Kamis, 31 Maret 2011

Amalan yang Bermanfaat Bagi Mayit

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

(QS. An Najm: 39).

Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.[1]
Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.

Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.

Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.

Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit

Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”[2]

Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.”[3] Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.

Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”

Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ

“Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[4] Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.

Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.[5]

Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit

Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[6] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[7].

Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya

Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ

“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

اقْضِهِ عَنْهَا

“Tunaikanlah nadzar ibumu.”[8]

Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.”[9] Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.

Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[10]

Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit

Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.[11] Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”[12]

Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”

Beliau rahimahullah menjawab:

Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,

خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”

Ibnu Mas’ud mengatakan,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ

“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”

Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.

Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.

Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.

Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah-[13]

Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.

Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,

إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. ”

Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.”[14]

Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ

“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).”

Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ

“Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.”[15]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjawab sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar dalam musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]

Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu).

Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan ma’tam.”[16]

Demikian pembahasan kami mengenai berbagai amalan yang dapat bermanfaat bagi si mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

***

Disusun di Pangukan, Sleman, Kamis, 3 Dzulqo’dah 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 821, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H

[2] Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 851.

[3] HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’.

[4] HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619

[5] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/2, Mawqi’ Al Islam

[6] HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147

[7] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525

[8] HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638

[9] HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[10] HR. Muslim no. 1631

[11] Majmu’ Al Fatawa, 24/314, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H

[12] HR. Bukhari no. 2756

[13] Majmu’ Al Fatawa, 24/321-323.

[14] Majmu’ Al Fatawa, 24/317.

[15] Majmu’ Al Fatawa, 24/316-317.

[16] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/211, Asy Syamilah

Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Senin, 28 Maret 2011

Hukum Asuransi Pendidikan..??

Pertanyaan:


Assalamualaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh,

Ada satu pertanyaan mengenai masalah asuransi (apapun jenis dan macamnya serta merk produknya), termasuk asuransi pendidikan. Yang saya minta kejelasan hukum syar'i nya, karena sampai saat ini ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai halal atau haramnya disertai dengan alasannya masing masing.

Wasallamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh,

Hormat Kami,
Budi – Ciamis Jawa Barat

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,

Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam kepada Rasulullah. Amma ba’du.

Asuransi adalah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan.

Dari penjelasan ini nyata bahwa di dalam perjanjian asuransi itu ada unsur:
1. Bentuk dan jumlah jaminan yang akan diberikan pihak perusahaan asuransi.
2. Bahaya atau musibah yang terjadi.
3. Angsuran atau pembayaran yang dibayar oleh nasabah.

Dilihat dari bentuk dan tujuannya, asuransi ada dua jenis:

Pertama: At-Ta’miin at-Tijaariy
Asuransi yang bertujuan mencari keuntungan, atau asuransi yang dijadikan usaha, asuransi yang memiliki angsuran yang pasti. Angsuran ini otomatis menjadi milik perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi musibah -atau apa yang disepakati. Jika jumlah pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang angsuran, maka itu ditanggung oleh perusahaan, dan merupakan kerugiannya. Jika tidak terjadi musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan tanpa ganti apapun. Dan ini merupakan keuntungannya. Inilah asuransi yang dibicarakan di sini. Dan ini terlarang karena bersifat spekulasi yang merugikan salah satu pihak.

Macam-Macam Asuransi Tijari
At-Ta’miin at-Tijaariy, asuransi yang bertujuan mencari keuntungan sangat banyak macanya, antara lain:

1) Asuransi Kecelakaan
Asuransi jenis ini dilakukan pada harta-harta yang dimiliki, seperti asuransi pencurian, asuransi kebakaran, dan semacamnya. Juga dilakukan pada pertanggungan jawab nasabah, seperti asuransi kecelakaan kendaraan, asuransi kecelakaan kerja, dan semacamnya.

2) Asuransi Pribadi
Yaitu asuransi dari bahaya-bahaya yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, di sisi kehidupannya, kesehatannya, atau keselamatannya. Hal ini meliputi asuransi jiwa dan asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan.

3) Asuransi Jiwa
Yaitu perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada nasabah atau kepada orang ke tiga, sebagai ganti angsuran-angsuran yang diberikan, ketika matinya nasabah, atau tetap hidupnya nasabah sampai umur tertentu.

Kedua: At-Ta’miin at-Ta’aawuniy
Atau juga disebut at-Ta’miin at-Tabaaduliy atau at-Ta’miin al-Islamiy. Yaitu asuransi gotong-royong atau asuransi yang sesuai dengan agama Islam. Ini tidak bertujuan mencari keuntungan, namun hanyalah bentuk tolong menolong di dalam menanggung kesusahan. Contohnya: sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang, dengan uang ini mereka membantu orang yang terkena musibah. Perusahaan asuransi islam ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah. Demikian juga uang yang dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun milik bersama. Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan bantuan.
Selain itu ada jenis asuransi yang lain, yaitu:

Ketiga: At-Ta’miin al-Ijtima’iy (jaminan keamanan sosial)
Hal ini juga tidak mencari keuntungan, dan bukan asuransi khusus pada seseorang yang khawatir musibah tertentu. Tetapi ini bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang. Seperti yang dilakukan oleh negara-negara terhadap para pegawainya, yang dikenal dengan istilah peraturan pensiun. Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dengan prosentase tertentu, dan ketika telah sampai masa pensiun, uang tersebut diberikannya dalam bentuk gaji pensiun bulanan, atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk membantu kehidupannya. Bahkan jenis ini sebenarnya tidaklah termasuk asuransi. Hal ini tidak mengapa, asalkan tidak disimpan di bank yang menjalankan riba.

Dengan demikian, jika asuransi yang Saudara maksudkan adalah asuransi yang bersifat gotong royong [at-Ta`min at-Ta'awuniy] atau asuransi jaminan keamanan social [at-Ta`min al-Ijtima'iy], maka dua jenis asuransi ini hukumnya boleh. Dan jika yang dimaksud adalah asuransi yang bersifat hanya mencari keuntungan semata [at-Ta`min at-Tijariy], maka asuransi jenis ini dengan segala bentuknya, hukumnnya haram, karena di dalamnya ada unsur spekulasi, judi dan riba serta mengambil hak orang lain.

Dan untuk lebih jelasnya, silahkan simak pembahasan tentang permasalahan ini secara lengkap di rubrik analisa www.alsofwah.or.id. [Tim Rubrik Konsultasi]

Sumber: Jawaban disabur dari artikel yang di rilis di www.ekonomisyariat.com
Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Senin, 14 Maret 2011

Wala' Wal Bara Dan Solidaritas Yang Tidak Tepat


Oleh

Ustadz Abu ‘Ashim bin Musthofa

Ada tudingan miring kepada Salafiyyin, orang-orang yang mengikuti manhaj Salaf, bahwa mereka tidak peduli terhadap kondisi kaum Muslimin yang dipecundangi musuh, cenderung anti jihad dan terkesan menggembosi. Hanya berkutat dengan Al Qur'an, Hadits, hukum-hukum dan caci maki terhadap golongan-golongan kaum pergerakan. Tak peduli terhadap perjuangan kaum Muslimin, bahkan memojokkannya.

Untuk menguji tudingan itu, perlu kajian mendalam berkaitan dengan salah satu sisi penting penerapan wala' wal bara'. Sebab pemahaman wala' wal bara' secara salah bisa melahirkan tindakan fatal. Kesetiakawanan diberikan secara membabi buta. Dan permusuhanpun dilakukan secara brutal. Tak heran, kalau kemudian sebagian kaum muslimin terburu-buru membuat kesimpulan, misalnya ajakan memboikot produk-produk Amerika. Padahal antara produk dengan orang yang memproduksi tidak mesti mempunyai konsekuensi hukum yang sama. Mestinya ada pemilahan berdasarkan petunjuk syari'at. Tidak itu saja, bahkan sampai menghalalkan tindakan anarkis. Na'udzubillah.

Sebagai prolog, perlu diingat sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Shahih Muslim.

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ : مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ ِممَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَيُحِبُّهُ إِلاَّ للهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِى الْكُفْرِ بَعْدَ أنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. (رواه البخاري/ كتاب الإيمان- باب حلاوة الإيمان – رقم : 16 –الفتح 1/60 ؛ ومسلم/ كتاب الإيمان- باب بيان خصال من اتصف بهن وجد حلاوة الإيمان - شرح النووى بتحقيق وتخريج خليل مأمون شيحا 1/204 رقم : 163)

Ada tiga perkara, yang apabila ketiganya ada pada diri seseorang, maka ia akan mendapatkan rasa manisnya iman. Yaitu: apabila Allah dan RasulNya lebih ia cintai daripada yang selain keduanya, apabila ia menyintai seseorang, namun ia tidak menyintainya kecuali karena Allah. Dan apabila ia membenci untuk kembali ke dalam kekafiran sesudah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, seperti halnya ia membenci jika ia dilemparkan ke dalam api. [HR Bukhari dan Muslim] [1]

Hadits ini menunjukan, rasa manisnya iman akan diperoleh apabila: Allah dan RasulNya adalah yang paling dicintai daripada selainnya. Seseorang dicintai hanya karena Allah. Dan sangat tidak menyukai jika kembali ke dalam kekafiran.

Dari sini dapat difahami, penerapan wala' wal bara' semakin sempurna, manakala ukuran dan standarnya hanyalah semata-mata karena Allah, sesuai dengan ketetapan-ketetapan serta adab-adab yang digariskan oleh Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan mengikuti pemahaman dan manhaj Salaf.

SISI PENTING YANG TERABAIKAN
Adalah hal yang tidak dapat dipungkiri, diantara kewajiban muslim adalah memberikan wala', loyalitas, kesetiakawanan dan solidaritas kepada sesama muslim serta memusuhi musuh umat Islam. Sebab, itulah salah satu prinsip ajaran aqidah Islam. Maka seorang muslim wajib mencintai serta memiliki loyalitas kepada orang-orang yang bertauhid dan ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Sebaliknya, seorang muslim juga wajib membenci dan memusuhi Ahli Syirik. Prinsip ini merupakan millah (agama) Nabi Ibrahim serta nabi-nabi lainnya 'alaihimush shalatu was salam yang kita diperintahkan untuk mengikutinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dia (para nabi lain, Pen); ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkari kamu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. [Al Mumtahanah:4]

Demikian ini juga merupakan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

َياأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi walimu (orang yang kamu kasihi/dukung); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. [Al Ma'idah:51].

Ayat di atas, secara khusus merupakan pengharaman untuk memberikan loyalitas kepada Ahlul Kitab; Yahudi dan Nasrani. Sementara, berkaitan dengan haramnya menjalin kasih sayang dan memberikan loyalitas kepada orang kafir secara umum, tertuang dalam firman Allah seperti berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu sebagai wali (teman-teman setia). [Al Mumtahanah:1].

Bahkan sekalipun orang kafir itu adalah kerabat dekat, haram pula ber-wala' kepada mereka. FirmanNya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّخِذُوا ءَابَآءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَآءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى اْلإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak kamu dan saudara-saudara kamu menjadi wali(mu) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. [At Taubah:23].

Dan ayat-ayat lain yang senada. [2].

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan: Seperti halnya Allah mengharamkan kaum Mu'minin memberikan kesetiakawanan kepada orang-orang kafir, musuh-musuh Islam; maka sebaliknya, Allah memerintahkan supaya seorang muslim memberikan loyalitas, kecintaan dan kesetiakawanan kepada kaum Mu'minin. Misalnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ

Sesungguhnya wali (pelindung dan penolong) kamu adalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, membayarkan zakat seraya mereka tunduk (ruku') kepada Allah. Dan barangsiapa yang menjadikan Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman sebagai wali (penolong dan pelindung)nya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang. [Al Ma'idah:55, 56].

Begitu pula firman Allah:

مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ

Muhammad adalah Rasul Allah. Dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, namun saling berkasih-sayang diantara sesama mereka. [Al Fath : 29].

Dan ayat-ayat senada lainnya.

Jadi kaum Mu'minin adalah bersaudara, persaudaraan seagama dan seakidah, meskipun berlainan keturunan, berjauhan negeri dan berjauhan zaman. [3]

Namun bagaimanakah semestinya al wala' wal bara' diterapkan? Sebelum membahas secara ringkas bagaimana wala' kepada kaum Mu'minin, terlebih dahulu akan dibahas tentang bentuk wala' kepada orang-orang kafir, supaya kaum muslimin berhati-hati. Meskipun hanya sebagian kecil yang akan dibahas, namun banyak dilakukan kaum Muslimin.

Tidak sedikit umat Islam yang terlibat dalam dunia pergerakan, dengan semangatnya menuntut orang lain supaya memusuhi dan bara' kepada orang kafir; tetapi tanpa disadari, dalam banyak hal, justeru mereka terjebak pada sikap loyal kepada orang-orang kafir atau kepada prinsip-prinsip orang kafir.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjelaskan, diantara bentuk loyalitas dan kecenderungan serta kecintaan kepada orang kafir adalah bertasyabbuh (menyerupai) dengan mereka, baik dalam tata cara berpakaian, berpenampilan, berkata dan lain sebagainya. Sebab bertasyabbuh dengan mereka dalam hal berpakaian, berkata dan lain-lain menunjukkan adanya kecintaan (kekaguman) dari pihak yang ber-tasyabuh kepada yang diserupai (ditiru). Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (أخرجه أبو داود)

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk kelompok mereka (HSR Abu Dawud dan lain-lain). [4]

Oleh karenanya, haram hukumnya menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khusus mereka, baik berkaitan dengan kebiasaan, peribadatan, akhlak maupun budi pekerti. Misalnya memotong jenggot, memanjangkan kumis, bercakap-cakap dengan bahasa orang kafir kecuali jika dibutuhkan, gaya berpakaian, tata cara makan, minum dan sebagainya. [5]

Hal senada juga dikemukakan oleh para ulama besar lainnya, misalnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau mengatakan: "Mengikuti penampilan lahiriyah, akan menimbulkan kesamaan dan kesesuaian antara dua orang yang saling bertasyabbuh. Akhirnya akan membawa pada sikap sepakat dalam akhlak dan perbuatan". [6]

Kenyataan yang banyak kita saksikan, diantara orang yang menyerukan anti kekafiran dan membenci orang kafir, dalam banyak hal, justeru terjerumus ke dalam tasyabbuh dengan orang-orang kafir, baik dalam masalah keduniaan maupun dalam masalah keagamaan. Gaya hidup lahiriyah misalnya, banyak dipicu oleh kekaguman akan kegagahan atau kemewahan dunia Barat. Model perjuangan dengan unjuk rasa (demonstrasi), perusakan-perusakan, amuk massa -asal berhadapan dengan aparat, maka dianggap musuh- dan bahkan peledakan-peledakan. Adakah cara-cara demikian dilakukan oleh pendahulu umat Islam? Pernahkah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan tuntunan demikian? Itukah yang dinasihatkan oleh para ulama Ahlu Sunnah? Bukankah cara-cara seperti itu merupakan cara-cara latah belaka? Cara-cara yang sengaja atau tidak, mengadopsi dari prinsip-prinsip diluar Islam, disebabkan oleh luapan semangat atau amarah yang tidak terkendali sesuai aturan syari'at? Di sini, loyalitas dan permusuhan; wala' wal bara' menjadi tidak jelas dan kabur.

Nash-nash Al Qur'an maupun Hadits telah memberitakan adanya kenyataan, bahwa ada sebagian umat ini yang akan bertasyabbuh dan mengikuti tata cara umat sebelumnya. Berita nyata ini berfungsi sebagai peringatan kepada umat, supaya berhati-hati, jangan sampai meniru-niru orang kafir, baik Ahlul Kitab maupun lainnya; bukan sebagai pembenar untuk menghalalkan tasyabbuh dengan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, misalnya, membawakan ayat tentang adanya tasyabbuh sebagian umat Islam dengan Ahlul Kitab dalam hal keduniaan maupun keagamaan, dengan membawakan dalil dari surat At Taubah yang menceritakan keadaan golongan kaum munafik. Penggalan ayat tersebut adalah sebagai berikut.

كَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالاً وَأَوْلاَدًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلاَقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُم بِخَلاَقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُم بِخَلاَقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا

(Keadaan kamu hai orang-orang munafik adalah) seperti keadaan orang-orang yang sebelum kamu. Mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda serta anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu telah menikmati bagiannya. Dan kamu mempercakapkan hal-hal bathil sebagaimana mereka mempercakapkannya. [At Taubah:69].

Secara garis besar, Syaikhul Islam menjelaskan, bahwa sebagian umat Islam ini bersenang-senang menikmati dunia sebagiaman halnya kaum Bani Israil. Disamping itu, sebagian umat inipun terlibat dalam membuat kebatilan sebagaimana dahulu Bani Israil.

Bersenang-senangnya sebagian umat ini dalam urusan dunia, merupakan isyarat bahwa mereka suka mengikuti nafsu syahwat. Sedangkan keterlibatan mereka dalam mengada-adakan kebatilan merupakan isyarat bahwa mereka mengikuti syubhat-syubhat (yaitu perkara-perkara yang menjadikan terjungkirnya cara pandang dan keyakinan). Hal itu persis seperti yang dilakukan oleh Bani Israil. [7]

Sebagai kesimpulannya, bara', berarti memberikan permusuhan dan berlepas diri dari orang kafir meliputi sikap tidak bertasyabbuh dengan mereka dalam segala hal.

WALA' KEPADA KAUM MU'MININ
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan dalam Majmu' Fatawa : Wajib bagi mu'min (bila memberikan permusuhan), hendaknya memberikan permusuhan karena Allah. Dan (bila memberikan loyalitas, Pen) hendaknya memberikan loyalitas karena Allah. Apabila terdapat seorang mu'min lain, maka mu'min pertama wajib memberikan kasih-sayang dan loyalitas kepada mu'min lain itu, meskipun ia menzhaliminya. Sebab kezhaliman semacam itu tidak memutuskan tali loyalitas imaniyah (keimanan). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا – الآية -إلى قوله تعالى- إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min saling berperang, maka damaikanlah diantara keduanya …-sampai dengan firman Allah Ta'ala- (artinya): Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara. [Al Hujurat:9,10].

Pada ayat itu Allah menjadikan kaum mu'minin tersebut bersaudara, meskipun ada peperangan dan tindakan melampaui batas. Sekaligus Allah memerintahkan agar mereka bisa berdamai kembali. Maka seorang mu'min hendaknya merenungkan adanya perbedaan antara dua macam keadaan ini (keadaan persaudaraan di satu sisi dan keadaan peperangan di sisi lain, Pen). Sebab, seringkali satu sama lain menjadi tidak jelas.

Hendaknya Anda memahami, bahwa Anda wajib memberikan kasih-sayang, pembelaan dan loyalitas kepada orang mu'min, meskipun ia mezhalimi dan memusuhi Anda. Sebaliknya, Anda wajib memusuhi orang kafir, sekalipun ia suka memberi dan berbuat baik kepada Anda. Sesungguhnya, Allah l mengutus rasul-rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya dengan maksud, supaya agama menjadi agama Allah semuanya (maksudnya supaya tidak ada agama lain selain agama Allah, Pen). Sehingga kecintaan hanya diberikan kepada wali-wali (orang-orang yang dicintai)Nya, dan siksa diberikan kepada musuh-musuhNya.

Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya: Apabila pada diri satu orang terdapat kebaikan dan keburukan, kejahatan, ketaatan dan kemaksiatan, serta terdapat sunnah dan bid'ah, maka ia berhak mendapat kasih-sayang dan pahala sesuai dengan ukuran kebaikannya. Namun sekaligus berhak mendapat permusuhan dan siksa sesuai dengan ukuran keburukannya.

Jadi, bisa saja pada diri satu orang terdapat hal-hal yang menyebabkan ia harus mendapat penghormatan dan sekaligus penghinaan. Sebagai contoh, seorang pencuri yang miskin. Di satu sisi ia dipotong tangannya, namun pada sisi lain ia mendapat santunan dari Baitul Mal sesuai dengan kebutuhan yang dapat mencukupinya. Inilah prinsip yang telah menjadi kesepakatan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. [8]

Apa yang dikemukakan Syaikhul Islam di atas memberikan pengertian bahwa wala' kepada sesama muslim tidak berarti harus total, mutlak dan habis-habisan. Harus dilihat sejauh mana kadar keimanan seseorang dan kadar kebaikannya. Ini persoalan yang sangat logis dan tidak bertentangan dengan fitrah. Dan memang, demikian itulah tuntunan syari'at. Orang fasik dibenci sesuai dengan kefasikannya. Begitu pula Ahlu Bid'ah. Tidak ada wala' kepada Ahlu Bid'ah, kecuali karena ia masih sebagai muslim. Bahkan permusuhan kepada Ahlu Bid'ah akan lebih sengit daripada kepada ahli maksiat yang bukan Ahli Bid'ah.

Itulah sebabnya Syaikhul Islam menjelaskan: Ini merupakan alasan hakiki bagi apa yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf dan para imam, bahwa "para juru dakwah bid'ah yang mendakwahkan bid'ah-bid'ahnya, tidak diterima kesaksiannya, tidak boleh berma'mum kepada mereka dalam shalat, tidak boleh mengambil ilmu dari mereka, dan tidak boleh menikahkan dengan mereka.

Demikian ini dilakukan sebagai hukuman bagi mereka supaya berhenti dari kegiatan menyebarkan bid'ah. Karena itu, ada pembedaan antara Ahlu Bid'ah yang da'i dengan yang bukan da'i. Sebab Ahlu Bid'ah yang da'i, memunculkan kemungkaran-kemungkaran. Karenanya perlu mendapat hukuman. Berbeda dengan orang yang menyembunyikan bid'ahnya, ia tidak lebih buruk dari orang-orang munafik, yang oleh Nabi n tetap diterima keadaan lahiriah mereka, sedangkan rahasia batin mereka diserahkan kepada Allah. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui keadan kebanyakan para munafik itu.

Oleh sebab itulah, ada hadits yang menjelaskan, bila kemaksiatan masih tersembunyi, ia tidak akan membahayakan pihak lain. Akan tetapi, bila (kemaksiatan) sudah disebar luaskan kemudian tidak diingkari, maka akan membahayakan masyarakat umum. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ الَّناسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوْهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ (رواه أحمد)

Sesungguhnya manusia bila melihat kemungkaran tetapi tidak mau merubahnya, maka sudah dekat saatnya Allah akan menimpakan hukuman siksa secara merata. [HR. Ahmad, lihat Shahih Jami’ Shagir no. 1974] [9].

Manakah ada kemungkaran yang lebih besar daripada bid'ah kecuali syirik? Namun dalam kaitannya dengan hajr (tindakan isolasi) terhadap Ahlu Bid'ah atau orang-orang fasik, tetap harus melihat maslahat dan mafsadat. Jika dengan tindakan mengisolasi Ahlu Bid'ah berakibat maslahat, misalnya kegiatan bid'ah jadi melemah, maka tindakan itu disyari'atkan. Tetapi jika tidak membawa maslahat, maka tindakan itu tidak disyari'atkan. Seperti yang diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pada Majmu' Fatawa, juz 28 halaman 206 dan seterusnya.

Kesimpulannya, meski seseorang adalah seorang muslim, namun jika tindakannya menyimpang dari aturan syari'at, atau Ahlu Bid'ah, apalagi menyebar luaskan bid'ah, atau mengajarkan faham-faham yang salah, walaupun mengatas-namakan dakwah dan perjuangan, tetap tidak berhak mendapatkan kasih-sayang, pembelaan, dukungan dan loyalitas yang diharapkan. Bahkan perlu ditentang. Yang berhak mendapat pembelaan, kasih-sayang serta loyalitas yang sempurna adalah Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Musa Aal Nasr, ketika beliau memberikan keterangan tentang cara meraih kemenangan. Beliau berkata,”Harus memberikan wala'; kasih-sayang, pembelaan, kesetiakawanan dan kecintaan kepada Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, serta memberikan permusuhan kepada para pengikut hawa nafsu dan Ahli Bid'ah." [10]

Demikianlah sekelumit permasalahan wala' wal bara' dan solidaritas dengan sesama kaum Muslimin. Bila kaum Muslimin kembali kepada ajaran Al Qur'an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, niscaya hubungan akan harmonis dan indah. Kapankah itu terwujud?

Wallahu al Musta'an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[*] Wala' berarti kecintaan, kesetiakawanan, loyalitas dan ma'na senada lainnya. Bara' berarti berlepas diri, memberikan permusuhan dan memberikan kebencian.
[1]. Lihat Fathul Bari (I/60), no. 16 dan Syarh Nawawi, tahqiq dan takhrij: Khalil Ma'mun Syiha (I/204) no. 163 Kitab Al Iman, Bab Bayan Khishal Man Ittashafa Bihinna Wajada Halawah Al Iman.
[2]. Lihat hal ini, misalnya pada risalah kecil, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berjudul Al Wala' Wal Bara' Fil Islam, Daar Al Wathan, 1411 H, hlm. 3, 4.
[3]. Lihat risalah kecil, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berjudul Al Wala' Wal Bara' Fil Islam, Daar Al Wathan, 1411 H, hlm. 5,6 dengan bahasa bebas dan ringkas.
[4]. Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud. Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud mengatakan,”Hasan shahih.” (II/503-504), no. 4031. Begitu pula dalam Shahih Al Jami' Ash Shaghir, no.2.831 dan 6.149
[5]. Lihat risalah kecil, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berjudul Al Wala' Wal Bara' Fil Islam, Daar Al Wathan, 1411 H, hlm. 7
[6]. Lihat Fathu Al Mu'in Fi At Ta'liq 'Ala Iqtidha' Ash Shirath Al Mustaqim, ta'lif Syaikhul Islam Ibni Taimiyah, yang dita'liq (diberi catatan keterangan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin t , dan haditsnya ditakhrij oleh Mahmud bin Al Jamil, hlm. 34 dan seterusnya. Penerbit Daar Al Jauzi, Cet. I-1423 H/2002 M.
[7]. Diambil kesimpulan secara garis besar dari Fathu Al Mu'in Fi At Ta'liq 'Ala Iqtidha' Ash Shirath Al Mustaqim, ta'lif Syaikhul Islam Ibni Taimiyah, yang dita'liq (diberi catatan keterangan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t , dan haditsnya ditakhrij oleh Mahmud bin Al Jamil, hlm. 51-54. Penerbit Daar Al Jauzi, Cet. I-1423 H/2002 M. Silahkan lihat.
[8]. Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, Juz 28 hlm. 208-210, dengan terjemah bebas dan ringkas.
[9]. Lihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, juz 28 hlm. 205 dan seterusnya. Diterjemahkan secara bebas dan ringkas].
[10]. Lihat Al Qaul Al Matin Fi 'Awamil An Nashri Wa At Tamkin, Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Aal Nasr, hlm. 17-18

Diublikasikan kembali oleh budhyanto.blogsot.com

Tawassul, Ibadah Agung yang Banyak Diselewengkan

Keutamaan tawassul sebagai ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam, telah banyak dipahami oleh kaum muslimin, akan tetapi mayoritas mereka justru kurang memahami perbedaan antara tawassul yang benar dan tawassul yang menyimpang dari Islam. Sehingga banyak di antara mereka yang terjerumus melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari aqidah tauhid, dengan mengatasnamakan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai tawassul yang dibenarkan.

Kenyataan pahit ini semakin diperparah keburukannya dengan keberadaan para tokoh penyokong bid’ah dan syirik, yang mempropagandakan perbuatan-perbuatan sesat tersebut dengan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi orang-orang yang mengamalkannya.

Bahkan, mereka mengklaim bahwa tawassul syirik dengan memohon/ berdoa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mereka anggap shaleh adalah bukti pengagungan dan kecintaan yang benar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang shaleh tersebut. Dan lebih daripada itu, mereka menuduh orang-orang yang menyerukan untuk kembali kepada tawassul yang benar sebagai orang-orang yang tidak mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang shaleh, serta merendahkan kedudukan mereka.

Inilah sebabnya, mengapa pembahasan tentang tawassul sangat penting untuk dikaji, mengingat keterkaitannya yang sangat erat dengan tauhid yang merupakan landasan utama agama Islam dan ketidakpahaman mayoritas kaum muslimin tentang hakikat ibadah yang agung ini.

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengungkapkan hal ini dalam kata pengantar buku beliau “Kaifa Nafhamu At-Tawassul (Bagaimana Kita Memahami Tawassul)”, beliau berkata, “Sesungguhnya pembahasan (tentang) tawassul sangat penting (untuk disampaikan), (karena) mayoritas kaum muslimin tidak memahami masalah ini dengan benar, disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap hakikat tawassul yang diterangkan dalam al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara jelas dan gamblang.

Dalam buku ini, aku jelaskan tentang tawassul yang disyariatkan dan tawassul yang dilarang (dalam Islam) dengan meyertakan argumentasinya dari al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, agar seorang muslim (yang membaca buku ini) memiliki ilmu dan pengetahuan yang kokoh dalam apa yang diucapkan dan diserukannya, sehingga tawassul (yang dikerjakan)nya sesuai dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan doa (yang diucapkan)nya dikabulkan Allah Subhanahu wa Ta’ala (insya Allah).

Dan juga agar seorang muslim tidak terjerumus dalam perbuatan syirik yang bisa merusak amal kebaikannya karena kebodohannya, sebagaimana keadaan sebagian dari kaum muslimin saat ini, semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada mereka.” (Kitab Kaifa Nafhamu At-Tawassul, hal. 3).

Definisi tawassul dan hakikatnya

Secara bahasa, tawassul berarti menjadikan sarana untuk mencapai sesuatu dan mendekatkan diri kepadanya (lihat kitab An-Nihayah fi Ghariibil Hadiitsi wal Atsar, 5/402 dan Lisaanul ‘Arab, 11/724).

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Arti tawassul adalah mengambil wasiilah (sarana) yang menyampaikan kepada tujuan. Asal (makna)nya adalah keinginan (usaha) untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.” (Kutubu wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin, 79/1).

Maka arti “ber-tawassul kepada Allah” adalah melakukan suatu amalan (shaleh untuk mendekatkan diri kepada-Nya (lihat kitab Lisaanul ‘Arab, 11/724).

Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan/ sarana untuk mendekatkan diri) kepada-Nya, serta berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maaidah: 35).

Beliau berkata, “Wasiilah adalah sesuatu yang dijadikan (sebagai sarana) untuk mencapai tujuan.” (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 2/73).

Inilah hakikat makna tawassul, oleh karena itu Imam Qotadah al-Bashri (beliau adalah Qatadah bin Di’aamah as-Saduusi al-Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409]) menafsirkan ayat di atas dengan ucapannya, “Artinya: dekatkanlah dirimu kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengamalkan perbuatan yang diridhai-Nya.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, 2/73).

Imam ar-Raagib al-Ashfahani ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Hakikat tawassul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah memperhatikan (menjaga) jalan (agama)-Nya dengan memahami (mempelajari agama-Nya) dan (mengamalkan) ibadah (kepada-Nya) serta selalu mengutamakan (hukum-hukum) syariat-Nya yang mulia.” (Kitab Mufraadaatu Ghariibil Quran, hal. 524).

Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa makna tawassul inilah yang dikenal dan digunakan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman mereka (lihat kitab Qaa’idatun Jaliilah fit Tawassul wal Wasiilah, hal. 4).

Pembagian tawassul

Secara garis besar, tawassul terbagi menjadi dua, yaitu tawassul yang disyariatkan (tawassul yang benar) dan tawassul yang dilarang (tawassul yang salah) [lihat rincian pembagian ini dalam Kutubu wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin (79/1-5) dan kitab Kaifa Nafhamut Tawassul (hal. 4 -14), tulisan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).

1. Tawassul yang disyariatkan adalah tawassul yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Quran (dalam ayat tersebut di atas) dan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta diamalkan oleh para shahabatradhiallahu ‘anhum (lihat kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 4). Yaitu ber-tawasssul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sarana yang dibenarkan (dalam agama Islam) dan menyampaikan kepada tujuan yang diinginkan (mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) [Kutubu wa Rasa-il syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin (79/1)].

Tawassul ini ada beberapa macam:

A- Tawassul dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Mahaindah, inilah yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,

وللهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

“Dan Allah mempunyai al-asma-ul husna (nama-nama yang Mahaindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut al-asma-ul husna itu.” (QS. al-A’raaf: 180).

Artinya: berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang Mahaindah sebagai wasilah (sarana) agar doa tersebut dikabulkan-Nya (lihat kitab At-Tawassulu Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, hal. 32).

Tawassul ini disebutkan dalam banyak hadits yang shahih, di antaranya dalam doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang ditimpa kesedihan dan kegundahan, “Aku memohon kepada-Mu (ya Allah) dengan semua nama (yang Mahaindah) yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan (bagi diri-Mu) pada ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau menjadikan al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya (dalam) dadaku, penerang kesedihanku dan penghilang kegundahanku.” [HR. Ahmad (1/391), Ibnu Hibban (no. 972) dan al-Hakim (no. 1877), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, Ibnul Qayyim dalam Syifa-ul ‘Aliil (hal. 274) dan Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 199)].

B- Tawassul dengan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, sebagaimana doa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dalam al-Quran,

وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِين

“Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.” (QS. an-Naml: 19).

Juga dalam doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Allah, dengan pengetahuan-Mu terhadap (hal yang) gaib dan kemahakuasaan-Mu untuk menciptakan (semua makhluk), tetapkanlah hidupku selama Engkau mengetahui kehidupan itu baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika selama Engkau mengetahui kematian itu baik bagiku.” [HR. an-Nasa-i (no. 1305 dan 1306), Ahmad (4/264) dan Ibnu Hibban (no. 1971), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani].

C- Tawassul dengan beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana doa hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam al-Quran,

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ

“Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Rabb-mu.’; maka kamipun beriman. Wahai Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali ‘Imran: 193).

D- Tawassul dengan kalimat tauhid, sebagaimana doa Nabi Yunus ‘alaihissalam dalam al-Quran,

وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru (berdoa kepada Allah) di kegelapan, ‘Laa ilaaha illa anta (Tidak ada sembahan yang benar selain Engkau), Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikanlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiyaa’: 87-88).

Dalam hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin pengabulan doa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang berdoa kepada-Nya dengan doa ini (HR. at-Tirmidzi, no. 3505 dan Ahmad, 1/170, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani).

E- Tawassul dengan amal shaleh, sebagaimana doa hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shaleh dalam al-Quran,

رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنزلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ

“Wahai Rabb kami, kami beriman kepada apa (kitab-Mu) yang telah Engkau turunkan dan kami mengikuti (petunjuk) rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang tauhid dan kebenaran agama-Mu).” (QS. Ali ‘Imran: 53).

Demikian pula yang disebutkan dalam hadits yang shahih, kisah tentang tiga orang shaleh dari umat sebelum kita, ketika mereka melakukan perjalanan dan bermalam dalam sebuah gua, kemudian sebuah batu besar jatuh dari atas gunung dan menutupi pintu gua tersebut sehingga mereka tidak bisa keluar, lalu mereka berdoa kepada Allah dan ber-tawassul dengan amal shaleh yang pernah mereka lakukan dengan ikhlas kepada Allah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian menyingkirkan batu tersebut dan merekapun keluar dari gua tersebut [Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 2152) dan Muslim (no. 2743)].

F- Tawassul dengan menyebutkan keadaan dan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam doa Nabi Musa ‘alaihissalam dalam al-Quran,

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. al-Qashash: 24).

Juga doa Nabi Zakaria ‘alaihissalam,

رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا. وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا

“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, wahai Rabb-ku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera.” (QS. Maryam: 4-5).

G- Tawassul dengan doa orang shaleh yang masih hidup dan diharapkan terkabulnya doanya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para shahabat radhiallahu ‘anhum di masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti perbuatan seorang Arab dusun yang meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berdoa kepada Allah Ta’ala memohon diturunkan hujan, ketika beliau sedang berkhutbah hari Jumat, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa meminta hujan, lalu hujanpun turun sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar [Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 968) dan Muslim (no. 897)].

Kemudian setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para shahabat radhiallahu ‘anhum tidak meminta kebutuhan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan datang ke kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka mengetahui perbuatan ini dilarang keras dalam Islam. Akan tetapi, yang mereka lakukan adalah meminta kepada orang shaleh yang masih di antara mereka untuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seperti perbuatan shahabat yang mulia Umar bin khattab radhiallahu ‘anhu di zaman kekhalifahan beliau radhiallahu ‘anhu, jika manusia mengalami musim kemarau, maka beliau berdoa kepada Allah Ta’ala dan ber-tawassul dengan doa paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiallahu ‘anhu. Umar radhiallahu ‘anhu berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya dulu kami selalu ber-tawassul kepada-Mu dengan (doa) Nabi kami shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami, dan (sekarang) kami ber-tawassul kepada-Mu dengan (doa) paman Nabi kami shallallahu ‘alaihi wa sallam (‘Abbas radhiallahu ‘anhu), maka turunkanlah hujan kepada kami.” Lalu hujanpun turun kepada mereka (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 964 dan 3507).

Demikian pula perbuatan shahabat yang mulia, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu di masa pemerintahan beliau radhiallahu ‘anhu. Ketika terjadi musim kemarau, Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu bersama penduduk Damaskus bersama-sama melaksanakan shalat istisqa’ (meminta hujan kepada Allah Ta’ala). Ketika Mu’awiyah telah naik mimbar, beliau berkata, “Dimanakah Yazid bin al-Aswad al-Jurasyi?” Maka orang-orangpun memanggilnya, lalu diapun datang melewati barisan manusia, kemudian Mu’awiyah menyuruhnya untuk naik mimbar dan beliau sendiri duduk di dekat kakinya dan beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya hari ini kami meminta syafa’at kepada-Mu dengan (doa) orang yang terbaik dan paling utama di antara kami, ya Allah, sesungguhnya hari ini kami meminta syafa’at kepada-Mu dengan (doa) Yazid bin al-Aswad al-Jurasyi,” wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu (untuk berdoa) kepada Allah!” Maka, Yazidpun mengangkat kedua tangannya, demikian pula manusia mengangkat tangan mereka. Tak lama kemudian muncullah awan (mendung) di sebelah barat seperti perisai dan anginpun meniupnya, lalu hujan turun kepada kami sampai-sampai orang hampir tidak bisa kembali ke rumah-rumah mereka (karena derasnya hujan) [Atsar riwayat Ibnu 'Asakir dalam Tarikh Dimasq (65/112) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam kitab At-Tawassulu Anwaa'uhu wa Ahkaamuhu (hal. 45)].

2. Tawassul yang dilarang (dalam Islam) adalah tawassul yang tidak ada asalnya dalam agama Islam dan tidak ditunjukkan dalam dalil al-Quran maupun hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu ber-tawasssul kepada Allah Ta’ala dengan sarana yang tidak ditetapkan dalam syariat Islam.

Tawassul ini juga ada beberapa macam:

A- Tawassul dengan orang yang sudah mati dan berdoa kepadanya selain Allah Ta’ala. Ini termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyeru (memohon) kepada sembahan-sembahan selain Allah yang tidak mampu memberikan manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik).” (QS. Yuunus: 106).

Termasuk dalam hal ini adalah ber-tawassul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ini termasuk perbuatan syirik. Oleh karena itu, para shahabat radhiallahu ‘anhum tidak pernah melakukannya, padahal mereka sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

B- Tawassul dengan jaah (kedudukan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau orang-orang yang shaleh di sisi Allah. Ini termasuk tawassul yang bid’ah dan tidak pernah dilakukan oleh para shahabat radhiallahu ‘anhum, padahal mereka sangat mencintai dan memahami tingginya kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.

Hal ini dikarenakan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bisa bermanfaat bagi siapapun kecuali bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, meskipun bagi orang-orang terdekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Kutubu wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin [79/5]), sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Fathimah putri (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mintalah dari hartaku (yang aku miliki) sesukamu, sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi (memberi manfaat) bagimu sedikitpun di hadapan Allah.” (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13).

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Tawassul ini adalah bid’ah dan bukan kesyirikan, karena memohon kepada Allah. Akan tetapi terkadang bisa membawa kepada kesyirikan, yaitu jika orang yang bertawassul itu berkeyakinan bahwa Allah butuh kepada perantara (untuk mengetahui permintaan makhluk-Nya) sebaimana seorang pemimpin atau presiden (butuh kepada perantara), (maka ini termasuk syirik/ kafir) karena telah menyerupakan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, padahal Allah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syuura: 11) (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13).

Sebagian orang yang membolehkan tawassul ini berdalil dengan sebuah hadits palsu, “Ber-tawassul-lah kalian (dalam riwayat lain: Jika kalian memohon kepada Allah maka memohonlah) dengan kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sngat agung.”

Hadits ini adalah hadits yang palsu dan merupakan kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorangpun dari para ulama ahli hadits dalam kitab-kitab mereka, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (lihat kitab Al-Fatawal Kubra, 2/433 dan At-Tawassulu Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, hal. 128).

C- Tawassul dengan hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hak para wali Allah.

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Tawassul ini tidak diperbolehkan (dalam Islam), karena tidak ada satu nukilanpun dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan (kebolehannya). Imam Abu Hanifah dan dua orang murid utama beliau (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani) membenci (mengharamkan) seseorang yang mengucapkan dalam doanya, ‘(Ya Allah), aku memohon kepada-Mu dengan hak si Fulan, atau dengan hak para Nabi dan Rasul-Mu ‘alaihissalam, atau dengan hak Baitullah al-Haram (Ka’bah)’, atau yang semisal itu, karena tidak ada seorangpun yang mempunyai hak atas Allah (lihat kitab Syarhul Ihya’) (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13).

Pengaruh positif memahami dan mengamalkan tawassul dengan benar

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan faidah yang agung ini di sela-sela penjelasan beliau tentang kaidah-kaidah dalam memahami tawassul yang benar dan sesuai dengan syariat Islam, beliau berkata, “Sesungguhnya, kaidah-kaidah ini berkaitan erat dengan penetapan tauhid (mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah) dan peniadaan unsur kesyirikan serta sikap ghuluw (melampaui batas dalam agama). (Sehingga jika) semakin diperinci keterangannya dan semakin jelas penyampaiannya, maka sungguh yang demikian itu adalah nuurun ‘ala nuur (cahaya di atas cahaya), dan Allah Dialah tempat meminta pertolongan.” (Kitab Qaa’idatun Jaliilah fit Tawassuli wal Wasiilah” (hal. 244).

Dari keterangan beliau ini dapat disimpulkan bahwa tujuan pembahasan mengenai tawassul yang benar adalah [lihat keterangan Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhali dalam muqaddimah kitab Qaa'idatun Jaliilah fit Tawassuli wal Wasiilah (hal. 20-21)]:

* Penetapan/ penegakan tauhid yang untuk tujuan mulia inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para Rasul-Nya ‘alahimussalam dan menurunkan kitab-kitab-Nya.
* Peniadaan/ pembatalan unsur-unsur kesyirikan yang ini merupakan inti kandungan agama yang dibawa oleh para Rasul ‘alaihimussalam, yaitu membasmi kesyirikan dan membersihkan permukaan bumi, hati serta jiwa manusia dari kotoran dan noda syirik.
* Pembatalan unsur-unsur sikap ghuluw (melampaui batas dalam agama) dalam semua sendi-sendi agama Islam. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS. an-Nisaa’: 171).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang Nasrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.’” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 3261).

Penutup

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin yang membacanya untuk memurnikan akidah dan tauhid mereka, serta menjauhkan mereka dari segala bentuk kesyirikan, yang besar maupun kecil.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang Mahaindah dan sifat-sifat-Nya yang Mahasempurna, agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk selalu menegakkan tauhid kepada-Nya dan menjauhi segala bentuk perbuatan syirik, yang besar maupun kecil, serta menjaga kita dari semua bencana yang merusak agama dan keyakinan kita, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 7 Shafar 1432 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.

Artikel www.muslim.or.id
Diublikasikan kembali oleh budhyanto.blogsot.com
 

blogger templates | Make Money Online