Jumat, 03 September 2010

Takbiran Hari Raya

Waktu Mulai & Berakhir Takbiran

a. Takbiran Idul Fitri

Takbiran pada saat idul fitri dimulai sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sampai selesai shalat ‘id.

Hal ini berdasarkan dalil berikut:

1. Allah berfirman, yang artinya: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Ayat ini menjelaskan bahwasanya ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah dengan bertakbir.

2. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621)

Keterangan:

1. Takbiran idul fitri dilakukan dimana saja dan kapan saja. Artinya tidak harus di masjid.

2. Sangat dianjurkan untuk memeperbanyak takbir ketika menuju lapangan. Karena ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Berikut diantara dalilnya:

* Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)
 * Dari Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir pada hari id (ketika keluar rumah) sampai beliau tiba di lapangan. Beliau tetap melanjutkan takbir hingga imam datang.” (HR. Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)

* Dari Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau mengatakan: “Dulu Abu Qotadah berangkat menuju lapangan pada hari raya kemudian bertakbir. Beliau terus bertakbir sampai tiba di lapangan.” (Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)

b. Takbiran Idul Adha

Takbiran Idul Adha ada dua:

1. Takbiran yang tidak terikat waktu (Takbiran Mutlak)

Takbiran hari raya yang tidak terikat waktu adalah takbiran yang dilakukan kapan saja, dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang dibolehkan.

Takbir mutlak menjelang idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai waktu asar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Dzulhijjah, kaum muslimin disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan, di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dst. Dalilnya adalah:

a. Allah berfirman, yang artinya: “…supaya mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)

Allah juga berfirman, yang artinya: “….Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (Qs. Al Baqarah: 203)

Tafsirnya:

* Yang dimaksud berdzikir pada dua ayat di atas adalah melakukan takbiran
* Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Yang dimaksud ‘hari yang telah ditentukan’ adalah tanggal 1 – 10 Dzulhijjah, sedangkan maksud ‘beberapa hari yang berbilang’ adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.” (Al Bukhari secara Mua’alaq, sebelum hadis no.969)
* Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, bahwa maksud “hari yang telah ditentukan” adalah tanggal 1 – 9 Dzulhijjah, sedangkan makna “beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. (Disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari 2/458, kata Ibn Mardawaih: Sanadnya shahih)

b. Hadis dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

c. Imam Al Bukhari mengatakan: “Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.969)

d. Disebutkan Imam Bukhari: “Umar bin Khatab pernah bertakbir di kemahnya ketika di Mina dan didengar oleh orang yang berada di masjid. Akhirnya mereka semua bertakbir dan masyarakat yang di pasar-pun ikut bertakbir. Sehingga Mina guncang dengan takbiran.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.970)

e. Disebutkan oleh Ibn Hajar bahwa Ad Daruqutni meriwayatkan: “Dulu Abu Ja’far Al Baqir (cucu Ali bin Abi Thalib) bertakbir setiap selesai shalat sunnah di Mina.” (Fathul Bari 3/389)

2. Takbiran yang terikat waktu

Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan shalat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Asar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut dalil-dalilnya:

a. Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau dulu bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah dluhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Al Albani)

b. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: “Shahih dari Ali radhiyallahu ‘anhu“)

c. Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya shahih)

d. Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al Hakim dan dishahihkan An Nawawi dalam Al Majmu’)

Lafadz Takbir

Tidak terdapat riwayat lafadz takbir tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafadz takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:

Pertama, Takbir Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:

أ‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
ب‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

Keterangan:
Lafadz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.

Kedua, Takbir Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ
اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا

Keterangan:
Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Syaikh Al Albani.

Ketiga, Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا

Keterangan: Ibn Hajar mengatakan: Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al Mushanaf dengan sanad shahih dari Salman.

Catatan Penting

As Shan’ani mengatakan: “Penjelasan tentang lafadz takbir sangat banyak dari berberapa ulama. Ini menunjukkan bahwa perintah bentuk takbir cukup longgar. Disamping ayat yang memerintahkan takbir juga menuntut demikian.”

Maksud perkataan As Shan’ani adalah bahwa lafadz takbir itu longgar, tidak hanya satu atau dua lafadz. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebagian ulama mengucapkan lafadz takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadis. Allahu A’lam.

Kebiasaan yang Salah Ketika Takbiran

Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbiran di hari raya, diantaranya:

a. Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan

Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)

Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.

b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara

Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.

Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.

c. Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk takbiran yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai shalat fardlu saja. Tetapi yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja.

Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbiran setelah shalat wajib dan yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)

Amal yang disyariatkan ketika selesai shalat jamaah adalah berdzikir sebagaimana dzikir setelah shalat. Bukan melantunkan takbir. Waktu melantunkan takbir cukup longgar, bisa dilakukan kapanpun selama hari raya. Oleh karena itu, tidak selayaknya menyita waktu yang digunakan untuk berdzikir setelah shalat.

d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan

Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat shalat hari raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, mengingat banyaknya orang yang meninggalkannya.

e. Bertakbir dengan lafadz yang terlalu panjang

Sebagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafadznya:

الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ…

Takbiran dengan lafadz yang panjang di atas tidak ada dalilnya. Allahu a’lam.

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

BID’AH-BID’AH SEPUTAR QIRA’AH (BACAAN AL-QUR’AN)

Oleh
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid

Fitnah (kesesatan; kesalahan) meniru suara para qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) dan mempraktekkannya di masjid-masjid di hadapan Allah adalah perkara yang dianggap bid’ah (tambahan) dalam urusan ibadah membaca qur’an . Padahal merupakan suatu hal yang dimaklumi bahwa hal meniru suara yang qaari’ yang baik bisa dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan pada zaman para sahabat Radhiyallahu 'anhum, tetapi tidak diketahui adanya di kalangan mereka yang bertaqaarub (beribadah) kepada Allah dengan meniru-niru suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga dari sini diketahui bahwa perbuatan tersebut tidak masyru’ (disyari’atkan/diajarkan) sekaligus merupakan sikap mengada-ada dalam persoalan ibadah.


BEBERAPA BID’AH PARA AHLI QIRA’AH YANG DISEBUTKAN OLEH PARA ULAMA

1. Berlebih-lebihan melafazhkan huruf, bahkan menyalahi cara dan hukum penyebutan huruf karena adanya cara bertajwid yang dibuat-buat dan bahkan dipaksa-paksakan, sehingga meleset dari bacaan yang mudah dan lurus yang sesuai dengan firman Allah:

وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلا

"Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil" [al-Muzzamil : 4]

2. Membaca al-Qur’an bukan dengan logat Arab.

3. Membaca seperti cara orang fasik dan fajir (durhaka).

4. Membaca dengan nada dan gerakan tertentu. Seperti yang dilakukan oleh sebagian pengikut Tareqat yang membaca dengan iringan tarian/dansa/joget seperti yang dilakukan di halaman masjid al-Husein di Mesir dengan ditonton oleh orang banyak.

5. Membaca dengan cara melagu. Dan bid’ah yang lebih parah dari itu jika bacaan disertai dengan alat musik.

6. Melagu serta banyak mengulang-ulangi laguan.

7. Membaca cepat seperti halnya syair.

8. Membaca dengan cepat tanpa tadabbur (memperhatikan maknanya).

9. Mengangkat suara saat membaca dengan cara yang berlebih-lebihanan. Dan inilah yang menyebabkan timbulnya cara baru yang dibuat-buat saat membaca al-Qur’an, yaitu menempelkan kedua tangan pada kedua telinga ketika membaca al-Qur’an.

10. Duduk melingkar dan bergantian dalam membaca ayat atau surah sampai bacaan selesai. Tetapi cara ini diperbolehkan saat berkumpul untuk belajar al-Qur’an.

11. Membaca al-Qur’an di menara masjid. Ini merupakan tipu daya Iblis terhadap banyak ahli qira'ah, yaitu mereka membaca al-Qur’an di menara masjid pada waktu malam dengan paduan suara yang keras sampai berjuz-juz, sehingga mereka mengganggu dan menghalangi orang lain tidur, sekaligus dapat menjerumuskan diri mereka kepada perbuatan riya’[1] Bahkan di antara mereka ada yang sengaja membaca al-Qur’an di masjid di waktu setelah adzan, karena ini merupakan waktu berkumpulnya orang-orang di masjid.

12. Qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) membaca sambil mengisap rokok, atau membaca al-qur’an di suatu majlis di mana orang-orang yang berkumpul mengisap rokok.

13. Menyibukkan diri dengan cara-cara bacaan yang syadz (nyleneh/aneh/rancu), padahal ini merupakan tipu daya Iblis terhadap mereka. Yaitu mereka menyibukkan diri dengan bacaan-bacaan seperti ini sehingga menghabiskan waktu dan umur mereka untuk mendalami, mengajarkan serta menyusun buku untuk hal itu, sehingga mereka sibuk dengan urusan qira’ah (bacaan) dan meninggalkan ilmu yang fardhu atau wajib. Sehingga anda terkadang mendapati seorang imam masjid yang sibuk dengan pengajaran cara bacaan yang syadz, padahal dia sendiri belum mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat. Bahkan terkadang sifat fanatik kejahilannya membuat dia berani dengan cepat tampil berfatwa, tetapi enggan ikut duduk menuntut ilmu di majlis ilmu yang dipimpin oleh ulama. Andaikan orang-orang seperti ini mau berfikir, niscaya mereka mengetahui bahwa yang seharusnya menjadi prioritas tujuan ialah menghafal al-Qur’an serta membenarkan cara bacaan (qira’ah), lalu memahami al-Qur’an dan mengamalkannya. Kemudian mempelajari ilmu-ilmu yang dapat memperbaiki hati dan akhlaq, serta ilmu-ilmu syari’at yang lainnya. Dan merupakan kebodohan jika seseorang menghabiskan waktunya pada hal-hal yang tidak penting. Al-Hasan Al-Bashariy berkata: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi manusia menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai pekerjaan.” Maksudnya: Mereka hanya mementingkan urusan bacaan tetapi tidak mengamalkan isi Al-Qur’an.

14. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) atau lebih pada satu ayat, di dalam shalat atau di luar shalat di tengah banyak orang. (Cara menbaca seperti ini diperbolehkan saat seorang guru menjelaskan cara-cara bacaan dalam pelajaran tafsir untuk mengetahui maksud setiap bacaan).

15. Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan bacaan ayat atau surat tertentu dalam shalat wajib atau selain shalat wajib tanpa dalil, seperti:

a. Membiasakan membaca surah al-An’am pada rekaat terakhir malam ke tujuh bulan Ramadhan dengan meyakini bahwa hal itu disunnahkan.

b. Membaca surah al-Muddatstsir, al-Muzzammil atau al-Insyraah pada malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di shalat Isya’ atau shalat Fajar.

c. Membaca surat yang menyebutkan Nabi Musa Alaihissallam pada shalat fajar hari ‘Asyura.

d. Membaca surah al-Kafiruun dan al-Ikhlash di shalat maghrib pada malam Jum’at.

e. Membaca surah al-Falaq dan an-Naas pada shalat Maghrib pada malam Sabtu.

f. Menggabung ayat-ayat tertentu untuk dibaca secara khusus pada akhir-akhir shalat tarawih.

g. Membaca ayat-ayat yang berisi do’a di malam khatam pada rekaa’at terakhir shalat tarawih setelah membaca surah an-Naas.
 h. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) dalam shalat adalah bid’ah, sama hukumnya dengan menggabung dua qira’ah saat membaca di luar shalat.
 i. Membaca surah yang di dalamnya ada ayat sajadah selain (Alif Laam Miim –Tanzil- As-Sajdah) pada shalat fajar hari jum’at karena yang disunahkan ialah: membaca pada rekaat pertama (Alif Laam Miim –Tanziil- As-Sajdah) dan (surah al-Insan) pada rekaat kedua.
 j. Menggabungkan ayat-ayat yang berisi tahlil (kalimat Laa ilaaha illa Allah) dan membacanya seperti halnya membaca surah.

16. Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan membaca suatu ayat atau surah tanpa dalil pada waktu atau tempat tertentu untuk suatu hajat. Seperti:

a. Membaca al-Fatihah dengan niat untuk hajat tertentu atau menghilangkan kesusahan.
 b. Membaca surah al-Kahfi pada hari Jum’at untuk orang-orang yang akan shalat Jum’at sebelum memulai khutbah Jum’at dengan suara yang keras.
 c. Membaca surah Yaasiin 40 kali dengan niat terpenuhinya suatu hajat.
 d. Mengkhususkan bacaan surah al-Kahfi sesudah Ashar pada hari Jum’at di masjid. (Kesalahannya karena mengkhususkan tempat dan waktu).
 e. Membaca surah Yaasin saat memandikan mayit.
 f. Membaca sepersepuluh dari al-Qur’an (oleh anak-anak dan selain anak-anak) pada malam Maulid.
 g. Membaca al-Qur’an di hadapan jenazah atau di atas kubur.
 h. Mengharuskan diri untuk senantiasa membaca al-Qur’an saat thawaf.

17. Termasuk bid’ah adalah kebiasaan para qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) atau yang mendengarkan bacaannya mengucapkan do’a-do’a atau dzikir-dzikir yang tidak ada nash dalilnya saat membaca suatu ayat atau surah. Seperti:

a. Ucapan mereka setelah membaca al-Qur’an: “al-Fatihah.”
 b. Ucapan mereka saat membaca al-Fatihah: “Shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa.”
 c. Ucapan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “al-Fatihah –Ziyaadatan Fii Syarafin Nabiyyi Shallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.”

d. Ucapan orang-orang yang mendengarkan bacaan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “Allah, Allah,” atau ucapan-ucapan lainnya yang ditujukan kepada qaari saat ia membaca, padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأِذَا قُرِىءَ القُرءَانُ فاَستمعُوا لَهُ وَأنصِتُوا لَعَلكُم تُرحَمُونَ

"Dan apabila dibacakan al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat" [al-A’raaf: 204]

e. Membiasakan ucapan: “Shadaqa Allaah ul-‘Azhiim” setelah selesai membaca al-Qur’an.

18. Bid’ah-bid’ah khatam, seperti:

a. Membaca semua ayat-ayat sajadah setelah khatam.
b. Bertahlil empat belas kali.
c. Mengadakan perayaan malam khatam.
d. Khutbah sebelum atau sesudah acara.
e. Saling berjanji untuk khatam.
f. Berteriak saat khatam.
g. Menyalakan api malam khatam

19. Termasuk bid’ah adalah membaca al-Qur’an untuk meminta-minta. Di antaranya dengan cara memutar bacaan kaset Qur’an sambil meminta-minta di gang-gang jalanan dan di toko-toko pasar.

20. Meletakkan kedua tangan di kedua telinga atau satu tangan di sebelah telinga saat membaca al-Qur’an.

21. Tujuh hal yang menyangkut khatam:

a. Penyempurnaan khatam, artinya: makmum membaca semua ayat yang ditinggalkan oleh imam, setelah itu imam kembali membaca semua ayat yang telah ia tinggalkan.
b. Menganggap bahwa disukai mengkhatam qur’an pada sore hari di musim dingin, dan di pagi hari pada musim kemarau.
c. Menyambung satu khatam dengan khatam lain dengan perantaraan/sambungan surah al-Fatihah atau dengan membaca lima ayat dari surah al-Baqarah.
d. Mengulang-ulangi surah al-Ikhlash tiga kali.
e. Bertakbir di akhir surat ad-Dhuha sampai akhir surah An-Naas di dalam shalat atau di luar shalat.
f. Puasa pada hari khatam.
g. Membaca do’a khatam dalam shalat.

TAQLID (MENIRU) SUARA QAARI’

Fitnah (kesesatan; kesalahan) meniru suara para qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) dan mempraktekkannya di masjid-masjid di hadapan Allah adalah perkara yang dianggap bid’ah (tambahan) dalam urusan ibadah membaca qur’an . Padahal merupakan suatu hal yang dimaklumi bahwa hal meniru suara yang qaari’ yang baik bisa dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan pada zaman para sahabat Radhiyallahu 'anhum, tetapi tidak diketahui adanya di kalangan mereka yang bertaqaarub (beribadah) kepada Allah dengan meniru-niru suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga dari sini diketahui bahwa perbuatan tersebut tidak masyru’ (disyari’atkan/diajarkan) sekaligus merupakan sikap mengada-ada dalam persoalan ibadah.

Padahal menurut qaidah syara’ bahwa setiap perkara ibadah yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan.

Hal inilah -pada zaman kita ini- yang membuat banyak orang berdesak-desakan mengerumuni masjid-masjid yang imamnya mempunyai prinsip seperti di atas (meniru suara para qaari’ yang terkenal). Sehingga banyak orang pada bulan Ramadhan yang bepergian dari satu negeri ke negeri lain dengan tujuan shalat tarawih di suatu masjid yang imamnya mempunyai "suara yang bagus".

Coba anda camkan baik-baik hal ini, betapa terinjak-injaknya Sunnah Nabi tentang larangan "sengaja bepergian (ke tempat yang dimuliakan-red) kecuali ke tiga masjid: Masjid Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsha".[2]

Dan di antara hal yang muncul dari perbuatan tadi:
1. Adanya perasaan tidak senang shalat di belakang imam yang tidak begitu bagus suaranya.
2. Banyaknya orang yang kehilangan khusyu’ dalam shalatnya akibat ketergantungan kepada kebagusan suara.

Dan saya menasehati setiap muslim yang membaca Kitab Allah Ta’ala, khususnya para imam masjid-masjid, agar menghentikan sifat meniru-niru dan taqlid dalam membaca kalam Allah Rabbul-Alamiin. Kalam Allah lebih mulia dan lebih besar nilainya dibanding dengan perbuatan seorang qaari’ dalam melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan secara syar’iy kepadanya.
Allah berfirman tentang perihal sifat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَمَاأَنَا مِنَ المُتَكَلفِينَ

"Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan". [Shaad: 86]

Hendaknya setiap hamba berusaha untuk menghadirkan hati dan memperbaiki niat, sehingga ia membaca al-Qur’an dengan memperbagus suaranya tanpa mengada-ada dan memaksakan diri di luar kemampuannya. Janganlah mengada-ada dengan melagu serta memaksa-maksakan bacaan serta cara baca yang dilarang.

Dan sepantasnya orang-orang yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengangkat imam masjid supaya memilih imam yang lebih memadai keilmuaanya, bertaqwa, bersifat wara’, mempunyai aqidah yang bersih dari penyakit syubhat, mempunyai perangai bersih dari penyakit syahwat, serta lebih mendahulukan yang bersuara baik.

MENGGOYANG-GOYANGKAN KEPALA DAN BADAN SAAT MEMBACA AL-QUR’AN

Yaitu bid’ah kebiasaan orang-orang Yahudi yang biasa mereka lakukan saat mereka belajar, kemudian merembet kepada anak-anak kaum muslimin, pertama-tama di Mesir. Jika mereka membaca al-Qur’an di sekolah, mereka mengerak-gerakan kepala dan melenggak-lenggok. (Seperti yang dijelaskan oleh Abu Hayyan Al-Andalusiy dan Al-Raa’iy Al-Andalusiy).

MEMILIH BACAAN AYAT-AYAT PADA SHALAT JUM’AT YANG SESUAI DENGAN PEMBAHASAN KHUTBAH

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyusun bacaan shalat Jum’at dengan tiga sunnah bacaan:
1. Surah Al-Jumu’ah dan Surah Al-Munafiqun
2. Surah Al-Jumu’ah dan surah Al-Ghaasyiyah
3. Surah Al-‘A-laa (Sabbihisma) dan surah Al-Ghaasyiyah.

Sungguh pada zaman kita ini telah terjadi adanya sikap berpaling sebagian orang dari bacaan yang disyari’atkan ini kepada pilihan pribadi imam, yaitu memilih ayat-ayat atau surah yang menurutnya sesuai dengan thema khutbah.

Cara ini tidak berasal dari sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak berasal dari pengaalan Salaful-Ummah, sehingga menjadikan cara tadi sebagai suatu kebiasaan pengamalan adalah bid’ah. Begitu pula (jika) dengan niat meninggalkan yang disyari’atkan dan mengamalkan selain yang disunnahkan untuk dijadikan sebagai cara pengamalan yang dianggap sunnah, maka sikap ini dianggap sebagai sikap ingin menyempurnakan syariat (yang seakan-akan belum sempurna), meninggalkan yang masyru’, menganggap cara tadi sunnah serta membuat orang-orang awam terkecoh dengan cara-cara seperti itu, Wallahu a’lam.

MELAFAZHKAN AYAT-AYAT TERTENTU SAAT BERKHUTBAH DENGAN NADA SUARA BERUBAH-UBAH

Di antara hal-hal yang diada-adakan oleh para penceramah dan sebagian khatib pada zaman ini ialah merubah-ubah suara saat membaca ayat-ayat al-Qur’an untuk mengatur suaranya saat berceramah atau berkhutbah.

Cara ini tidak dikenal dari ulama-ulama salaf terdahulu, dan juga para ulama yang mempunyai banyak pengikut. Dan anda tak menjumpainya di kalangan ulama-ulama yang mulia yang diakui pada zaman kita, bahkan mereka menghindari cara bacaan seperti ini, dan banyak hadirin yang mendengarkan bacaan itu yang merasa tidak suka. Cara membacanyapun berbeda-beda, dan semua cara yang salah tidak diperhitungkan, sebagaimana tidak diperhitungkannya orang yang menyalahi metode periode awal umat ini dan ulama salaf.

[Ringkasan kitab Bida’ul Qura’ Al-Qadimah wal Mu’ashirah karya Syeikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, diringkas oleh M. Dahri]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Sebagaimana banyak dilakukan di masjid-masjid kaum muslimin di negeri ini, yang mereka membaca Al-Qur’an lewat pengeras suara masjid sebagai ganti di menara, ini tentulah lebih mengganggu tidur orang lain daripada sekedar membaca di menara. Wallahu Musta’an-Red
[2]. Lihat majalah Sunnah edisi 11/Th.IV/1421-2000, hal:52-54-Red]

Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Doa Berbuka Puasa yang Shahih

Masyhur, tak selamanya jadi jaminan. Begitulah yang terjadi pada “doa berbuka puasa”. Doa yang selama ini terkenal di masyarakat, belum tentu shahih derajatnya.

Terkabulnya doa dan ditetapkannya pahala di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dari setiap doa yang kita panjatkan tentunya adalah harapan kita semua. Kali ini, mari kita mengkaji secara ringkas, doa berbuka puasa yang terkenal di tengah masyarakat, kemudian membandingkannya dengan yang shahih. Setelah mengetahui ilmunya nanti, mudah-mudahan kita akan mengamalkannya. Amin.

Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat

Lafazh pertama:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت

”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”

Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:


عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”[1]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, dan dinilai dhaif oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud.

Penulis kitab Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan menuturkan, “(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud berkata, ‘Musaddad telah menyebutkan kepada kami, Hasyim telah menyebutkan kepada kami dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya dia menyampaikan, ‘Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.’”[2]

Mua’dz ini tidaklah dianggap sebagai perawi yang tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkan tentangnya di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi’in min Ar-Rawah, sebagaimana al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib (8/224).[2]
Dan seperti kita tahu bersama bahwa Ibnu Hibban dikenal oleh para ulama sebagai orang yang mutasahil, yaitu bermudah-mudahan dalam menshohihkan hadits-ed.

Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if.[3]

Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if.[4]
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.[5]

Lafazh kedua:


اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت

“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).”

Mulla ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan ‘wa bika aamantu‘ adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.”[6]
Artinya do’a dengan lafazh kedua ini pun adalah do’a yang dho’if sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a tersebut.

Berbuka Puasalah dengan Doa-doa Berikut Ini

Do’a pertama:

Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah-ed.”
[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami’: 4/209, no. 4678) [7]

Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, “Abdullah bin Umar berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan ….‘”

Yang dimaksud dengan إذا أفطر adalah setelah makan atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah “membatalkan” puasanya (berbuka puasa, pen) pada waktunya (waktu berbuka, pen). Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka. Sebelum makan tetap membaca basmalah, ucapan “bismillah” sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)

Adapun ucapan وثبت الأجر maksudnya “telah hilanglah kelelahan dan telah diperolehlah pahala”, ini merupakan bentuk motivasi untuk beribadah. Maka, kelelahan menjadi hilang dan pergi, dan pahala berjumlah banyak telah ditetapkan bagi orang yang telah berpuasa tersebut.

Do’a kedua:

Adapun doa yang lain yang merupakan atsar dari perkataan Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma adalah,


اَللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، أنْ تَغْفِرَ لِيْ

“Allahumma inni as-aluka bi rohmatikal latii wasi’at kulla syain an taghfirolii-ed”
[Ya Allah, aku memohon rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang dengannya engkau mengampuni aku](HR. Ibnu Majah: 1/557, no. 1753; dinilai hasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk kitab al-Adzkar; lihat Syarah al-Adzkar: 4/342) [8]


[1] Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Kitab ash-Shaum, Bab al-Qaul ‘inda al-Ifthar, hadits no. 2358.
[2] Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, hlm. 74-75.
[3] Lihat Irwaul Gholil, 4/38-ed.
[4] Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38-ed.
[5] Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45-ed.
[6] Mirqotul Mafatih, 6/304-ed.
[7] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 176.
[8] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 177.

Referensi:
Irwaul Gholil fii Takhrij Ahadits Manaris Sabil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami, cetakan kedua, 1405 H
Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Mala ‘Ali Al Qori, Asy Syamilah.
Syarah Hisnul Muslim, Majdi bin ‘Abdul Wahhab al-Ahmad, Disempurnakan dan Dita’liq oleh Penulis Hisnul Muslim (Syekh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani).
Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Syekh Muhammad Nashirudin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://s203841464.onlinehome.us/waqfeya/books/22/32/sdsunnd.rar)
Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, Syekh Abdullah Muhammad al-Hamidi, Dar Ibnu Hazm, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://ia311036.us.archive.org/0/items/waq57114/57114.pdf)
Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Tahqiq: Syaikh ‘Abdul Qodir ‘Arfan, Darul Fikr, cetakan pertama, 1424 H (jilid kedua).

Penulis: Ummu Asiyah Athirah
Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslimah.or.id
Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com
 

blogger templates | Make Money Online