Kamis, 24 Mei 2012

‘Umar & Imam Syafi’i Berbicara Tentang Bid’ah Hasanah

Kata-kata yang sudah sangat masyhur dan telah dianggap berasal dari Umar bin Khottob dan Imam Asy Syafi’i. Sebagaian orang lantas menyangka selama bid’ah itu baik, maka tidaklah masalah diamalkan. Karena bid’ah menurutnya ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada bid’ah yan jelek (bid’ah sayyi’ah). Lantas segala amalan pun yang tanpa tuntunan cuma sekedar dibangun atas landasan niat baik menjadi legal.


Khalifah ‘Umar dan Imam Syafi’i Berbicara Mengenai Bid’ah Hasanah

 ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika menghidupkan shalat tarawih secara berjama’ah, beliau berkata,

 الْبِدْعَةُ هَذِهِ

 “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[1]

 Imam Syafi’i rahimahullah berkata,

 البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم

 “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”[2]

 Memahami Perkataan ‘Umar bin Khottob tentang Shalat Tarawih

Mengenai kisah keluarnya ucapan ‘Umar “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dapat kita saksikan pada hadits berikut ini.

 عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ, وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ, وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ
مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ

 Dari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin Khatthab di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang.

Maka Umar berkata:

“Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam akan lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama imam mereka, maka Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”, maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itu mereka shalatnya di awal malam.[3]

  Perkataan ‘Umar di atas disikapi oleh Ibnu Rajab dengan pernyataan berikut,

“Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap adanya bid’ah yang baik, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah lughowi (bid’ah secara bahasa) dan bukan menurut istilah syar’i. Contoh perkataan yang dimaksud adalah perkataan ‘Umar bin Khottob ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) bersama dengan satu imam di masjid. Lantas ‘Umar keluar dan melihat mereka shalat (dengan satu imam), lalu ia pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu. Akan tetapi perbuatan ini baik (hasan)”, jawab ‘Umar. Yang dimaksudkan oleh ‘Umar bahwa shalat tarawih sebelumnya tidak dilakukan seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, ada landasan dalam syari’at mengenai hal ini di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong dan memotivasi untuk melaksanakan qiyam Ramadhan. Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang melaksanakan shalat tarawih secara jama’ah namun terpisah-pisah atau berkelompok-kelompok. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabat di bulan Ramadhan lebih dari semalam. Kemudian beliau enggan melaksanakannya lagi karena khawatir shalat tarawih itu wajib. Beliau pun tidak merutinkannya setelah itu. Namun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kekhawatiran tersebut sudah tidak ada. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat tarawih bersama para sahabatnya di malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan”.[4]

Ibnu Rajab setelah itu mengatakan bahwa shalat tarawih yang dihidupkan kembali oleh ‘Umar tetap sah dan bukan bid’ah karena itu adalah bagian dari sunnah[5]

(ajaran) khulafaur rosyidin al mahdiyyin[6]

yang kita juga diperintahkan untuk mengikutinya. Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

 “Alasan lain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin. Bahkan shalat tarawih telah menjadi sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin. Manausia di masa ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali juga menghidupkannya secara berjama’ah.”[7]


Dalil bahwasanya kita diperintahkan mengikuti ajaran khulafaur rosyidin,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

 “Berpegang teguhlah dengan ajaranku dan ajaran kholifah yang diberi petunjuk dalam ilmu dan amal, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah (kuat-kuat) dengan gigi geraham kalian”.[8]

Ibnu Taimiyah berkata,

“Perlu dipahami bahwa istilah bid’ah hasanah yang disebutkan ‘Umar hanyalah penyebutan bid’ah secara bahasa dan bukan istilah syari’at. Karena bid’ah secara bahasa berarti setiap perbuatan yang diawali tanpa ada contoh sebelumnya.”[9]

Ibnu Katsir juga menerangkan, “Bid’ah itu ada dua macam. Kadang yang dimaksud adalah bid’ah syar’iyyah seperti yang disebutkan dalam hadits, “Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” Terkadang pula bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Seperti perkataan ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika beliau membuat jama’ah shalat tarawih dan dilakukan terus menerus, di mana beliau berkata, “Ni’matul bid’ah hadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah ini).”[10]

Perkataan bid’ah dengan artian bahasa -yaitu sesuatu yang baru- dikatakan pula oleh anak ‘Umar bin Khottob, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Yang namanya adzan pertama pada shalat Jum’at baru dilakukan di masa ‘Utsman karena kebutuhan manusia akan hal itu. Dan amalan ini diteruskan pula oleh ‘Ali bin Abi Tholib. Namun Ibnu ‘Umar lantas berkata, “Huwa bid’ah (ini adalah bid’ah)”. Ibnu Rajab menerangkan maksud Ibnu ‘Umar, “Sepertinya Ibnu ‘Umar ingin berkata seperti maksud ayahnya dalam masalah qiyam Ramadhan (shalat tarawih).”[11]

Bagaimana bisa hadits dipertentangkan dengan perkataan sahabat?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sebagaimana sabdanya,

 وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

 “Setiap bid’ah adalah sesat?”[12]

 Asy Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah hasanah.”[13]

 Artinya setiap bid’ah itu tercela, tidak ada yang hasanah.

  Lalu bagaimana kita menyikapi perkataan ‘Umar?

 Taruhlah kita setuju dengan perkataan ‘Umar bahwa ada bid’ah hasanah karena beliau telah berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Maka cukup disanggah seperti kata Ibnu Taimiyah, “Perkataan sahabat bukanlah argumen. Bagaimana perkataan sahabat bisa sebagai alasan di saat bertentangan dengan sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”[14]

 Jika dengan perkataan sahabat saja tidak bisa dipertentangkan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lantas bagaimana lagi dengan perkataan ulama yang berada di bawah sahabat? 


Memahami Perkataan Imam Syafi’i

Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatawanya menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i di atas seraya berkata, “Apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi dalil, maka tidak disebut bid’ah. Imam Syafi’i rahimahullah menuturkan, “Bid’ah itu ada dua macam, yaitu bid’ah yang menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ dan atsar dari sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bid’ah seperti ini termasuk bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan jika tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka ia termasuk bid’ah hasanah.” Karena ‘Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Perkataan semacam ini dan semisalnya dikeluarkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih”.[15]

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai bid’ah hasanah (mahmudah) dan bid’ah madzmumah, “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bid’ah madzmumah (yang tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah yang terpuji (bid’ah hasanah, pen) adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah (ajaran Rasul), yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini adalah bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena bid’ah kedua ini bersesuaian dengan ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”[16]

Ibnu Rajab rahimahullah juga menambahkan, “Telah diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i perkataan beliau yang menafsirkan perkataan beliau di atas. Imam Syafi’i berkata,

 والمحدثات ضربان : ما أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً ، أو سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ، فهذه البدعة الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير ، لا خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة

 “Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela”.[17]

Intinya di sini, sahabat mulia seperti ‘Umar bin Khottob dan Imam Syafi’i bukanlah orang yang begitu mudahnya melegalkan bid’ah. Dengan perkataan mereka berdua, orang-orang beralasan adanya bid’ah yang hasanah sehingga acara bid’ah maulid, selamatan kematian, yasinan, dan tahlilan sah-sah saja untuk dilegalkan. Karena perbuatan-perbuatan tadi jelas baik menurut mereka. Sebagai penutup, kami ulas sanggahan terakhir berikut ini bagi siapa saja yang beralasan dengan dua orang terkemuka di atas.

Pertama: Secara jelas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat tanpa ada pengecualian. Maka tidak bisa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dipertentangkan dengan perkataan sahabat atau perkataan imam madzhab. Sebagaimana kata Ibnu ‘Abbas dan Mujahid, lalu perkataan ini masyhur diucapkan oleh Imam Malik, juga diucapkan oleh Imam Ahmad,

 ليس أحد إلا ويؤخذ من رأيه ويترك ؛ ما خلا النبي

 “Pendapat seseorang bisa diambil atau ditinggalkan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Kedua: Jika seseorang merenungkan kembali perkataan Imam Syafi’i, “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”. Maksud beliau di sini adalah jika suatu amalan tidak menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah, maka itulah bid’ah hasanah (mahmudah) karena dalam perkataan beliau dikaitkan dengan demikian. Jika tidak demikian maksudnya, apalah gunanya beliau membuatkan kaitan setelah perkataannya. Setiap bid’ah yang menyelisihi syari’at bertentangan dengan ayat yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna,

 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu” (QS. Al Ma’idah: 3). Begitu pula bid’ah yang tercela bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

 “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).

 Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap bid’ah bukan wajib dan bukan sunnah, maka ia termasuk bid’ah sayyi’ah dan termasuk bid’ah dholalah (yang menyesatkan) menurut sepakat para ulama. Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah dengan bid’ah hasanah, maka itu jika telah ada dalil syar’i yang mendukungnya yang menyatakan bahwa amalan tersebut sunnah (dianjurkan). Jika bukan wajib dan bukan pula sunnah (anjuran), maka tidak ada seorang ulama pun mengatakan amalan tersebut sebagai hasanah (kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah.”[18]

Ketiga: Sudah sangat ma’ruf bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang paling semangat dalam ittiba’ atau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau juga adalah orang yang sangat keras pada orang yang membantah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat saja perkataan beliau pada orang yang menentang ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,

 أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ

 “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”[19]

 Jika Imam Syafi’i bersikap keras dalam hal semacam ini, bagaimana mungkin kita pahami bahwa perkataan beliau berseberangan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Kullu bid’atin dholalah” (setiap bid’ah adalah sesat). Seharusnya kita memposisikan dengan benar perkataan Imam Syafi’I, yaitu kita pahami dengan pemahaman yang tidak bertentangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadinya kita pahami bahwa maksud Imam Syafi’i adalah bid’ah secara bahasa. Hal yang membuat kita seharusnya semakin husnuzhon kepada Imam Syafi’i karena beliau pernah mengeluarkan perkataan-perkataan seperti berikut ini,

 إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ

 “Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.”[20]

 كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ

 “Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.”[21]

 كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي

 “Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.”[22]

 كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي

 “Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.”[23]

 إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ

 “Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.”[24]

 أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

 “Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.”[25]

Setelah kita mengetahui pernyataan Imam Syafi’i bahwa perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik sangka kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah tadi sebagai bid’ah secara bahasa, –yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan agama. Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan madzmumah” dan sabda Rasulullah; “setiap bid’ah sesat” tidak akan bertabrakan.

Wallahu waliyyut taufiq.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 14 Jumadats Tsaniyah 1433 H 


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Muslim.Or.Id

[1] HR. Bukhari no. 2010.
[2] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 9: 113.
[3] HR. Malik dalam Al Muwaththa’ bab: Ma jaa-a fi qiyami Ramadhan.
[4] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128.
[5] Sunnah adalah jalan yang ditempuh. Sunnah di sini bukan hanya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, termasuk pula ajaran para kholifah rosyidin berupa i’tiqod, keyakinan, amalan dan perkataan. Inilah pengertian sunnah yang sempurna dan yang dipegang oleh para ulama salaf, mereka tidaklah memaksudkan kecuali demikian. Inilah yang diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri, Al Auza’i dan Al Fudhail bin ‘Iyadh. Namun kebanyakan ulama belakangan memahami sunnah dengan maksud i’tiqod (keyakinan) karena i’tiqod itulah yang disebut ushulud diin (pokok ajaran Islam). Sehingga yang menyelisihi sunnah ini, ia berarti telah berada dalam bahaya yang besar (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 120).

[6] Rusydu adalah mengenal kebenaran dan mengikutinya (mengamalkannya). Ghowi adalah mengenal kebenaran tetapi tidak mengikutinya. Sedangkan dholal adalah tidaklah mengenal dan mengamalkan kebenaran. Setiap orang yang rosyid, maka dia disebut muhtad (mendapat petunjuk). Setiap yang mendapati petunjuk secara sempurna dialah rosyid. Yang namanya hidayah adalah dengan mengenal dan mengamalkan kebenaran sekaligus (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 126).

[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 129.
[8] HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Begitu pula hal yang sama dinyatakan oleh Syaikh Al Albani.
[9] Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2: 95.
[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 38.
[11] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 129.

[12] HR. Muslim no. 867, Abu Daud no. 4607, An Nasai no. 1578.
[13] Disebutkan oleh Asy Syatibi dalam fatawanya hal. 180-181. Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91. [14] Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2: 95.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 20: 163.
[16] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.
[17] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I (1: 468-469). Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.
[18] Majmu’ Al Fatawa, 1: 162.
[19] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[20] Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63.
[21] Tarikh Dimasyq, 51: 389.
[22] Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 2: 9: 15.
[23] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[24] Siyar A’laamin Nubala’, 3: 3284-3285. [25] I’lamul Muwaqi’in, 2: 282.

Post to Dari artikel ‘Umar & Imam Syafi’i Berbicara Tentang Bid’ah Hasanah — Muslim.Or.Id by null

Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Senin, 07 Mei 2012

Mengapa Perempuan Tidak Lebih Dari Satu Suami?

Jika lelaki boleh beristri lebih dari satu, mengapa wanita tidak boleh bersuami lebih dari satu (poliandri)?”. Pertanyaan ini kadang terbesit dibenak kita atau bahkan digembar-gemborkan oleh sebagian aktifis feminis yang mengklaim sedang memperjuangkan kesetaraan gender. Mari kita simak jawabannya. Dari artikel Mengapa Perempuan Tidak Lebih Dari Satu Suami?




1. Ketentuan Dari Allah

 Aturan bahwa wanita tidak boleh memiliki beberapa suami dalam satu waktu adalah ketentuan Allah Ta’ala. Tidak ada pilihan lain bagi seorang hamba yang beriman kepada Allah kecuali menaati dan menerima dengan sepenuh hati setiap ketentuan-Nya. Karena orang yang beriman kepada Allah-lah yang senantiasa taat dan tunduk kepada hukum agama. Allah berfirman,

 إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 

“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51) Tidaklah apa yang Allah tentukan untuk hamba-Nya melainkan pasti memiliki hikmah yang besar bagi sang hamba. Namun sang hamba wajib pasrah kepada ketentuan itu baik tahu akan hikmahnya, maupun tidak tahu hikmahnya. Kaidah fiqhiyyah mengatakan:

 الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً

 “Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan” Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Kaidah ini meliputi seluruh ajaran Islam, tanpa terkecuali. Sama saja, baik hal-hal ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), baik yang berupa hubungan terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Allah Ta’ala berfirman,

 إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An Nahl: 90)

 Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setiap keadilan, kebaikan, silaturahim pasti diperintahkan oleh syariat. Setiap kekejian dan kemungkaran terhadap Allah, setiap gangguan terhadap manusia baik berupa gangguan terhadap jiwa, harta, kehormatan, pasti dilarang oleh syariat. Allah juga senantiasa mengingatkan hamba-Nya tentang kebaikan perintah-perintah syariat, manfaatnya dan memerintahkan menjalankannya. Allah juga senantiasa mengingatkan tentang keburukan hal-hal dilarang agama, kejelekannya, bahayanya dan melarang mereka terhadapnya” (Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, hal.27)

Adapun dalil tentang terlarangnya poliandri, diantaranya firman Allah Ta’ala:

 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا * وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ

 “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu” (QS. An Nisaa: 23-24)

 Dalam Tafsir Ibni Katsir dijelaskan makna وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء maksudnya: ‘Diharamkan bagimu menikahi para wanita ajnabiyah yang muhshanat yaitu yang sudah menikah’. Ibnu Katsir juga membawakan riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat ini:

 عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: أَصَبْنَا نِسَاءً مِنْ سَبْيِ أَوْطَاسَ، وَلَهُنَّ أَزْوَاجٌ، فَكَرِهْنَا أَنْ نَقَعَ عَلَيْهِنَّ وَلَهُنَّ أَزْوَاجٌ، فَسَأَلْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَتْ هذه الآية: {وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ} [قَالَ] فَاسْتَحْلَلْنَا فُرُوجَهُنَّ

 Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata: “Kami mendapat wanita dari suku Authas yang ditawan, para wanita itu memiliki suami lebih dari satu. Kami enggan bersetubuh dengan mereka karena mereka memiliki banyak suami. Kamipun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, lalu turunlah ayat (yang artinya) ‘Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki‘. Dengan itu kami pun mengganggap mereka halal dicampuri” (Tafsir Ibni Katsir, 2/256)

 Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

 أَنَّ النِّكَاحَ فِي الجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ …. وَنِكَاحٌ آخَرُ: يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ العَشَرَةِ، فَيَدْخُلُونَ عَلَى المَرْأَةِ، كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا، فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ، وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا، أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ، حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا، تَقُولُ لَهُمْ: قَدْ عَرَفْتُمُ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ، فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلاَنُ، تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا، لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ

“Pernikahan di masa Jahiliyah ada empat cara …(beliau lalu menyebutkannya)… jenis pernikahan yang lain (jenis ketiga) yaitu sejumlah orang yang jumlahnya kurang dari 10 berkumpul lalu masuk menemui seorang wanita. Setiap mereka menyetubuhinya. Setelah beberapa waktu sejak malam pengantin itu, jika ternyata ia hamil, ia pun memanggil semua suaminya. Tidak ada seorang pun dari suaminya yang dapat menghalangi, hingga semua suaminya berkumpul. Wanita itu berkata: ‘Wahai suamiku, kalian sudah tahu apa yang kalian telah lakukan kepadaku dan itu memang sudah hak kalian. Dan sekarang aku hamil. Dan anak ini adalah anakmu wahai Fulan’. Wanita itu menyebut salah satu nama suaminya sesuka dia, lalu menasabkan anaknya pada suaminya tersebut. Tidak ada seorang pun dari suaminya yang dapat menghalangi” (HR. Bukhari no.5127)

 Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam menyifati poliandri sebagai perilaku jahiliyah. Sebagaimana dijelaskan para ulama :

 كل ما نسب إلى الجاهلية فهو مذموم

 “Setiap perkara yang dinisbatkan pada Jahiliyyah adalah sesuatu yang tercela” Jadi, mengapa poliandri tidak dibolehkan? Jawabannya, karena Allah Ta’ala telah menentukan demikian. Satu jawaban ini sejatinya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut bagi orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika masih ada yang penasaran lalu bertanya lagi ‘kenapa sih koq bisa-bisanya Allah menentukan demikian?‘, jawablah dengan firman Allah Ta’ala :

 لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

 “Allah tidak ditanyai oleh hamba, namun merekalah yang akan ditanyai oleh Allah” (QS. Al Anbiya: 23)

  2. Lelaki adalah pemimpin keluarga

Islam juga mengatur bahwa lelaki adalah pemimpin rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman:

 الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An Nisaa: 34)

 Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam juga bersabda:

 كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

 “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari 893, Muslim 1829)

 Oleh karena itu, seorang istri wajib taat kepada suaminya selama bukan dalam perkara maksiat. Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

ذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

 “Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, taat kepada suaminya akan dikatakan padanya kelak: ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau inginkan’” (HR. Ahmad 1661, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ 1/660)

 Nah, jika seorang wanita memiliki lebih dari satu suami, apakah organisasi rumah tangga akan berjalan dengan banyak pemimpin? Suami mana yang akan ditaati? Bagaimana jika para suami berselisih dan memberi perintah berlainan?

  3. Cobaan terbesar bagi lelaki adalah wanita, namun tidak sebaliknya

 Cobaan terbesar dan terdahsyat serta paling menjatuhkan seorang lelaki pada titik terendahnya adalah wanita. Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam sering kali mewanti-wanti hal ini. Beliau bersabda:

 مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

 “Tidaklah aku tinggalkan cobaan yang paling berbahaya bagi kaum lelaki selain wanita” (HR. Bukhari 5096, Muslim 2740)

 Beliau Shallallahu’alahi Wasallam juga bersabda:

 إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ “Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah menyerahkannya kepada kalian untuk diurusi kemudian Allah ingin melihat bagaimana sikap kalian terhadapnya. Berhati-hatilah dari fitnah dunia dan waspadalah terhadap wanita. Karena cobaan pertama yang melanda Bani Israil adalah wanita” (HR. Muslim 2742)

Tentang godaan setan, Allah Ta’ala berfirman:

 إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

 “Sesungguhnya tipu-daya setan itu lemah” (QS. An Nisaa: 76)

 Namun tentang godaan wanita, Allah Ta’ala berfirman:

 إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ

 “Sesungguhnya godaan wanita itu sangat dahsyat” (QS. Yusuf: 28)

 Oleh karena itulah Allah Al Hakim, Yang Maha Bijaksana, mensyariatkan poligami (baca: poligini) bagi laki-laki sebagai salah satu jalan untuk meringankan cobaan dari godaan wanita. Namun sebaliknya, tidak kita dapati dalil yang menunjukkan bahwa cobaan terbesar wanita adalah godaan pria. Ini adalah salah satu hikmah mengapa poliandri tidak disyariatkan.

  4. Menjaga kejelasan nasab

 Dalam Islam, anak dinasabkan kepada ayahnya. Dan masalah nasab ini sangat urgen dalam Islam. Sampai-sampai mencela nasab dan menasabkan diri kepada selain ayah kandung dikategorikan oleh para ulama sebagai perbuatan dosa besar. Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda :

 مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

 “Barangsiapa menasabkan diri kepada selain ayah kandungnya, padahal ia tahu ayah kandungnya, maka surga haram baginya” (HR. Bukhari 4326, Muslim 63)

 Sebagaimana juga hadits marfu’ dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu:

 خِلاَلٌ مِنْ خِلاَلِ الجَاهِلِيَّةِ الطَّعْنُ فِي الأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ

 “Diantara perbuatan orang Jahiliyyah adalah mencela nasab” (HR. Bukhari 3850)

 Di antara sebabnya, nasab menentukan banyak urusan, seperti dalam pernikahan, nafkah, pembagian harta warisan, dll. Jika satu wanita disetubuhi oleh beberapa suami, maka tidak jelas anak yang lahir dari rahimnya adalah hasil pembuahan dari suami yang mana, sehingga tidak jelas akan dinasabkan kepada siapa.

 Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata: “Pernyataan ‘laki-laki dibolehkan menikahi empat orang wanita, namun wanita tidak dibolehkan menikahi lebih dari satu lelaki‘, ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan sifat hikmah dari Allah Ta’ala kepada mereka. Juga bentuk ihsan dan perhatian yang tinggi terhadap kemaslahatan makhluk-Nya. Allah Maha Tinggi dan Maha Suci dari kebalikan sifat tesebut. Syariat Islam pun disucikan dari hal-hal yang berlawanan dengan hal itu. Andai wanita dibolehkan menikahi dua orang lelaki atau lebih, maka dunia akan hancur. Nasab pun jadi kacau. Para suami saling bertikai satu dengan yang lain, kehebohan muncul, fitnah mendera, dan bendera peperangan akan dipancangkan” (I’laamul Muwaqqi’in, 2/65)

  Beberapa Syubhat


1. Jika yang menjadi kekhawatiran adalah percampuran nasab, bukankah sekarang sudah ada tes DNA? 

Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab pertanyaan ini: ”Poliandri dapat menjadi sebab terjangkitnya berbagai penyakit berbahaya seperti AIDS atau yang lainnya. Selain itu, tidak adanya keteraturan dalam rumah tangga karena tidak adanya patokan nasab dan anak-anak pun menjadi kacau. Adapun pemeriksaan medis yang sebutkan itu (cek DNA), tidak bisa dipastikan 100%. Sehingga tidak bisa menjadi sandaran secara syar’i dalam penetapan nasab atau dalam mengingkarinya”. (Fatawa IslamWeb no.112109, http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=112109)

  2. Kalau lelaki punya keinginan kepada banyak wanita karena alasan syahwat, bukankah wanita juga punya syahwat?

 Ibnul Qayyim berkata, “Jika ada yang berkata ‘Mengapa hanya memperhatikan dan mengangkat sisi kaum lelaki saja, serta hanya memenuhi kebutuhan syahwat lelaki saja sehingga mereka bisa berganti dari istri yang satu kepada istri yang lain sesuai kebutuhan syahwatnya? Padahal wanita juga memiliki panggilan syahwat‘. Kita jawab, wanita itu sebagaimana kebiasaan mereka wajahnya terlindungi oleh cadar dan berada di rumah-rumah mereka, gejolak mereka pun lebih dingin dibanding laki-laki, pergerakan lahir dan batin mereka lebih sedikit dibanding laki-laki, oleh karena itulah lelaki yang diberi kekuatan dan gejolak panas yang merupakan kunci penguasaan syahwat. Itu diberikan kepada laki-laki dalam jumlah yang lebih besar. Bahkan kaum laki-laki pun mendapat cobaan karena hal itu, sedangkan wanita tidak. Sehingga dimutlakkan bagi laki-laki berupa banyaknya jumlah pernikahan yang bolehkan (dalam satu waktu) sedangkan wanita tidak. Ini adalah hal yang dikhususkan dan dilebihkan oleh Allah untuk kaum laki-laki. Sebagaimana juga Allah utamakan mereka dalam hal pengembanan risalah, kenabian, khilafah, kerajaan, kepemimpinan hukum, jihad dan hal lainnya. Allah juga menjadikan lelaki pemimpin bagi wanita, yang berkewajiban menjaga maslahah istrinya dan menjalani berbagai resiko dalam mencari penghidupan istrinya. Mereka menunggang kuda, menjelajah gurun, menghadapi berbagai bencana dan ujian demi kemaslahatan sang istri.

Allah Ta’ala itu Syakuur (Sebaik-baik Pemberi Ganjaran) dan Haliim (Maha Pemurah). Sehingga Allah memberi balasan kepada kaum lelaki berupa kebolehan berpoligami, dan mengganti segala kesusahan mereka itu dengan membolehkan hal-hal yang tidak dibolehkan bagi wanita. Dan anda yang berkata, jika anda membandingkan antara cobaan bagi lelaki berupa lelah-letih, kerja keras, kesusahan yang dialami kaum lelaki demi masalahat istrinya dengan cobaan yang dialami kaum wanita yang berupa kecemburuan, anda akan dapatkan bahwa apa yang dialami kaum lelaki itu jauh lebih besar kadarnya. Inilah salah satu bentuk sempurnanya keadilan, kebijaksanaa dan kasih sayang Allah Ta’ala. Segala puji bagi Allah sebab memang Dialah yang memiliki segala pujian” (I’laamul Muwaqqi’in, 2/65-66)

  3. Syahwat wanita lebih besar dari syahwat lelaki

 Karena syahwat wanita lebih besar dari lelaki, maka bagi wanita tidak cukup hanya satu suami. Demikian bunyi salah satu syubhat. Ibnul Qayyim membantah pernyataan ini: “Adapun perkataan seseorang bahwa syahwat wanita lebih besar dari syahwat lelaki, ini tidak benar. Syahwat itu sumbernya dari hawa panas. Hawa lelaki lebih panas dari wanita. Namun wanita, jika ia sendiri, kesepian, dan ia tidak bisa menahan diri dari hal-hal yang berhubungan dengan syahwat dan memuaskan dirinya, maka ia pun dapat ditenggelamkan oleh syahwat sehingga syahwat menguasai dirinya. Ketika tidak ada hal yang dapat menjadi pelampiasan, bahkan disertai perasaan kesepian, maka bisa terjadi apa yang terjadi. Sehingga ketika itu disangkalah bahwa syahwat wanita lebih besar dari laki-laki. Ini tidak benar. Telah dibuktikan bahwa lelaki bisa mencampuri istrinya lalu mencampuri istrinya yang lain dalam satu waktu.

 كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ فِي اللَّيْلَةِ الْوَاحِدَةِ

 ‘Nabi Shallallahu’alaihi Wasalam biasa menggilir istri-istrinya dalam satu malam‘ Bahkan Nabi Yusuf menggilir 90 orang istrinya dalam satu malam. Dan sudah kita ketahui bersama bahwa wanita biasanya hanya memiliki satu kali klimaks. Jika seorang lelaki telah memuaskan seorang wanita, hingga terpenuhi syahwatnya, dan hilang nafsunya, wanita tersebut tidak akan meminta yang lain ketika itu. Maka, sifat demikian sesuai dengan hikmah dari takdir Allah dan hikmah ketetapan syariat bagi hamba dan ummat” (I’laamul Muwaqqi’in, 2/66)

Semoga bermanfaat.

 — Penulis: Yulian Purnama Artikel Muslim.Or.Id Dari artikel Mengapa Perempuan Tidak Lebih Dari Satu Suami?
— Muslim.Or.Id – Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah by null
 Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com
 

blogger templates | Make Money Online