Jumat, 23 November 2012

PERISTIWA KARBALA DALAM PANDANGAN AHLUSSUNNAH WAL-JAMA'AH

Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

http://almanhaj.or.id/content/2606/slash/0/peristiwa-karbala-dalam-pandangan-ahlussunnah-wal-jamaah/

 URGENSI SANAD

 Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan dalam kitab Aqidah al-Wasithiyyah : "Ahlussunnah menahan lidah dari permasalahan atau pertikaian yang terjadi diantara para Sahabat Radhiyallahu 'anhum. Dan mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya riwayat-riwayat yang dibawakan dan sampai kepada kita tentang keburukan-keburukan para Sahabat Radhiyallahu 'anhum (pertikaian atau peperangan) ada yang dusta dan ada juga yang ditambah, dikurangi dan dirubah dari aslinya (serta ada pula yang shahih-pen). Riwayat yang shahih. menyatakan, bahwa para Sahabat Radhiyallahu 'anhum ini ma'dzûrûn (orang-orang yang diberi udzur). Baik dikatakan karena mereka itu para mujtahid yang melakukan ijtihad dengan benar ataupun juga para mujtahid yang ijtihadnya keliru.”[1]

Ahlussunah wal Jama'ah memposisikan riwayat-riwayat ini. Ketiga riwayat ini bertebaran dalam kitab-kitab tarikh (sejarah). Dan ini mencakup semua kejadian dalam sejarah Islam, termasuk kisah pembunuhan Husain bin Ali Radhiyallahu 'anhuma di Karbala. Sebagian besar riwayat tentang peristiwa menyedihkan ini adalah kebohongan belaka. Sebagian lagi dhaif dan ada juga yang shahih. Riwayat yang dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadits yang bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadits, inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.

Dari sini, kita dapat memahami betapa sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat busuk mereka. Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, "Sanad itu senjata kaum muslimin, jika dia tidak memiliki senjata lalu apa yang dia pergunakan dalam berperang" Perkataan ini diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam kitab al-Madkhal. 'Abdullah bin Mubârak rahimahullah mengatakan, "Sanad ini termasuk bagian dari agama. kalau tidak ada isnad, maka siapapun bisa berbicara semaunya." Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahih beliau rahimahullah. Di tempat yang sama, Imam Muslim raimahullah juga membawakan perkataan Ibnu Sîrin, "Dahulu, mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Ketika fitnah mulai banyak, mereka mengatakan, "Sebutkanlah nama orang-orangmu yang meriwayatkannya" !

KRONOLOGI TERBUNUHNYA HUSAIN RADHIYALLAHU 'ANHUMA

Berkait dengan peristiwa Karbala, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Orang-orang yang meriwayatkan pertikaian Husain Radhiyallahu 'anhu telah memberikan tambahan dusta yang sangat banyak, sebagaimana juga mereka telah membubuhkan dusta pada peristiwa pembunuhan terhadap 'Utsman Radhiyallahu 'anhu, sebagaimana mereka juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan, kemenangan dan lain sebagainya. Para penulis tentang berita pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhu, ada diantara mereka yang merupakan ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi rahimahullah dan Ibnu Abi Dun-ya dan lain sebagainya. Namun demikian, diantara riwayat yang mereka bawakan ada yang terputus sanadnya. Sedangkan yang membawakan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat banyak"[2] Oleh karenanya, dalam pembahasan tentang peristiwa ini perlu diperhatikan sanadnya.

RIWAYAT SHAHIH TENTANG PERISTIWA KARBALA

Riwayat yang paling shahih ini dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, no, 3748 :

 حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ فَجُعِلَ فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ يَنْكُتُ وَقَالَ فِي حُسْنِهِ شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ أَشْبَهَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ

"Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan : aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan : Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada 'Ubaidullah bin Ziyâd[3]. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu 'Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Diantara Ahlul bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." Saat itu, Husain Radhiyallahu 'anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam)"

Kisahnya, Husain bin Ali Radhiyallahu 'anhuma tinggal di Mekah bersama beberapa Shahabat, seperti Ibnu 'Abbâs dan Ibnu Zubair Radhiyallahu 'anhuma. Ketika Muawiyah Radhiyallahu 'anhu meninggal dunia pada tahun 60 H, anak beliau Yazîd bin Muâwiyah menggantikannya sebagai imam kaum muslimin atau khalifah. Saat itu, penduduk Irak yang didominasi oleh pengikut 'Ali Radhiyallahu 'anhu menulis surat kepada Husain Radhiyallahu 'anhuma meminta beliau Radhiyallahu 'anhuma pindah ke Irak. Mereka berjanji akan membai'at Husain Radhiyallahu 'anhuma sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazîd bin Muâwiyah menduduki jabatan Khalifah.

Tidak cukup dengan surat, mereka terkadang mendatangi Husain Radhiyallahu 'anhuma di Mekah mengajak beliau Radhiyallahu 'anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan menyediakan pasukan. Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhuma kerap kali menasehati Husain Radhiyallahu 'anhuma agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husain Radhiyallahu 'anhuma, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, dibunuh di Kufah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu khawatir mereka membunuh Husain juga disana. Husain Radhiyallahu 'anhuma mengatakan, "Saya sudah melakukan istikharah dan akan berangkat kesana". . 

Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau Radhiyallahu 'anhuma mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya Muslim bin 'Aqil yang telah dibunuh di sana. Akhirnya, berangkatlah Husain Radhiyallahu 'anhuma bersama keluarga menuju Kufah. Sementara di pihak yang lain, 'Ubaidullah bi n Ziyâd diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan di Irak. Akhirnya, 'Ubaidullah dengan pasukannya berhadapan dengan Husain Radhiyallahu 'anhuma bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju Irak. Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husain Radhiyallahu 'anhuma.

Dua pasukan yang sangat tidak imbang ini bertemu, sementara orang-orang Irak yang membujuk Husain Radhiyallahu 'anhuma, dan berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husain c dan keluarganya berhadapan dengan pasukan Ubaidullah. Sampai akhirnya, terbunuhlah Husain Radhiyallahu 'anhuma sebagai orang yang terzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu dibawa kehadapan 'Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di bejana. Lalu 'Ubaidullah yang durhaka[4] ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain, padahal di situ ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami Radhiyallahu 'anhum. Anas Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium mulut itu!" Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan, "Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal."

Dalam riwayat at- Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas Radhiyallahu 'anhu dinyatakan

 فَجَعَلَ يَقُوْلُ بِقَضِيْبٍ لَهُ فِي أَنْفِهِ

"Lalu 'Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain Radhiyallahu 'anhu". Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam Radhiyallahu 'anhu :

 فَجَعَلَ قَضِيْبًا فِي يَدِهِ فِي عَيْنِهِ وَأَنْفِهِ فَقُلْتُ ارْفَعْ قَضِيْبَكَ فَقَدْ رَأَيْتُ فَمَّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَوْضِعِهِ

"Lalu dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain Radhiyallahu 'anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan, "Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu". Demkian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu :

 فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَلْثِمُ حَيْثُ تَضَعُ قَضِيْبَكَ , قَالَ : " فَانْقَبَضَ

 Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya, "Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu." Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya. Demikianlah kejadiannya, setelah Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh, kepala beliau Radhiyallahu 'anha dipenggal dan ditaruh di bejana. Dan mata, hidung dan gigi beliau Radhiyallahu 'anhu ditusuk-tusuk dengan pedang.

Para Sahabat Radhiyallahu anhum yang menyaksikan hal ini meminta kepada 'Ubaidullah orang durhaka ini, agar menyingkirkan pedang itu, karena mulut Rasulullah pernah menempel tempat itu. Alangkah tinggi rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan alangkah sedih hati mereka menyaksikan cucu Rasulullah Shallallahu 'aiahi wa sallam, orang kesayangan beliau n dihinakan di depan mata mereka. Dari sini, kita mengetahui betapa banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain Radhiyallahu 'anhuma diarak sampai diletakkan di depan Yazid rahimahullah.

Para wanita dari keluarga Husain Radhiyallahu 'anhuma dikelilingkan ke seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas. Semua ini merupakan kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid t saat itu sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan ini berlangsung di Irak. Syaikhul Islam Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Dalam riwayat dengan sanad yang majhul dinyatakan bahwa peristiwa penusukan ini terjadi di hadapan Yazid, kepala Husain Radhiyallahu 'anhuma dibawa kehadapannya dan dialah yang menusuk-nusuknya gigi Husain Radhiyallahu 'anhuma.

Disamping dalam cerita (dusta) ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa cerita ini bohong, maka (untuk diketahui juga-red) para Sahabat yang menyaksikan peristiwa penusukan ini tidak berada di Syam, akan tetapi di negeri Irak. Justru sebaliknya, riwayat yang dibawakan oleh beberapa orang menyebutkan bahwa Yazid tidak memerintahkan 'Ubaidullah untuk membunuh Husain."[5] Yazid rahimahullah sangat menyesalkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu.

Karena Mu'awiyah berpesan agar berbuat baik kepada kerabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, saat mendengar kabar bahwa Husain dibunuh, mereka sekeluarga menangis dan melaknat 'Ubaidullah. Hanya saja dia tidak menghukum dan mengqisas 'Ubaidullah, sebagai wujud pembelaan terhadap Husain secara tegas.[6] Jadi memang benar, Husain Radhiyallahu 'anhuma dibunuh dan kepalanya dipotong, tapi cerita tentang kepalanya diarak, wanita-wanita dinaikkan kendaraan tanpa pelana dan dirampas, semuanya dhaif (lemah). Alangkah banyak riwayat dhaif serta dusta seputar kejadian menyedihkan ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas.

Kemudian juga, kisah pertumpahan darah yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi tambahan-tambahan dusta. Tambahan-tambahan dusta ini bertujuan untuk menimbulkan dan memunculkan fitnah perpecahan di tengah kaum muslimin. Sebagian dari kisah-kisah dusta itu bisa kita dapatkan dalam kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Minhâjus Sunnah IV/517 dan 554, 556 : -

Ketika Hari pembunuhan terhadap Husain, langit menurunkan hujan darah lalu menempel di pakaian dan tidak pernah hilang dan langit nampak berwarna merah yang tidak pernah terlihat sebelum itu. - Tidak diangkat sebuah batu melainkan di bawahnya terdapat darah penyembelihan Husain Radhiyallahu 'anhuma. - Kemudian mereka juga menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebuah perkataan yang berbunyi :

 هَؤُلَاءِ وَدِيْعَتِيْ عِنْدَكُمْ

Mereka ini adalah titipanku pada kalian, kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat : "Katakanlah:"Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan" [asy Syûrâ/42:23]

Riwayat ini dibantah oleh para ulama diantaranya Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan mengatakan, "Apa masuk di akal, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menitipkan kepada makhluk padahal Allah Azza wa Jalla tempat penitip yang terbaik. Sedangkan ayat di atas yang mereka anggap diturunkan Allah Azza wa Jalla berkenaan dengan peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhuma, maka ini juga merupakan satu bentuk kebohongan. Karena ayat ini terdapat dalam surat as-Syûrâ dan surat ini Makkiyah. Allah Azza wa Jalla menurunkan surat ini sebelum Ali Radhiyallahu 'anhu dan Fathimah Radhiyallahu anha menikah.

HUSAIN RADHIYALLAHU 'ANHUMA TERBUNUH SEBAGAI ORANG YANG TERZHALIMI DAN MATI SYAHID

Ini merupakan keyakinan Ahlussunnah. Pendapat ini berada diantara dua pendapat yang saling berlawanan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, "Tidak disangsikan lagi bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma merupakan tindakan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dari para pelaku pembunuhan dan orang-orang yang membantu pembunuhan ini. Di sisi lain, merupakan musibah yang menimpa kaum muslimin, keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang lainnya. Husain Radhiyallahu 'anhuma berhak mendapatkan gelar syahid, kedudukan dan derajat ditinggikan".[7]

Kemudian, di halaman yang sama, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma tidak lebih besar daripada pembunuhan terhadap para rasul. Allah Azza wa Jalla telah memberitahukan bahwa bani Israil telah membunuh para nabi tanpa alasan yang benar.

Pembunuhan terhadap para nabi itu lebih besar dosanya dan merupakan musibah yang lebih dahsyat. Begitu pula pembunuhan terhadap 'Ali Radhiyallahu 'anhu (bapak Husain Radhiyallahu 'anhuma) lebih besar dosa dan musibahnya, termasuk pembunuhan terhadap 'Utsman juga Radhiyallahu 'anhu. Ini merupakan bantahan telak bagi kaum Syi'ah yang meratapi kematian Husain Radhiyallahu 'anhuma, namun, tidak meratapi kematian para nabi .

Padahal pembunuhan yang dilakukan oleh bani Israil terhadap para nabi tanpa alasan yang benar lebih besar dosa dan musibahnya. Ini juga menunjukkan bahwa mereka bersikap ghuluw (melampau batas) kepada Husain Radhiyallahu 'anhu. Sikap ghuluw ini mendorong mereka membuat berbagai hadits palsu. Misalnya, riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan, pembunuh Husain Radhiyallahu 'anhu akan berada di tabut (peti yang terbuat dari api), dia mendapatkan siksa setengah siksa penghuni neraka, kedua tangan dan kakinya diikat dengan rantai dari api neraka, ditelungkupkan sampai masuk ke dasar neraka dan dalam keadaan berbau busuk, penduduk neraka berlindung dari bau busuk yang keluar dari orang tersebut dan dia kekal di dalamnya. Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan mengatakan, "Hadits ini termasuk di antara riwayat yang berasal dari para pendusta".

MENYIKAPI PERISTIWA KARBALA

Menyikapi peristiwa wafatnya Husain Radhiyallahu 'anhuma, umat manusia terbagi menjadi tiga golongan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, "Dalam menyikapi peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhuma, manusia terbagi menjadi tiga : dua golongan yang ekstrim dan satu berada di tengah-tengah. Golongan Pertama : Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma itu merupakan tindakan benar. Karena Husain Radhiyallahu 'anhuma ingin memecah belah kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

 مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ

"Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu pemimpin lalu pendatang hendak memecah belah jama'ah kalian, maka bunuhlah dia" [8]

Kelompok pertama ini mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma datang saat urusan kaum muslimin berada di bawah satu pemimpin (yaitu Yazid bin Muawiyah) dan Husain Radhiyallahu 'anhuma hendak memecah belah umat. Sebagian lagi mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma merupakan orang pertama yang memberontak kepada penguasa.. Kelompok ini melampaui batas, sampai berani menghinakan Husain Radhiyallahu 'anhuma. Inilah kelompok 'Ubaidullah bin Ziyâd, Hajjâj bin Yusûf dan lain-lain. Sedangkan Yazid bin Muâwiyah rahimahullah tidak seperti itu. Meskipun tidak menghukum 'Ubaidullah, namun ia tidak menghendaki pembunuhan ini.

 Golongan Kedua : Mereka mengatakan Husain Radhiyallahu 'anhu adalah imam yang wajib ditaati; tidak boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan perintahnya; tidak boleh melakukan shalat jama'ah kecuali di belakangnya atau orang yang ditunjuknya, baik shalat lima waktu ataupun shalat Jum'at dan tidak boleh berjihad melawan musuh kecuali dengan idzinnya dan lain sebagainya. [9] Kelompok pertama dan kedua ini berkumpul di Irak. Hajjâj bin Yûsuf adalah pemimpin golongan pertama. Ia sangat benci kepada Husain Radhiyallahu 'anhuma dan merupakan sosok yang zhalim. Sementara kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi 'Ubaid yang mengaku mendapat wahyu dan sangat fanatik dengan Husain Radhiyallahu 'anuhma. Orang inilah yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh 'Ubaidullah bin Ziyad dan memenggal kepalanya.

 Golongan Ketiga : Yaitu Ahlussunnah wal Jama'ah yang tidak sejalan dengan pendapat golongan pertama, juga tidak dengan pendapat golongan kedua. Mereka mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Inilah keyakinan Ahlussunnah wal Jama'ah, yang selalu berada di tengah antara dua kelompok. Ahlussunnah mengatakan Husain Radhiyallahu 'anhuma bukanlah pemberontak. Sebab, kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak. Seandainya mau memberontak, beliau Radhiyallahu 'anhuma bisa mengerahkan penduduk Mekah dan sekitarnya yang sangat menghormati dan menghargai beliau Radhiyallahu 'anhuma. Karena, saat beliau Radhiyallahu 'anhuma di Mekah, kewibaannya mengalahkan wibawa para Sahabat lain yang masih hidup pada masa itu di Mekkah. Beliau Radhiyallahu 'anhuma seorang alim dan ahli ibadah.

Para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena beliaulah Ahli Bait yang paling besar. Jadi Husain Radhiyallahu 'anhuma sama sekali bukan pemberontak. Oleh karena itu, ketika dalam perjalanannya menuju Irak dan mendengar sepupunya Muslim bin 'Aqîl dibunuh di Irak, beliau Radhiyallahu 'anhuma berniat untuk kembali ke Mekkah. Akan tetapi, beliau Radhiyallahu 'anhuma ditahan dan dipaksa oleh penduduk Irak untuk berhadapan dengan pasukan 'Ubaidullah bin Ziyâd. Akhirnya, beliau Radhiyallahu 'anhuma tewas terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid.

SETAN MENYEBARKAN BID'AH

Syaikhul Islam mengatakan[10], "Dengan sebab kematian Husain Radhiyallahu 'anhuma, setan memunculkan dua bid'ah di tengah manusia. Pertama : Bid'ah kesedihan dan ratapan para hari Asyûra (di negeri kita ini, acara bid'ah ini sudah mulai diadakan-pen) seperi menampar-nampar, berteriak, merobek-robek, sampai-sampai mencaci maki dan melaknat generasi Salaf, memasukkan orang-orang yang tidak berdosa ke dalam golongan orang yang berdosa. (Para Sahabat seperti Abu Bakar dan Umar dimasukkan, padahal mereka tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki andil dosa sedikit pun. Pihak yang berdosa adalah yang terlibat langsung kala itu). Mereka sampai mereka berani mencaci Sâbiqûnal awwalûn.

Kemudian riwayat-riwayat tentang Husain Radhiyallahu 'anhuma dibacakan yang kebanyakan merupakan kebohongan. Karena tujuan mereka adalah membuka pintu fitnah (perpecahan) di tengah umat. Kemudian Syaikhul Islam rahimahullah juga mengatakan , "Di Kufah, saat itu terdapat kaum yang senantiasa membela Husain Radhiyallahu 'anhuma yang dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi 'Ubaid al-Kadzdzâb (karena dia mengaku mendapatkan wahyu-pen). Di Kufah juga terdapat satu kaum yang membenci 'Ali dan keturunan beliau Radhiyallahu 'anhum. Di antara kelompok ini adalah Hajjâj bin Yûsuf ats-Tsaqafi. Dalam sebuah hadits shahîh dijelaskan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

 سَيَكُوْنُ فِي ثَقِيْفٍ كَذَّابٌ وَمُبِيْرٌ

"Akan ada di suku Tsaqif seorang pendusta dan perusak" Orang Syi'ah yang bernama Mukhtâr bin Abi 'Ubaid itulah sang pendusta . Sedangkan sang perusak adalah al-Hajjaj. Yang pertama membuat bid'ah kesedihan, sementara yang kedua membuat bid'ah kesenangan.

Kelompok kedua ini pun meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa barangsiapa melebihkan nafkah keluarganya pada hari 'Asyûra, maka Allah Azza wa Jalla melonggarkan rezekinya selama setahun itu." Juga hadits, "barangsiapa memakai celak pada hari 'Asyûra, maka tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu dan lain sebagainya. Kedua : Bida'ah yang kedua adalah bid'ah kesenangan pada hari Asyura : Karena itu, para khatib yang sering membawakan riwayat ini - karena ketidaktahuannya tentang ilmu riwayat atau sejarah - , sebenarnya secara tidak langsung, masuk ke dalam kelompok al-Hajjâj, kelompok yang sangat membenci Husain Radhiyallahu 'anhuma.

Padahal wajib bagi kita meyakini bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Dan wajib bagi kita mencintai Sahabat yang mulia ini dengan tanpa melampaui batas dan tanpa mengurangi haknya, tidak mengatakan Husain Radhiyallahu anhuma seorang imam yang ma'sum (terbebas dari semua kesalahan), tidak pula mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu anhuma itu adalah tindakan yang benar. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma adalah tindakan maksiat kepada Allah dan RasulNya.

Itulah sekilas mengenai beberapa permasalahan yang berhubungan dengan peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhuma. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan. Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar menghindarkan kita semua dari berbagai fitnah yang disebarkan oleh setan dan para tentaranya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_______ Footnote

[1]. Syarhu al'Aqidah al-Wâsithiyyah Syaikh Sholeh al-Fauzan hal.198,
[2]. Minhâjus Sunnah (IV/556)
[3]. Komandan pasukan yang memerangi Husain, pada tahun 60-61 H di Irak di sebuah daerah yang bernama Karbala
[4]. Ia disebut orang durhaka, karena dia tidak diperintah untuk membunuh Husain Radhiyallahu 'anhuma, namun melakukannya.
[5]. Minhâjus Sunnah (IV/557)
[6]. Lihat Minhâjus Sunnah (V/557-558)
[7]. Minhâjus Sunnah (IV/550)
[8]. HR. Muslim, kitabul Imârah
[9]. Minhâjus Sunnah (IV/553) [10]. IV/554

PESTA DUKA DI HARI 'ASYURA

Oleh Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra

http://almanhaj.or.id/content/2607/slash/0/pesta-duka-di-hari-asyura/

 Para pembaca, kali ini kami mengajak untuk menyimpak berbagai keyakinan sesat Syiah tentang pesta duka di bumi Karbala yang mereka peringati setiap tanggal sepuluh Muharram (hari 'Asyura). Mereka melakukan berbagai bentuk penyiksaan diri dengan benda-benda tajam, seperti rantai besi, pedang, cambuk dan benda tajam lainnya. Hal itu mereka yakini sebagai bukti cinta (palsu) mereka kepada Ahlul Bait (Keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), yang diwujudkan dalam bentuk kesedihan dan kedukaan atas terbunuhnya cucu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Husain Radhiyallahu 'anhuma di tempat tersebut. Silahkan menyimak dan semoga bermanfaat.


PESTA DUKA DI HARI 'ASYURA

Hari 'Asyura, orang-orang Syiah meyakininya sebagai hari sial yang membawa celaka. Sejak awal bulan Muharram (bahkan selama sebulan penuh) mereka tidak melakukan hal-hal penting di rumah, seperti tidak bepergian, tidak melakukan pernikahan, tidak berhias, tidak memakai pakaian yang bagus, tidak memakan makanan yang enak dan lain-lain. Anak yang lahir di bulan Muharram mereka yakini bernasib sial. Secara khusus, pada hari 'Asyura, mereka melakukan ritual yang amat mengerikan dengan menyiksa diri dengan benda-benda keras dan tajam.

Semangat untuk menyakiti dan melukai tubuh sendiri akan kian terlucut dengan rangsangan sya’ir-sya’ir kisah terbunuhnya Husain bin 'Ali Radhiyallahu 'anhu di padang Karbala yang diperdengarkan, karya tokoh-tokoh Syi’ah. Kisah tersebut dibumbui dengan berbagai kebohongan serta cacian terhadap para Sahabat Radhiyallahu 'anhum. Jika para pembaca kurang yakin silakan saksikan apa yang sedang berlangsung di padang Karbala pada hari Asyura. Mereka berdatangan dari berbagai negara, dengan berpakaian serba putih. Sambil bergoyang pelan, mereka melantunkan kata 'haidar', 'haidar'. Selanjutnya, sebilah pedang mereka ayun-ayunkan ke salah satu bagian tubuh secara perlahan, sehingga tubuh mereka bersimbah darah. Perayaan duka di Karbala ini lebih dikenal di kalangan Syiah dengan sebutan ritual al-Husainiyyah.[1]

Penyiksaan diri pada hari 'Asyura tersebut tidak hanya dilakukan di bumi Karbala saja, tetapi juga dilakukan oleh kelompok Syiah di berbagai tempat lain. Menurut mereka, kegiatan penyiksaan diri pada sepuluh Muharram itu memiliki nilai ibadah yang tinggi, sebagaimana diungkapkan oleh imam-imam mereka.

 UNGKAPAN PARA TOKOH SYIAH TENTANG HUKUM DAN KEUTAMAAN PESTA DUKA DI HARI 'ASYURA

Salah seorang dari tokoh Syiah telah menulis buku khusus tentang ritual pada hari 'Asyura di Karbala dengan judul al-Mâjalis al-Fâkhirah Fi Ma’âtimil 'Ithrahi ath-Thâhirah[2] atau menurut penulis, kitab tersebut berjudul Manâsik al-Husainiyyah. Salah seorang tokoh mereka menyebutkan bahwa ritual penyiksaan diri pada hari 'Asyura di Karbala dimulai pada abad IV Hijriah pada masa dinasti al-Buwaihi. Kemudian berlanjut pada masa dinasti al-Fathimiyah. Acara tersebut sekarang ini diselenggarakan di negara-negara berpenduduk mayoritas orang-orang Syiah. Seperti Irak, Iran, India, Siria, dll.[3] Ad-Dimastâni, ulama Syiah yang lain menegaskan :
“Meratapi kematian Husain dengan berteriak-teriak hukumnya wajib ‘aini (wajib atas setiap pribadi)” [4] 

Ayatullah al-'Uzhma syaikh Muhammad Husain an-Nâti berkata :
“Tidak ada masalah tentang hukum bolehnya memukul pipi dan dada dengan tangan sampai merah dan menghitam. Dan lebih ditekankan lagi, memukul pundak dan punggung dengan rantai sampai kulit kemerahan dan gosong. Bahkan lebih ditekankan lagi jika hal itu menyebabkan keluarnya darah. Begitu pula mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan pedang”[5]

Setelah kita menyimak berbagai ungkapan tokoh-tokoh Syiah Rofidhoh di atas dapat kita ketahui bahwa apa yang dinisbahkan kepada mereka itu benar. Dan bukanlah sebuah isu yang dibuat-buat.. Bila ungkapan-ungkapan tersebut kita sorot dengan cahaya al-Qur'ân dan petunjuk Sunnah serta keyakinan para ulama Salaf, niscaya akan dijumpai jurang pemisah yang sangat dalam antara keyakinan orang-orang Syiah dengan keyakinan kaum Muslimin.

SESATNYA PESTA DUKA DI HARI 'ASYURA

Kekeliruan dan kesesatan acara pesta duka tidak sulit untuk dilacak. Sebab terdapat banyak pelanggaran terhadap ajaran Islam. Berikut ini, keterangannya:

1. Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: "Setiap muslim akan merasa sedih atas terbunuhnya Husain Radhiyallahu 'anhuma. Sesungguhnya dia adalah salah seorang dari generasi terkemuka kaum muslimin, juga salah seorang ulama di kalangan para Sahabat, dan anak dari putri kesayangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia adalah seorang ahli ibadah, seorang pemberani dan pemurah. Tentang apa yang dilakukan Syiah (di hari 'Asyura) seperti bersedih-sedih dan berkeluh-kesah merupakan tindakan tidak pantas. Boleh jadi, itu mereka lakukan adalah karena pura-pura dan riya.

Sesungguhnya ayah Husain ('Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhuma) jauh lebih afdhal (utama) darinya. Beliau juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Akan tetapi, mereka tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari berkabung layaknya hari kematian Husain Radhiyallahu 'anhuma (yang diperingati). 'Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu terbunuh pada hari Jum'at saat keluar rumah mau melaksanakan shalat Subuh, pada tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 40 H. Demikian juga 'Utsmân Radhiyallahu 'anhu, beliau lebih mulia dari 'Ali Radhiyallahu 'anhu dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau dibunuh saat terjadi pengepungan terhadap rumahnya, pada hari tasyriîq di bulan Dzulhijjah, tahun 36 H. Beliau disembelih dari urat nadi ke urat nadi. Tidak pernah ada orang berduka di hari kematiannya.

 Demikian pula halnya 'Umar bin Khaththâb Radhiyallahu 'anhu. Beliau lebih afdhal dari 'Utsmân dan 'Ali Radhiyallahu 'anhuma. Terbunuh di mihrab saat shalat Subuh saat sedang membaca al-Qur'ân. Namun, tidak ada orang yang menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka. Dan demikian juga Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu 'anhu. Beliau lebih afdhal dari 'Umar Radhiyallahu 'anhu. Akan tetapi, tidak pernah hari kematiannya dijadikan sebagai hari berkabung. (Terakhir), Allah Azza wa Jalla telah memanggil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, penghulu anak Adam di dunia dan akhirat, sama seperti para nabi sebelumnya. Namun, tidak ada seorang pun menjadikan hari wafat beliau sebagai hari bela sungkawa, atau melakukan perbuatan orang-orang dari sekte Syiah pada hari kematian Husain. Tidak seorang pun menyebutkan bahwa terjadi sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian mereka, seperti apa yang disebutkan Syiah pada hari kematian Husain. Seperti terjadinya gerhana matahari, adanya cahaya merah di langit dan lain-lain"[6]

2. Syaikh Fâdhil ar-Rûmi rahimahullah, seorang ulama Dinasti Utsmaniyah mendudukkan kesalahan Syiah dalam masalah ini : "Adapun menjadikan tanggal sepuluh Muharram sebagai hari berduka karena terbunuhnya Husain bin Ali Radhiyallahu 'anhuma yang dilakukan kaum Syiah, hal itu adalah perbuatan orang-orang sesat sewaktu di dunia. Tetapi, mereka mengira telah melakukan sesuatu yang amat baik. Padahal, Allah Azza wa Jalla dan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam saja tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari musibah para nabi atau hari kematian mereka sebagai hari berduka. Apalagi terhadap hari kematian orang-orang yang kedudukannya di bawah mereka…[7]

Pada kesempatan lain beliau menyatakan: "Diantara bentuk bid'ah yang dilakukan sebagian manusia pada hari 'Asyura adalah menjadikan hari tersebut sebagai hari berduka. Mereka meratap dan bersedih serta menyiksa diri pada hari tersebut. Disamping itu, mereka mencaci para Sahabat Rasululullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah meninggal, berdusta atas nama keluarga Nabi Shallallahu 'aliahi wa sallam, dan melakukan berbagai kemungkaran lainnya yang dilarang dalam al-Qur'ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta kesepakatan kaum Muslimin. Sesungguhnya, Husain Radhiyallahu 'anhuma telah dimuliakan Allah Azza wa Jalla dengan menjadikannya sebagai orang yang mati syahid pada hari tersebut. Dia dan saudaranya Hasan adalah dua pemuda penghuni Jannah.

Sekalipun terbunuhnya dua orang bersaudara tersebut merupakan musibah besar, akan tetapi Allah Azza wa Jalla mensyariatkan bagi kaum muslimin ketika mengalami musibah untuk mengucapkan kalimat istirjâ' (innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn) [8].

Kalimat istirjâ' merupakah salah satu anugerah yang hanya diberikan kepada umat Islam. Sa'id bin Jubair Radhiyallahu 'anhu berkata:

 لَمْ يُعطَ الْاسْتِرْجَاعُ لِأُمَّةٍ مِنَ الْأُمَمِ إِلاَّّ هَذِهِ الْأُمَّةِ، وَلَوْ أعْطِيَ لِأَحَدٍ لَأُعْطِيَ يَعْقُوْبُ النبيّ أَلاَ تَرَى أَنَّهُ قَالَ فِيْ مَقَامِ الْاستِرْجَاعِ: يَا أَسَفَى عَلَى يُوْسُفَ

"Kalimat istirjâ' tidak diberikan bagi umat-umat lain kecuali untuk umat ini (umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam). Jika seseorang diberi (sebelumnya, red) tentu akan diberikan kepada Nabi Ya'qub Alaihissalam. Tidakkah Anda perhatikan beliau mengucapkan sebagai ganti kalimat istirjâ' aduhai, betapa sedihnya kehilangan Yusuf'" [9].

Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan kalimat istirjâ'. Beliau bersabda:

 مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

"Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, maka ia ucapkan 'innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn', (dan berdoa) ya Allah beri aku pahala atas musibah yang menimpaku, gantilah untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya, melainkan Allah akan memberinya pahala untuknya atas musibah itu dan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik dari yang ia alami" [HR. Muslim 2/632 no (918] 3.

Adapun melakukan sesuatu yang dilarang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari peringatan musibah setelah berlalu dalam masa yang cukup lama, perbuatan ini dosanya akan lebih besar lagi. Apalagi, jika disertai dengan memukul-mukul muka, merobek-robek baju, berteriak-teriak yang merupakan kebiasaan bangsa Jahiliyyah, melaknat dan mencaci orang-orang Mukmin (para Sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum), serta membantu orang-orang zindiq untuk merusak Islam.[10]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan hukum menyiksa diri atas peristiwa musibah yang menimpa seseorang dalam hadits berikut ini:

 لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ 

"Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah" [HR. al-Bukhari dan Muslim] Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ : الْفَخْرُ بِالْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالِاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ. وَقَالَ : النَّائِحَةُ إذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطْرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

"Ada empat perkara yang termasuk perkara jahiliyah terdapat di tengah umatku; berbangga dengan kesukuan, mencela keturunan (orang lain), meminta hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayat" Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menambahkan: "Wanita yang meratapi mayat apabila tidak bertaubat sebelum meninggal, ia akan dibangkit pada hari kiamat dengan memakai mantel dari tembaga panas dan jaket dari penyakit kusta" [HR. Muslim] Abu Musa al-Asy 'ari Radhiyallahu 'anhu berkata:

 أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِيءٌ مِنْ الْحَالِقَةِ , وَالصَّالِقَةِ , وَالشَّاقَّةِ 

"Aku berlepas diri orang-orang yang Rasulullah berlepas diri dari mereka. Sesungguhnya Rasulullah berlepas diri dari wanita yang mencukur rambutnya, wanita yang berteriak-teriak dan wanita yang merobek-robek baju (saat ditimpa musibah)" [HR. al-Bukhâri dan Muslim] 4.

Pelanggaran lain dalam bentuk mencela para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Banyak sekali ayat maupun hadits yang menerangkan keutaman Sahabat. Dan sebaliknya juga terdapat nash-nash yang mengharamkan melaknat dan mencaci para Sahabat. Secara khusus, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang dengan tegas umatnya mencela para Sahabat Radhiyallahu 'anhum:

 لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

 "Jangan kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang kalian mengimfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan sampai (nilainya) segegam (pahalanya) salah seorang mereka dan tidak pula separohnya" [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Maka, berdasarkan hadits ini, seorang mukmin wajib memuliakan mereka dan menyebut mereka dengan kebaikan serta menahan lisan dari mencela mereka. Peristiwa terbunuhnya 'Utsmân dan Husain Radhiyallahu 'anhuma menyebabkan terjadinya fitnah yang besar dan tersebarnya kedustaan yang banyak. Akibatnya, muncul berbagai bentuk kesesatan dan bid'ah-bid'ah, menjerumuskan sebagian generasi umat ini sejak dulu sampai sekarang. Beragam kedustaan dan kesesatan serta bid'ah-bid'ah semakin hari semakin bertambah dan berkembang. Dan telah menimbulkan berbagai akibat-akibat yang tidak mungkin kita urai dalam bahasan singkat ini.[11]

Imam al-Ghazâli rahimahullah dan ulama lainnya berkata : “Diharamkan para penceramah untuk meriwayatkan kisah terbunuhnya Husain Radhiyallahu 'anhuma, juga tentang hal-hal yang terjadi antara sesama para Sahabat dalam perselisihan dan pertikaian mereka. Karena, hal itu dapat memotivasi orang untuk membenci para Sahabat g dan mencela mereka. Mereka adalah teladan umat, dimana para ulama mendapatkan ilmu melalui mereka. Kemudian ilmu tersebut sampai kepada kita melalui para ulama yang mengambil ilmu dari mereka. Maka, orang yang mencela mereka adalah orang yang mencela diri dan agamanya”.

Ibnu Shalâh rahimahullah dan Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Para Sahabat seluruhnya adalah adil (terpercaya). Saat wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jumlah Sahabat mencapai seratus empat belas ribu (114.000) orang. Al-Qurân dan Hadits telah menyatakan akan keadilan (ketakwaan) dan kemuliaan mereka. Dan segala sesuatu yang terjadi di antara mereka, terdapat pertimbangan-pertimbangan (yang membuat mereka tidak dihukumi telah berbuat kesalahan murni, red) yang tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu dalam tulisan singkat ini.[12] Imam asy-Syafi’i rahimahullah : “Itu adalah peristiwa pertumpahan darah yang Allah menghindarkan tangan-tangan kita darinya. Maka hendaklah kita mensucikan lidah kita dari membicarakannya”.

Semoga Allah Azza wa Jalla melindungi kita dari berbagai bentuk kesesatan dan kebatilan, baik yang nyata maupun yang tersembunyi.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

________ Footnote

[1]. Penisbatan kepada nama Husain Radhiyallahu 'anhuma
[2]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 60
[3]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 56
[4]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 65
[5]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 66
[6]. al-Bidâyah wan Nihâyah (8/208)
[7]. Majâlisul Abrâr majlis no 37.
[8]. Ibid.
[9]. Diriwayatkan Imam ath-Thabari rahimahullah dalam Tafsirnya (13/39)
[10]. Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37.
[11]. Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37.
[12]. Lihat "Ash shawa'iq Al Muhriqoh" karangan Al Haitamy: 2/640.

 Dipublikasikan kembali oleh : budhyanto.blogspot.com

Rabu, 14 November 2012

HARI ASYURA 10 MUHARRAM ANTARA SUNNAH DAN BID’AH *

Oleh : Ustadz Aris Munandar bin S.Ahmadi

Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid'ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi.

أَنَّ عَائِشَةَ رَضِي الهُِ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ الهِن صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ …

 "Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa." [1]

 قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى الهُل بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ

 "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :"Apa ini?" Mereka menjawab :"Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :"Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu." [2]

Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa. Diriwayatkan pada hadits lain.

 وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى “

Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”[3]

 عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِي الهُل عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ

 “Abu Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu” [4]

 وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

 “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin” [5]


 CARA BERPUASA DI HARI ASYURA

1. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:

 خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ

 "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya." Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:

 صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا بِالْيَهُوْدِ

"Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi." Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma'al 2/76):"Ini adalah derajat yang paling sempurna." Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:"Inilah yang Utama." Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434 Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

 2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:

 صَامَ رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ الهِس إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:"Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi." Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.", tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat."[6] Dalam riwayat lain :

 لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ

 "Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan."[7].

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :

"Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim”

 عَنْ عَطَاء أَنَّهُ سَمِعَ ابْنِ عَبَاسٍ يَقُوْلُ: وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا التَّاسِعَ وَ الْعَاشِرَ

"Dari 'Atha', dia mendengar Ibnu Abbas berkata:"Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.

3. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram

 صُومُوا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا

"Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”

 Hadits marfu' ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat): -. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk. -. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah -. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu' Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma'tsurah karya As-Syafi'i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218. Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif hal 49):

"Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan…." Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):"Dan ini adalah akhir perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata :

"Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).", kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab." Ar-Rafi'i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :"Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11"

 4. Berpuasa pada 10 Muharram saja Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :"Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a'lam." 


BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA

1. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
3. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
4. Membakar kemenyan.
5. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
6. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu' Syarif)
7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
8. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
9. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):"Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid'ah." Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) :

 “Hadits anjuran memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”.

 Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan Rasul Nya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka” Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata :

“Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura, berhias, bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa. Adapun selainnya adalah bathil seperti.

 مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ

 “Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”. Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”. 

Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29 berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122 Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.

 غْتَسَلَ وَ تَطَهَّرَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِي سَنَتِهِ إِلاَّ مَرَضَ الْمَوْتِ

“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”. Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain. Adapun hadits,

 ِمَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا

“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya” 

Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu). Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata :

“Bercelak di hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu.

 Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari Asyura. Semoga kita bisa meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] _______ Footnote [*].

Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali

[1]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253

[2]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928

[3]. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if.

[4]. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289

[5]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285

[6]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391

[7]. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain

[8]. Abdurrazaq 4/287, Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 2/78, Baihaqi dalam Sunan Kubra 4/287 dan dalam Syu’abul Iman 3509 dari jalan Ibnu Juraij, Atha telah mengabariku …. Sanadnya shahih. Ada juga muttabi dalam riwayat Qasim Al-Bhagawi dalam Al-Hadits Ali Ibnil Ja’di 2/886 dengan sanad shahih

[9]. Hadits Dhaif, riwayat Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2095, Thahawi 2/78, Bazar 1052 dalam Kasyfil Atsar, Baihaqi 4/278, Thobary dalam Tahdzibul Atsar 1/215, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3/88

 Dipublikasikan kembali oleh : budhyato.blogspot.com
 

blogger templates | Make Money Online