuatu yang mengindahkan hari kita dan menyenangkan mata”. Pria tersebut berkata, “Tunggulah sebentar aku akan datang membawa semua yang kau kehendaki dan kau inginkan”. Maka sang priapun keluar dengan meninggalkan sang wanita sendiri di rumahnya dan dia tidak mengunci pintu rumah. Lalu iapun mengambil semua yang dibutuhkan dan kembali kerumahnya namun ia mandapatkan sang wanita telah keluar dan pergi –dan sang wanita sama sekali tidak mengkhianati pria tersebut-. Maka sedihlah sang pria dan selalu mengingat wanita tersebut, dan dia berjalan di jalan-jalan dan lorong-lorong sambil berkata:

يَا رُبَّ قَائِلَةٍ يَوْمًا وَقَدْ تَعِبَتْ كَيْفَ الطَّرِيْقُ إِلَى حَمَّامِ مِنْجَابِ


Duhai, kapan ada suatu hari dimana sang wanita yang dalam keadaan letih berkata, “Bagaimanakah jalan menuju kawasan pemandian umum Minjab?”

Maka tatkala suatu hari dia sedang mengucapkan hal itu tiba-tiba ada seorang wanita yang menjawabnya dari belokan jalan, dia berkata

‘Kenapa engkau tidak segera menjaga rumah atau menjaga pintu takala engkau telah mendapatkan sang wanita?”

Maka bertambahlah kesedihannya, dan demikian terus kondisinya hingga akhirnya bait syair inilah adalah perkataannya yang terakhir di dunia”[35]

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata,“Datang seorang laki-laki ke Rasulullah dalam keadaan berlumuran darah, maka Rasulullah berkata kepadanya,“Ada apa dengan engkau”? dia berkata,“Wahai Rasulullah ! seorang wanita lewat di depanku maka akupun memandangnya, aku terus memandangnya hingga akhirnya aku menabrak tembok maka jadilah apa yang engkau lihat sekarang (aku berlumuran darah). Rasulullah berkata,

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا عَجَّلَ لَهُ عُقُوْبَتَهُ فِي الدُّنْيَا

“Jika Allah menghendaki kebaikan pada hambanya maka Ia menyegerakan hukuman baginya di dunia”[36]

Berkata Amr bin Murrah,”Saya memandang seorang wanita yang membuatku terkagum-kagum, lalu matakupun buta, maka saya berharap kebutaanku ini adalah hukuman bagiku.”

Abu Abdillah bin Al-Jalla’ pernah suatu ketika tidak menjaga pandangannya, lalu datang seseorang menegurnya seraya berkata kepadanya, “Engkau akan merasakan akibatnya walaupun di hari kelak”. Dia baru merasakan akibatnya empat puluh tahun setelah kejadian tersebut. Dia berkata,“Maka aku menemui akibat perbuatanku setelah empat puluh tahun, aku dijadikan lupa Al-Qur’an”[37]

Para salaf bisa merasakan bahwa sebagian musibah yang menimpa mereka merupakan akibat dari kemaksiatan yang telah mereka lakukan, walaupun kemasiatan tersebut jauh telah lama terjadi. Hal ini dikarenakan mereka jarang melakukan kemaksiatan sehingga mereka ingat betul kemakisatan-kemaksiatan yang telah mereka lakukan. Adapun sebagian orang zaman sekarang, jika ditimpa musibah mereka tidak tahu apa sebab musibah tersebut, bahkan sama sekali tidak terlintas dalam benak mereka bahwa musibah tersebut merupakan akibat ulah perbuatan (maksiat) mereka. Kalaupun mereka merasakan bahwa musibah yang menimpa mereka dikarenakan kemaksiatan, mereka tidak tahu kemaksiatan yang manakah yang mendatangkan musibah tersbut. Hal ini dikarenakan terlalu banyak dan beraneka ragamnya kemaksiatan yang telah mereka lakukan sampai-sampai mereka lupa dengan kemaksiatan-kemaksiatan tersebut.

Renugkanlah wahai saudaraku…lihatlah pria ini, Allah telah memberikannya anugrah kepadanya dan memuliakannya dengan menjadikannya menghapal Al-Qur’an, lalu diapun menyia-nyiakan anugrah tersebut dengan suatu pandangan yang diharamkan oleh Allah. Jika telah hilang ketakwaan maka akan hilang ilmu, sebagaimana ketakwaan merupakan sebab utama untuk meraih ilmu yang bermanfaat. Meninggalkan ketakwaan merupakan sebab utama terhalangnya ilmu yang bermanfaat.

Berkata Imam As-Syafi’i

شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ فَأَرْشَدَنِيْ إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ وَنُوْرُ اللهِ لاَ يُهْدَى لِلْعَاصِي

Aku mengadu kepada imam Waki’ tentang buruknya hapalanku maka beliaupun mengarahkan aku untuk meninggalkan kemaksiatan.
Ia mengabarkan kepadaku bahwasanya ilmu adalah cahaya…..dan cahaya Allah tidaklah diberikan kepada orang yang bermaksiat.


Kiat-kiat penting dalam menjaga pandangan mata.[38]

1. Selalu mengingat bahwasanya Allah selalu mengawasi perbuatanmnu, dan hendaknya engkau malu kepada Allah tatkala bermaksiat kepadanya dengan mengumbar pandanganmu. Dimana saja engkau berada Allah pasti mengawasimu. Tatkala engkau di kamar sendiri dihadapan komputer, tatkala engkau sedang membuka internet, sedang membuka lembaran-lembaran majalah.

2. Ingatlah bahwa matamu akan menjadi saksi atas perbuatanmu pada hari kiamat. Janganlah engkau jadikan matamu sebagai saksi bahwa engkau telah memandang hal yang haram, namun jadikanlah dia sebagai saksi bahwasanya engkau menundukkan pandanganmu karena Allah

3. Ingatlah ada malaikat yang mengawasimu dan mencatat seluruh perbuatanmu. Jangan sampai malaikat mencatat bahwa engkau telah memandang wanita yang tidak halal bagimu. Malulah engkau kepada malaikat tersebut.

4. Ingatlah bahwa bumi yang engkau pijak tatkala engkau mengumbar pandanganmu juga akan menjadi saksi atas perbuatanmu.

5. Ingatlah akan buah dan faedah-faedah dari menjaga pandangan. Berkata Mujahid, “Menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah menimbulkan kecintaan kepada Allah”[39]. Yakinlah jika engkau menahan pandanganmu maka Allah akan menambah cahaya imanmu, dan engkau akan semakin bisa merasakan kenikmatan beribadah kepada Allah. Shalatmu akan bisa lebih khusyuk

Ibnul Qoyyim[40] menjelaskan bahwa barangsiapa yang menundukkan pandangannya dari melihat hal-hal yang haram maka dia akan meraih faedah-faedah berikut ini:

1) Menyelamatkan hati dari pedihnya penyesalan karena barangsiapa yang mengumbar pandangannya maka akan berkepanjangan penyesalan dan penderitaannya. Pandangan ibarat bunga api yang menimbulkan besarnya nyala api

2) Menimbulkan cayaha dan kemuliaan di hati yang akan nampak di mata, di wajah, serta di anggota tubuh yang lain

3) Akan menimbulkan firasat (yang baik) bagi orang yang menjaga pandangannya. Karena firasat bersal dari cahaya dan merupkan buah dari cahaya tersebut. Maka jika hati telah bercahaya akan timbuk firasat yang benar karena hati tersebut akhirnya ibarat kaca yang telah dibersihkan.

4) Akan membukakan baginya pintu-pintu dan jalan-jalan ilmu

5) menimbulkan kekuatan hati dan keteguhan hati serta keberanian hati

6) Menimbulkan kegembiraan dalam hati dan kesenangan serta kelapangan dada yang hal ini lebih nikmat dibandingkan keledzatan dan kesenangan tatkala mengumbar pandangan.

7) Terselamatkannya hati dari tawanan syahwat

8) Menutup pintu diantara pintu-pintu api neraka jahannam karena pandangan adalah pintu syahwat yang mengantarkan seesorang untuk mengambil tindakan (selanjutnya yang lebih diharamkan lagi-pen). Adapun menunundukkan pandangan menutup pintu ini

9) Menguatkan akal dan daya fikir serta menambahnya dan menegarkannya karena mengumbar pandangan tidaklah terjadi kecuali karena sempitnya dan ketidakstabilan daya pikir dengan tanpa memperhitungkan akibat-akibat buruk yang akan timbul.

10) Hati terselamatkan dari mabuk kepayang karena syahwat dan mampu menolak hantaman kelalaian. Allah berfirman tentang orang-orang yang mabuk kepayang: “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”. (QS. 15:72)

6. Berupaya bersungguh-sungguh untuk membiasakan diri menjaga pandangan. Dan barang siapa yang berusaha untuk bersabar maka Allah akan menjadikannya orang yang sabar. Jika jiwamu terbiasa menundukkan pandangan maka kelak akan menjadi mudah bagimu. Walaupun pada mulanya memang terasa sangat sulit, namun berusahalah!

7. Menjauhi tempat-tempat yang rawan timbulnya fitnah pandangan, walaupun akibat dari menjauhi tempat-tempat tersebut engkau luput dari sebagian kemaslahatanmu. Jika engkau ingin membuka internet bawalah teman yang bisa menasehatimu sehingga engkau tidak memandang hal-hal yang terlarang, Sesungguhnya jika engkau membukanya sendiri maka syaithan lebih mudah menjerumuskanmu. Jauhilah engkau dari menonton film dan sinetron dengan dalih untuk mengisi waktu luang dan untuk rileks. Demikian juga janganlah engkau mendekati hal-hal yang merupakan sarana mengumbar aurat wanita hanya karena alasan untuk mengikuti berita dan mengikuti perkembangan informasi dunia.

8. Jauhkan dirimu dari melihat hal-hal yang tidak perlu, dengan cara ketika engkau berjalan hendaknya engkau memandang kebawah kearah jalanmu, dan jangan engkau mengumbar pandanganmu ke kanan, ke kiri, dan kebelakang. Karena barangsiapa yang mengumbar pandangannya pasti dia akan terjerumus untuk memandang perkara yang diharamkan oleh Allah.[41]

9. Banyak membasahi lisan dengan dzikir kepada Allah, karena dzikir merupakan benteng dari gangguan syaitan. Biasakanlah dirimu dengan membaca dzikir pagi dan petang demikian juga dengan dzikir-dzikir yang lain, terlebih lagi di kala fitnah aurat wanita berada di hadapannya hingga engkau bisa menolak gangguan syaitan. Dengan berdzikir maka engkau akan tersibukkan mengingat kebesaran Allah sehingga tidak terlintas keinginan memandang hal-hal yang haram. Dengan berdzikir engkau akan semakin malu kepada Allah untuk memandang perkara yang tidak halal bagimu.

10. Jika engkau belum menikah maka menikahlah. Sesungguhnya dalam pernikahan terlalu banyak manfaat untuk membantu engkau menundukkan pandanganmu

11. Jika engkau telah beristri ingatlah bahwa dengan mengumbar pandangan syaitan menjadikan engkau tidak menikmati apa yang telah Allah halalkan bagimu. Syaitan menghiasi perkara yang haram yang telah engkau lihat dengan seindah-indahnya padahal tidak sesuai dengan kenyataan. Barang siapa yang menjaga pandangannya maka dia akan menemukan kenikmatan pada apa yang telah dihalalkan Allah baginya.

12. Pengorbananmu dengan menahan matamu dari memandang hal-hal yang menawan namun diharamkan bagimu, akan diganti oleh Allah dengan yang lebih baik lagi bagimu. Rasulullah bersabda,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلاَّ أَبْدَلَكَ اللهُ مَا هُوَ خَيرٌ لَكَ مِنْهُ

“Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah kecuali Allah akan menggantikan bagi engkau yang lebih baik darinya”[42]

Jika yang akan engkau pandang adalah wanita yang cantik dan molek ingatlah bahwa Allah akan menggantikannya dengan yang jauh lebih cantik, molek dan montok, ketahuilah! dialah bidadari. Ingatlah janji yang Allah berikan pada orang-orang yang bertakwa yaitu bidadari di surga yang kecantikannya tidak bisa dibandingkan dengan wanita di dunia. Betapapun engkau berusaha untuk membayangkan kecantikannya dan kemolekan tubuhnya, maka engkau tidak akan pernah bisa membayangkannya. Bidadari lebih cantik dan lebih molek dan lebih menawan dari yang kau khayalkan karena sesungguhnya Allah menyediakan bagi hamba-hambaNya yang bertakwa di surga apa yang tidak pernah mereka lihat, dan tidak pernah mereka dengar dan tidak pernah terlintas dalam benak mereka.

13. Hendaknya engkau selalu mengingat nikmat yang telah Allah berikan kepadamu, dan engkau akan dimintai pertanggungjawaban atas nikmat tersebut, untuk apakah nikmat tersebut engkau manfaatkan? Pandangan mata adalah nikmat yang luar biasa, tentunya bentuk syukur engkau atas nikmat pandanganmu itu hendaknya enggau gunakan untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah. Berkata Ibnul Jauzi,“Fahamilah wahai saudaraku apa yang akan aku wasiatkan kepadamu. Sesungguhnya matamu adalah suatu nikmat yang Allah anugrahkan kepadamu, maka janganlah engkau bermaksiat kepada Allah dengan karunia ini. Gunakanlah karunia ini dengan menundukkannya dari hal-hal yang diharamkan, niscaya engkau akan beruntung. Waspadalah! Jangan sampai hukuman Allah (karena engkau tidak menjaga pandangan) menghilangkan karuniaNya tersebut. Waktumu untuk berjihad dalam menundukkan pandanganmu terfokus pada sesaat saja. Jika engkau mampu melakukannya (menjaga pandanganmu di waktu yang sesaat tersebut) maka engkau akan meraih kebaikan yang berlipat ganda dan engkau selamat dari keburukan yang berkepanjangan”.[43]Jika engkau memang telah terlanjur memandang wanita yang tidak halal engkau pandangi dan hatimu telah terkait dengannya, sulit untuk melupakannya maka beristigfarlah kepada Allah dan berdoalah kepada Allah agar engkau bisa melupakannya. Berkata Ibnu Muflih dalam kitabnya Al-Furu’,[44] “Dan hendaknya orang yang berakal menjauhi sikap mengumbar pandangan karena mata melihat apa yang tidak ia mampui (apalagi) yang dipadangnya bukan pada hakikat yang sebenarnya. Bahkan terkadang hal itu menyebabkan mabuk kepayang maka rusaklah tubuhnya dan juga agamanya. Barangsiapa yang terkena musibah seperti ini maka hendaknya ia memikirkan aib-aib para wanita. Ibnu Mas’ud berkata,

إِذَا أًَعْجَبَتْ أَحَدَكُمْ امْرَأَةٌ فَلْيَذْكُرْ مَنًاتِنَهَا وَمَا عِيْبَ نِسَاءُ الدُّنْيَا بَأَعْجَبَ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالىَ }وَلَهُمْ فِيْهَا أَزْوَاجُ مُطَهَّرَةُ|

“Jika seorang wanita membuat salah seorang dari kalian takjub maka hendaknya ia mengingat hal-hal yang bau dari wanita tersebut, sungguh tidak ada yang lebih menakjubkan tentang aibnya para wanita di dunia dengan firman Allah |وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ} (dan untuk mereka di surga istri-istri yang suci)”[45] ,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِي وَ مِنْ شَرِّ بَصَرِي وَ مِنْ شَرِّ لِسَانِيْ وَ مِنْ شَرِّ قَلْبِي وَ مِنْ شَرِّمَنِيِّ

Ya Allah aku berlindung kepadamu dari keburukan pendengaranku, dari keburukan pandanganku, dari keburukan lisanku, dari keburukan hatiku, dan dari keburukan maniku (kemaluanku)[46]

Kota Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jum,at 24 September 2004

Penulis: Ustadz Firanda Andirja

Artikel www.firanda.com, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id

————————-
Daftar Pustaka,

1. Majmu’ Al-Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
2. Syarah Riadhus Shalihin, Syaikh Ibnu Utsaimin, Darul Bashirah
3. Adhwaa’ul Bayaan, Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi
4. Al-Muntaqa min Dzamil Hawa (Ibnul Jauzi), Kholid Abu Shalih, Darul Wathan
5. Sihaamul A’yun, DR. Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsin
6. Al-Kabai’ir, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman, maktabah Al-Furqon
7. Sur’atul ‘Iqob liman Kholafa As-Sunnah wal Kitab, Abu ‘Ammar Muhammad bin Abdillah Bamusa, darul Iman.
8. Manarus sabil, karya Ibnu Dhouyan, tahqiq ‘Ishom Al-Qol’aji, terbitan Maktabah Al-Ma’arif
9. Al-Minhaj syarh shahih Muslim, Imam An-Nawawi, darul Ihyaut Turots, cetakan kedua
10. Tuhfatul Ahwadzi, Al-Mubarokfuri, Dar Ihya’ at-Turats al-’Arabi
11. Al-Bidayah wan Nihayah, karya Ibnu Katsir, Maktabah Ma’arif Beiruut
12. Raudhatul Muhibbin, karya Ibnul Qoyyim, tahqiq Sayyid ‘Imron, terbitan Darul Hadits
13. Silsilatul Ahadits Ad-Dho’ifah, Syaikh Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif

————————-
[1] Ibnu Taimiyah menjelasakan bahwa merupakan hal yang telah diketahui bersama bahwa di antara para wanita ada yang berupa elok yang hal ini merupakan ibrah dan tanda adanya pencipta, namun apakah ada seorang muslim (sejati) yang berkata, “Seseorang boleh memandang paras para wanita yang bukan mahramnya –yang para wanita tersebut adalah bagian dari alam semesta- karena ini merupakan ibadah”?, maka barangsiapa yang menjadikan pandangan yang seperti ini merupakan ibadah maka dia telah kafir murtad (karena dia telah menganggap maksiyat sebagai ibadah-red) wajib diminta taubatnya dan jika tidak bertaubat maka hendaknya dibunuh. (Al-Fatawa 15/414)

[2] HR.Ath-Thabrani no:8018 dan Ibnu ‘Adi (Al-Kamil 6/2048) dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Ash-Shahihah no:1525) karena ada syahidnya dari hadits Ubadah bin Shamit.

[3] Syair ini disebutkan oleh Syaikh Muhammad Amin As-Syinqithi dalam tafsirnya surat An-Nuur ayat 31

[4] HR At-Thirmidzi 3/476 no 1173 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Shahihah 6/424 no 2688)

[5] Tuhfatul Ahwadzi 4/283

[6] Berkata Syaikh Masyhur Hasan Salman, “Atsar ini disebutkan oleh As-Suyuthi dalam Ad-Dar Al-Mantsur (2/500) dan ia menyandarkannya kepada Ibnu Jarir (8/245 no 9207) dan kepada Ibnul Mundzir (2/671 no 1670) dan Ibnu Abi Hatim (3/934 no 5217), dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab no 7150 dari jalan Sa’id bin Jubair bahwasanya ada seorang pria bertanya kepada Ibnu Abbas “Berapa jumlah dosa-dosa besar?, apakah jumlahnya tujuh?”. Ibnu Abbas berkata, “Jumlahnya lebih dekat kepada tujuh ratus daripada tujuh, hanya saja tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istighfar dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus”, dengan sanad yang shahih mauquf kepada Ibnu Abbas. (Lihat Al-Kaba’ir hal 47)

Berkata Syaikh Abu Muhammad bin Abdissalam tentang definisi “terus menerus” “Yaitu dosa kecil itu ia lakukan berulang-ulang sehingga ia merasakan sedikitnya kepeduliannya dengan agamanya, yaitu ia merasakan bahwa ia telah melakukan dosa besar dengan dosa-dosa kecil tersebut”, ia juga berkata, “Demikian juga berkumpul dosa-dosa kecil yang bermacam-macam dimana ia merasakan dengan seluruh dosa-dosa kecil yang beraneka ragam tersebut sebagaimana telah melaksanakan dosa besar yang paling kecil” (Al-Minhaj 2/87)

[7] HR Muslim no 45

[8] HR Abu Dawud no 2149 (Kitabun Nikah), At-Tirmidzi no 2777 (Kitabul Adab), dan berkata At-Tirmidzi, Hasan Gharib. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ no 7953

[9] HR Al-Bukhari no 1513 (Kitabul Hajj) dan no 1854 (Kitab Jaza As-Soid) dan Muslim no 407 (Kitabul Hajj). Dalam riwayat Ahmad pada Musnadnya (1/211) disebutkan bahwa Al-Fadl menyifati wanita tersebut adalah wanita cantik, dan Al-Fadlpun memandangnya, lalu Nabi mengetahui bahwa Al-Fadl sedang memandang sang wanita maka Nabipun memalingkan wajah Al-Fadl. Kemudian Al-Fadl mengulangi pandangannya lagi namun nabi memalingkan wajahnya kembali hingga tiga kali.

[10] Adhwaa’ul Bayan, tafsir surat 24/31

[11] HR Al-Bukhari no 6343 (Kitabul Isti’dzan), Muslim no 20,21 (kitabul Qadar), dan lafal hadits ini pada riwayat Ahmad dalam Musnadnya 2/343

[12] Adhwaa’ul bayan, tafsir An-Nuur 31

[13] HR Al-Bukhari no 5096 (Kitabun Nikah) dan Mulim no 97,98 (kitab Adz-Dzikir)

[14] HR Muslim no 99 (kitab –Adz-Dzikir)

[15] Yang lebih menyedihkan lagi tidak sedikit dari kaum muslimin yang menyambut propaganda mereka , mereka berbondong-bondong membeli parabola, berbondong-bondong meramaikan bioskop-bioskop dan yang semisalnya. Mereka benar-benar telah ikut meramaikan dan melariskan propaganda orang-orang kafir. Inna lillah…

[16] HR Al-Bukhari no 304 (Kitabul Haidh, Bab tarkul Haa’idhi Ash-shaum)

[17] Lihat Syarah Riyadhus Shalihin, awal bab taubat

[18] Adhwaul Bayan, tafsir surat 24/31

[19] Majmu’ Al-Fatawa 15/375

[20] QS 40 ayat 19

[21] Adhwaul Bayan, tafsir surat 24/31

[22] QS 40 ayat 19

[23] Dzammul Hawa hal 65

[24] Dzammul Hawa hal 63

[25] Shahihul Bukhori no 6308

[26] Kain yang digunakan untuk menutup ka’bah.

[27] Dzammul Hawa hal 67.

[28] Dzammul Hawa hal 64.

[29] Dzammul Hawa hal 64

[30] Dzammul Hawa hal 65

[31] Dzammul Hawa hal 63

[32] Ad-Da’ wad Dawa’ hal 232-236

[33] Ad-Da’ wad Dawa’ hal 127

[34] Al-Bidayah wan Nihayah (11/ 64)

[35] Ad-Daa’ wad Dawa’ hal 257,258

[36] HR Ath-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Kabir no 11842, dan disebut oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (10/191-192) dan berkata, “Pada sanadnya ada perawi yang bernama Abdurrahman bin Muhammad bin Abdillah Al-‘Azmi, dan dia perawi yang dha’if”. Aku berkata (Khalid Abu Shalih),”Dan hadits ini ada syahidnya dari hadits Abdullah bin Mughaffal, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya (4/87)” Lihat Dzammul Hawa hal 76

[37] Dzammul Hawa hal 76

[38] Diringkas dan disadur dengan tasharruf dari tulisan Doktor Abdullaoh bin Ali Al-Ju’aitsin yang berjudul “Sihaamul A’yun” dan disertai tambahan dari penulis

[39] Majmu’ Al-Fatawa 15/396

[40] Raudhotul Muhibbin hal 95-103

[41] Apalagi di Indonesia. Orang yang menundukkan pandangannya kearah bawah saja terkadang tidak selamat dari memandang aurat wanita –apalagi ketika naik kendaraan yang bercampur baur dengan wanita-, terlebih lagi orang yang matanya jelalatan ke sana kemari!

[42] Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (sebagaimana diisyaratkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dho’ifah I/62 no 5, beliau berkata, “Sanadnya shahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim”)

[43] Dzammul Hawa hal78

[44] Sebagaimana dinukil dalam manarus sabil 2/122

[45] QS Al-Baqoroh ayat 25, yaitu para wanita surga mereka suci terbebas dari haid, ingus, dahak, kencing, tai, mani, ludah dan hal-hal yang kotor. Hal ini sebagaimana tafsiran dari Ibnu Abbas dan juga Mujahid (Lihat tafsir Ibnu Katsir QS 2:25)

[46] HR At-Thirmidzi no 3492, Abu Dawud no 1551, An-Nasai no 5444, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.

Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Jumat, 03 September 2010

Takbiran Hari Raya

Waktu Mulai & Berakhir Takbiran

a. Takbiran Idul Fitri

Takbiran pada saat idul fitri dimulai sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sampai selesai shalat ‘id.

Hal ini berdasarkan dalil berikut:

1. Allah berfirman, yang artinya: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Ayat ini menjelaskan bahwasanya ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah dengan bertakbir.

2. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621)

Keterangan:

1. Takbiran idul fitri dilakukan dimana saja dan kapan saja. Artinya tidak harus di masjid.

2. Sangat dianjurkan untuk memeperbanyak takbir ketika menuju lapangan. Karena ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Berikut diantara dalilnya:

* Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)
 * Dari Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir pada hari id (ketika keluar rumah) sampai beliau tiba di lapangan. Beliau tetap melanjutkan takbir hingga imam datang.” (HR. Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)

* Dari Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau mengatakan: “Dulu Abu Qotadah berangkat menuju lapangan pada hari raya kemudian bertakbir. Beliau terus bertakbir sampai tiba di lapangan.” (Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)

b. Takbiran Idul Adha

Takbiran Idul Adha ada dua:

1. Takbiran yang tidak terikat waktu (Takbiran Mutlak)

Takbiran hari raya yang tidak terikat waktu adalah takbiran yang dilakukan kapan saja, dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang dibolehkan.

Takbir mutlak menjelang idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai waktu asar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Dzulhijjah, kaum muslimin disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan, di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dst. Dalilnya adalah:

a. Allah berfirman, yang artinya: “…supaya mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)

Allah juga berfirman, yang artinya: “….Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (Qs. Al Baqarah: 203)

Tafsirnya:

* Yang dimaksud berdzikir pada dua ayat di atas adalah melakukan takbiran
* Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Yang dimaksud ‘hari yang telah ditentukan’ adalah tanggal 1 – 10 Dzulhijjah, sedangkan maksud ‘beberapa hari yang berbilang’ adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.” (Al Bukhari secara Mua’alaq, sebelum hadis no.969)
* Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, bahwa maksud “hari yang telah ditentukan” adalah tanggal 1 – 9 Dzulhijjah, sedangkan makna “beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. (Disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari 2/458, kata Ibn Mardawaih: Sanadnya shahih)

b. Hadis dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

c. Imam Al Bukhari mengatakan: “Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.969)

d. Disebutkan Imam Bukhari: “Umar bin Khatab pernah bertakbir di kemahnya ketika di Mina dan didengar oleh orang yang berada di masjid. Akhirnya mereka semua bertakbir dan masyarakat yang di pasar-pun ikut bertakbir. Sehingga Mina guncang dengan takbiran.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.970)

e. Disebutkan oleh Ibn Hajar bahwa Ad Daruqutni meriwayatkan: “Dulu Abu Ja’far Al Baqir (cucu Ali bin Abi Thalib) bertakbir setiap selesai shalat sunnah di Mina.” (Fathul Bari 3/389)

2. Takbiran yang terikat waktu

Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan shalat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Asar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut dalil-dalilnya:

a. Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau dulu bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah dluhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Al Albani)

b. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: “Shahih dari Ali radhiyallahu ‘anhu“)

c. Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya shahih)

d. Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al Hakim dan dishahihkan An Nawawi dalam Al Majmu’)

Lafadz Takbir

Tidak terdapat riwayat lafadz takbir tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafadz takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:

Pertama, Takbir Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:

أ‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
ب‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

Keterangan:
Lafadz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.

Kedua, Takbir Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ
اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا

Keterangan:
Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Syaikh Al Albani.

Ketiga, Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا

Keterangan: Ibn Hajar mengatakan: Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al Mushanaf dengan sanad shahih dari Salman.

Catatan Penting

As Shan’ani mengatakan: “Penjelasan tentang lafadz takbir sangat banyak dari berberapa ulama. Ini menunjukkan bahwa perintah bentuk takbir cukup longgar. Disamping ayat yang memerintahkan takbir juga menuntut demikian.”

Maksud perkataan As Shan’ani adalah bahwa lafadz takbir itu longgar, tidak hanya satu atau dua lafadz. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebagian ulama mengucapkan lafadz takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadis. Allahu A’lam.

Kebiasaan yang Salah Ketika Takbiran

Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbiran di hari raya, diantaranya:

a. Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan

Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)

Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.

b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara

Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.

Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.

c. Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk takbiran yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai shalat fardlu saja. Tetapi yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja.

Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbiran setelah shalat wajib dan yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)

Amal yang disyariatkan ketika selesai shalat jamaah adalah berdzikir sebagaimana dzikir setelah shalat. Bukan melantunkan takbir. Waktu melantunkan takbir cukup longgar, bisa dilakukan kapanpun selama hari raya. Oleh karena itu, tidak selayaknya menyita waktu yang digunakan untuk berdzikir setelah shalat.

d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan

Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat shalat hari raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, mengingat banyaknya orang yang meninggalkannya.

e. Bertakbir dengan lafadz yang terlalu panjang

Sebagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafadznya:

الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ…

Takbiran dengan lafadz yang panjang di atas tidak ada dalilnya. Allahu a’lam.

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

BID’AH-BID’AH SEPUTAR QIRA’AH (BACAAN AL-QUR’AN)

Oleh
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid

Fitnah (kesesatan; kesalahan) meniru suara para qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) dan mempraktekkannya di masjid-masjid di hadapan Allah adalah perkara yang dianggap bid’ah (tambahan) dalam urusan ibadah membaca qur’an . Padahal merupakan suatu hal yang dimaklumi bahwa hal meniru suara yang qaari’ yang baik bisa dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan pada zaman para sahabat Radhiyallahu 'anhum, tetapi tidak diketahui adanya di kalangan mereka yang bertaqaarub (beribadah) kepada Allah dengan meniru-niru suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga dari sini diketahui bahwa perbuatan tersebut tidak masyru’ (disyari’atkan/diajarkan) sekaligus merupakan sikap mengada-ada dalam persoalan ibadah.


BEBERAPA BID’AH PARA AHLI QIRA’AH YANG DISEBUTKAN OLEH PARA ULAMA

1. Berlebih-lebihan melafazhkan huruf, bahkan menyalahi cara dan hukum penyebutan huruf karena adanya cara bertajwid yang dibuat-buat dan bahkan dipaksa-paksakan, sehingga meleset dari bacaan yang mudah dan lurus yang sesuai dengan firman Allah:

وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلا

"Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil" [al-Muzzamil : 4]

2. Membaca al-Qur’an bukan dengan logat Arab.

3. Membaca seperti cara orang fasik dan fajir (durhaka).

4. Membaca dengan nada dan gerakan tertentu. Seperti yang dilakukan oleh sebagian pengikut Tareqat yang membaca dengan iringan tarian/dansa/joget seperti yang dilakukan di halaman masjid al-Husein di Mesir dengan ditonton oleh orang banyak.

5. Membaca dengan cara melagu. Dan bid’ah yang lebih parah dari itu jika bacaan disertai dengan alat musik.

6. Melagu serta banyak mengulang-ulangi laguan.

7. Membaca cepat seperti halnya syair.

8. Membaca dengan cepat tanpa tadabbur (memperhatikan maknanya).

9. Mengangkat suara saat membaca dengan cara yang berlebih-lebihanan. Dan inilah yang menyebabkan timbulnya cara baru yang dibuat-buat saat membaca al-Qur’an, yaitu menempelkan kedua tangan pada kedua telinga ketika membaca al-Qur’an.

10. Duduk melingkar dan bergantian dalam membaca ayat atau surah sampai bacaan selesai. Tetapi cara ini diperbolehkan saat berkumpul untuk belajar al-Qur’an.

11. Membaca al-Qur’an di menara masjid. Ini merupakan tipu daya Iblis terhadap banyak ahli qira'ah, yaitu mereka membaca al-Qur’an di menara masjid pada waktu malam dengan paduan suara yang keras sampai berjuz-juz, sehingga mereka mengganggu dan menghalangi orang lain tidur, sekaligus dapat menjerumuskan diri mereka kepada perbuatan riya’[1] Bahkan di antara mereka ada yang sengaja membaca al-Qur’an di masjid di waktu setelah adzan, karena ini merupakan waktu berkumpulnya orang-orang di masjid.

12. Qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) membaca sambil mengisap rokok, atau membaca al-qur’an di suatu majlis di mana orang-orang yang berkumpul mengisap rokok.

13. Menyibukkan diri dengan cara-cara bacaan yang syadz (nyleneh/aneh/rancu), padahal ini merupakan tipu daya Iblis terhadap mereka. Yaitu mereka menyibukkan diri dengan bacaan-bacaan seperti ini sehingga menghabiskan waktu dan umur mereka untuk mendalami, mengajarkan serta menyusun buku untuk hal itu, sehingga mereka sibuk dengan urusan qira’ah (bacaan) dan meninggalkan ilmu yang fardhu atau wajib. Sehingga anda terkadang mendapati seorang imam masjid yang sibuk dengan pengajaran cara bacaan yang syadz, padahal dia sendiri belum mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat. Bahkan terkadang sifat fanatik kejahilannya membuat dia berani dengan cepat tampil berfatwa, tetapi enggan ikut duduk menuntut ilmu di majlis ilmu yang dipimpin oleh ulama. Andaikan orang-orang seperti ini mau berfikir, niscaya mereka mengetahui bahwa yang seharusnya menjadi prioritas tujuan ialah menghafal al-Qur’an serta membenarkan cara bacaan (qira’ah), lalu memahami al-Qur’an dan mengamalkannya. Kemudian mempelajari ilmu-ilmu yang dapat memperbaiki hati dan akhlaq, serta ilmu-ilmu syari’at yang lainnya. Dan merupakan kebodohan jika seseorang menghabiskan waktunya pada hal-hal yang tidak penting. Al-Hasan Al-Bashariy berkata: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi manusia menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai pekerjaan.” Maksudnya: Mereka hanya mementingkan urusan bacaan tetapi tidak mengamalkan isi Al-Qur’an.

14. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) atau lebih pada satu ayat, di dalam shalat atau di luar shalat di tengah banyak orang. (Cara menbaca seperti ini diperbolehkan saat seorang guru menjelaskan cara-cara bacaan dalam pelajaran tafsir untuk mengetahui maksud setiap bacaan).

15. Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan bacaan ayat atau surat tertentu dalam shalat wajib atau selain shalat wajib tanpa dalil, seperti:

a. Membiasakan membaca surah al-An’am pada rekaat terakhir malam ke tujuh bulan Ramadhan dengan meyakini bahwa hal itu disunnahkan.

b. Membaca surah al-Muddatstsir, al-Muzzammil atau al-Insyraah pada malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di shalat Isya’ atau shalat Fajar.

c. Membaca surat yang menyebutkan Nabi Musa Alaihissallam pada shalat fajar hari ‘Asyura.

d. Membaca surah al-Kafiruun dan al-Ikhlash di shalat maghrib pada malam Jum’at.

e. Membaca surah al-Falaq dan an-Naas pada shalat Maghrib pada malam Sabtu.

f. Menggabung ayat-ayat tertentu untuk dibaca secara khusus pada akhir-akhir shalat tarawih.

g. Membaca ayat-ayat yang berisi do’a di malam khatam pada rekaa’at terakhir shalat tarawih setelah membaca surah an-Naas.
 h. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) dalam shalat adalah bid’ah, sama hukumnya dengan menggabung dua qira’ah saat membaca di luar shalat.
 i. Membaca surah yang di dalamnya ada ayat sajadah selain (Alif Laam Miim –Tanzil- As-Sajdah) pada shalat fajar hari jum’at karena yang disunahkan ialah: membaca pada rekaat pertama (Alif Laam Miim –Tanziil- As-Sajdah) dan (surah al-Insan) pada rekaat kedua.
 j. Menggabungkan ayat-ayat yang berisi tahlil (kalimat Laa ilaaha illa Allah) dan membacanya seperti halnya membaca surah.

16. Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan membaca suatu ayat atau surah tanpa dalil pada waktu atau tempat tertentu untuk suatu hajat. Seperti:

a. Membaca al-Fatihah dengan niat untuk hajat tertentu atau menghilangkan kesusahan.
 b. Membaca surah al-Kahfi pada hari Jum’at untuk orang-orang yang akan shalat Jum’at sebelum memulai khutbah Jum’at dengan suara yang keras.
 c. Membaca surah Yaasiin 40 kali dengan niat terpenuhinya suatu hajat.
 d. Mengkhususkan bacaan surah al-Kahfi sesudah Ashar pada hari Jum’at di masjid. (Kesalahannya karena mengkhususkan tempat dan waktu).
 e. Membaca surah Yaasin saat memandikan mayit.
 f. Membaca sepersepuluh dari al-Qur’an (oleh anak-anak dan selain anak-anak) pada malam Maulid.
 g. Membaca al-Qur’an di hadapan jenazah atau di atas kubur.
 h. Mengharuskan diri untuk senantiasa membaca al-Qur’an saat thawaf.

17. Termasuk bid’ah adalah kebiasaan para qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) atau yang mendengarkan bacaannya mengucapkan do’a-do’a atau dzikir-dzikir yang tidak ada nash dalilnya saat membaca suatu ayat atau surah. Seperti:

a. Ucapan mereka setelah membaca al-Qur’an: “al-Fatihah.”
 b. Ucapan mereka saat membaca al-Fatihah: “Shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa.”
 c. Ucapan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “al-Fatihah –Ziyaadatan Fii Syarafin Nabiyyi Shallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.”

d. Ucapan orang-orang yang mendengarkan bacaan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “Allah, Allah,” atau ucapan-ucapan lainnya yang ditujukan kepada qaari saat ia membaca, padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأِذَا قُرِىءَ القُرءَانُ فاَستمعُوا لَهُ وَأنصِتُوا لَعَلكُم تُرحَمُونَ

"Dan apabila dibacakan al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat" [al-A’raaf: 204]

e. Membiasakan ucapan: “Shadaqa Allaah ul-‘Azhiim” setelah selesai membaca al-Qur’an.

18. Bid’ah-bid’ah khatam, seperti:

a. Membaca semua ayat-ayat sajadah setelah khatam.
b. Bertahlil empat belas kali.
c. Mengadakan perayaan malam khatam.
d. Khutbah sebelum atau sesudah acara.
e. Saling berjanji untuk khatam.
f. Berteriak saat khatam.
g. Menyalakan api malam khatam

19. Termasuk bid’ah adalah membaca al-Qur’an untuk meminta-minta. Di antaranya dengan cara memutar bacaan kaset Qur’an sambil meminta-minta di gang-gang jalanan dan di toko-toko pasar.

20. Meletakkan kedua tangan di kedua telinga atau satu tangan di sebelah telinga saat membaca al-Qur’an.

21. Tujuh hal yang menyangkut khatam:

a. Penyempurnaan khatam, artinya: makmum membaca semua ayat yang ditinggalkan oleh imam, setelah itu imam kembali membaca semua ayat yang telah ia tinggalkan.
b. Menganggap bahwa disukai mengkhatam qur’an pada sore hari di musim dingin, dan di pagi hari pada musim kemarau.
c. Menyambung satu khatam dengan khatam lain dengan perantaraan/sambungan surah al-Fatihah atau dengan membaca lima ayat dari surah al-Baqarah.
d. Mengulang-ulangi surah al-Ikhlash tiga kali.
e. Bertakbir di akhir surat ad-Dhuha sampai akhir surah An-Naas di dalam shalat atau di luar shalat.
f. Puasa pada hari khatam.
g. Membaca do’a khatam dalam shalat.

TAQLID (MENIRU) SUARA QAARI’

Fitnah (kesesatan; kesalahan) meniru suara para qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) dan mempraktekkannya di masjid-masjid di hadapan Allah adalah perkara yang dianggap bid’ah (tambahan) dalam urusan ibadah membaca qur’an . Padahal merupakan suatu hal yang dimaklumi bahwa hal meniru suara yang qaari’ yang baik bisa dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan pada zaman para sahabat Radhiyallahu 'anhum, tetapi tidak diketahui adanya di kalangan mereka yang bertaqaarub (beribadah) kepada Allah dengan meniru-niru suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga dari sini diketahui bahwa perbuatan tersebut tidak masyru’ (disyari’atkan/diajarkan) sekaligus merupakan sikap mengada-ada dalam persoalan ibadah.

Padahal menurut qaidah syara’ bahwa setiap perkara ibadah yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan.

Hal inilah -pada zaman kita ini- yang membuat banyak orang berdesak-desakan mengerumuni masjid-masjid yang imamnya mempunyai prinsip seperti di atas (meniru suara para qaari’ yang terkenal). Sehingga banyak orang pada bulan Ramadhan yang bepergian dari satu negeri ke negeri lain dengan tujuan shalat tarawih di suatu masjid yang imamnya mempunyai "suara yang bagus".

Coba anda camkan baik-baik hal ini, betapa terinjak-injaknya Sunnah Nabi tentang larangan "sengaja bepergian (ke tempat yang dimuliakan-red) kecuali ke tiga masjid: Masjid Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsha".[2]

Dan di antara hal yang muncul dari perbuatan tadi:
1. Adanya perasaan tidak senang shalat di belakang imam yang tidak begitu bagus suaranya.
2. Banyaknya orang yang kehilangan khusyu’ dalam shalatnya akibat ketergantungan kepada kebagusan suara.

Dan saya menasehati setiap muslim yang membaca Kitab Allah Ta’ala, khususnya para imam masjid-masjid, agar menghentikan sifat meniru-niru dan taqlid dalam membaca kalam Allah Rabbul-Alamiin. Kalam Allah lebih mulia dan lebih besar nilainya dibanding dengan perbuatan seorang qaari’ dalam melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan secara syar’iy kepadanya.
Allah berfirman tentang perihal sifat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَمَاأَنَا مِنَ المُتَكَلفِينَ

"Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan". [Shaad: 86]

Hendaknya setiap hamba berusaha untuk menghadirkan hati dan memperbaiki niat, sehingga ia membaca al-Qur’an dengan memperbagus suaranya tanpa mengada-ada dan memaksakan diri di luar kemampuannya. Janganlah mengada-ada dengan melagu serta memaksa-maksakan bacaan serta cara baca yang dilarang.

Dan sepantasnya orang-orang yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengangkat imam masjid supaya memilih imam yang lebih memadai keilmuaanya, bertaqwa, bersifat wara’, mempunyai aqidah yang bersih dari penyakit syubhat, mempunyai perangai bersih dari penyakit syahwat, serta lebih mendahulukan yang bersuara baik.

MENGGOYANG-GOYANGKAN KEPALA DAN BADAN SAAT MEMBACA AL-QUR’AN

Yaitu bid’ah kebiasaan orang-orang Yahudi yang biasa mereka lakukan saat mereka belajar, kemudian merembet kepada anak-anak kaum muslimin, pertama-tama di Mesir. Jika mereka membaca al-Qur’an di sekolah, mereka mengerak-gerakan kepala dan melenggak-lenggok. (Seperti yang dijelaskan oleh Abu Hayyan Al-Andalusiy dan Al-Raa’iy Al-Andalusiy).

MEMILIH BACAAN AYAT-AYAT PADA SHALAT JUM’AT YANG SESUAI DENGAN PEMBAHASAN KHUTBAH

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyusun bacaan shalat Jum’at dengan tiga sunnah bacaan:
1. Surah Al-Jumu’ah dan Surah Al-Munafiqun
2. Surah Al-Jumu’ah dan surah Al-Ghaasyiyah
3. Surah Al-‘A-laa (Sabbihisma) dan surah Al-Ghaasyiyah.

Sungguh pada zaman kita ini telah terjadi adanya sikap berpaling sebagian orang dari bacaan yang disyari’atkan ini kepada pilihan pribadi imam, yaitu memilih ayat-ayat atau surah yang menurutnya sesuai dengan thema khutbah.

Cara ini tidak berasal dari sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak berasal dari pengaalan Salaful-Ummah, sehingga menjadikan cara tadi sebagai suatu kebiasaan pengamalan adalah bid’ah. Begitu pula (jika) dengan niat meninggalkan yang disyari’atkan dan mengamalkan selain yang disunnahkan untuk dijadikan sebagai cara pengamalan yang dianggap sunnah, maka sikap ini dianggap sebagai sikap ingin menyempurnakan syariat (yang seakan-akan belum sempurna), meninggalkan yang masyru’, menganggap cara tadi sunnah serta membuat orang-orang awam terkecoh dengan cara-cara seperti itu, Wallahu a’lam.

MELAFAZHKAN AYAT-AYAT TERTENTU SAAT BERKHUTBAH DENGAN NADA SUARA BERUBAH-UBAH

Di antara hal-hal yang diada-adakan oleh para penceramah dan sebagian khatib pada zaman ini ialah merubah-ubah suara saat membaca ayat-ayat al-Qur’an untuk mengatur suaranya saat berceramah atau berkhutbah.

Cara ini tidak dikenal dari ulama-ulama salaf terdahulu, dan juga para ulama yang mempunyai banyak pengikut. Dan anda tak menjumpainya di kalangan ulama-ulama yang mulia yang diakui pada zaman kita, bahkan mereka menghindari cara bacaan seperti ini, dan banyak hadirin yang mendengarkan bacaan itu yang merasa tidak suka. Cara membacanyapun berbeda-beda, dan semua cara yang salah tidak diperhitungkan, sebagaimana tidak diperhitungkannya orang yang menyalahi metode periode awal umat ini dan ulama salaf.

[Ringkasan kitab Bida’ul Qura’ Al-Qadimah wal Mu’ashirah karya Syeikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, diringkas oleh M. Dahri]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Sebagaimana banyak dilakukan di masjid-masjid kaum muslimin di negeri ini, yang mereka membaca Al-Qur’an lewat pengeras suara masjid sebagai ganti di menara, ini tentulah lebih mengganggu tidur orang lain daripada sekedar membaca di menara. Wallahu Musta’an-Red
[2]. Lihat majalah Sunnah edisi 11/Th.IV/1421-2000, hal:52-54-Red]

Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com
 

blogger templates | Make Money Online