Senin, 28 April 2008

Mewaspadai Bahaya Khalwat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما
“Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad 1/18, Ibnu Hibban [lihat Shahih Ibnu Hibban 1/436], At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184, dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/792 no. 430)


ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يخلون بامرأة ليس معها ذو محرم منها فإن ثالثهما الشيطان
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad dari hadits Jabir 3/339. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Gholil jilid 6 no. 1813)
لا يخلون رجل بامرأة إلا مع ذي محرم فقام رجل فقال يا رسول الله امرأتي خرجت حاجة واكتتبت في غزوة كذا وكذا قال ارجع فحج مع امرأتك
“Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut.’ Lalu berdirilah seseorang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini dan itu,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu.’” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim 2/975)
Faedah:
Kalau ada yang berkata, “Namun bagaimana dengan sebagian shohabiaat yang berhijrah dari Mekah ke Madinah tanpa mahrom?”
Tidaklah boleh bagi seorang wanita untuk bersafar tanpa mahrom kecuali tatkala hijrah dari Mekah ke Madinah karena keburukan dan bahaya yang ada di kota Mekah saat itu yang menyebabkannya lari lebih bahaya dan lebih buruk dari perkara yang ditakutkannya menimpa dirinya (jika ia bersafar tanpa mahrom). Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah bin Abi Ma’ith dan para wanita yang lain telah berhijrah dari Mekah ke Madinah tanpa mahrom. Demikian juga hadirnya seorang wanita dalam majelis persidangan di hadapan hakim tanpa mahrom, hal ini adalah darurat karena dikawatirkan hilangnya hak penuntut. Demikian juga tatkala seorang wanita yang belum nikah melakukan perzinahan maka ia disingkan tanpa mahromnya karena hal ini adalah hukuman hadd baginya. (Syarhul ‘Umdah 2/177-178).
Apa maksud perkataan Nabi “syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua”?
Al-Munawi berkata, “Yaitu syaitan menjadi penengah (orang ketiga) diantara keduanya dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah dihadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaitanpun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinahan.” (Faidhul Qodir 3/78).
As-Syaukani berkata, “Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena demikanlah ia telah diciptakan memiliki kecondongan kepada wanita, demikian juga karena sifat yang telah dimilikinya berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu syaitan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya maka terjadilah kemaksiatan.” (Nailul Autor 9/231).
Imam An-Nawawi berkata, “…Diharamkannya berkhalwat dengan seorang wanita ajnabiah dan dibolehkannya berkholwatnya (seorang wanita) dengan mahamnya, dan dua perkara ini merupakan ijma’ (para ulama).” (Al-Minhaj 14/153).
Apakah yang Dimaksud dengan Mahrom??
Berkata As-Suyuthi, “Para sahabat kami (para pengikut madzhab Syafi’i) mengatakan, Mahrom adalah wanita yang diharamkan untuk dinikahi untuk selama-lamanya baik karena nasab maupun dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan dan dikarenakan kemahroman wanita tersebut.” Definisi ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 9/413, dan ini merupakan definisi Imam An-Nawawi, (Al-Minhaj 14/153) dimana beliau berkata: المحرم هو كل من حرم عليه نكاحها على التأبيد لسبب مباح لحرمتها
Dari definisi ini maka diketahui bahwa:
1. (wanita yang diharamkan untuk dinikahi), maka bukanlah mahrom anak-anak paman dan anak-anak bibi (baik paman dan bibi tersebut saudara sekandung ayah maupun saudara sekandung ibu).
2. (untuk selama-lamanya), maka bukanlah mahrom saudara wanita istri dan juga bibi (tante) istri (baik tante tersebut saudara kandung ibu si istri maupun saudara kandung ayah si istri) karena keduanya bisa dinikahi jika sang istri dicerai, demikian juga bukanlah termasuk mahrom wanita yang telah ditalak tiga, karena ia bisa dinikahi lagi jika telah dinikahi oleh orang lain kemudian dicerai. Demikian juga bukanlah termasuk mahrom wanita selain ahlul kitab (baik yang beragama majusi, budha, hindu, maupun kepercayaan yang lainnya) karena ia bisa dinikahi jika masuk dalam agama Islam.
3. (dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan), maka bukanlah mahrom ibu yang dijima’i oleh ayah dengan jima’ yang syubhat (tidak dengan pernikahan yang sah) dan juga anak wanita dari ibu tersebut. Ibu tersebut tidak boleh untuk dinikahi namun ia bukanlah mahrom karena jima’ syubhat tidak dikatakan boleh dilakukan.
4. (dikarenakan kemahroman wanita tersebut), maka bukan termasuk mahrom wanita yang dipisah dari suaminya karena mula’anah (Mawahibul Jalil 4/116), karena wanita tersebut diharamkan untuk dinikahi kembali oleh suaminya yang telah melaknatnya selama-lamanya namun bukan karena kemahroman wanita tersebut namun karena sikap ketegasan dan penekanan terhadap sang suami. (Al-Asybah wan Nadzoir 1/261).
Dan jika telah jelas bahwa sang wanita adalah mahromnya maka tidak boleh baginya untuk menikahinya dan boleh baginya untuk memandangnya dan berkhalwat dengannya dan bersafar menemaninya, dan hukum ini mutlak mencakup mahrom yang disebabkan karena nasab atau karena persusuan atau dikarenakan pernikahan. (Al-Asybah wan Nadzoir 1/262).
Peringatan:
Berkata Imam An-Nawawi, “Yang dimaksud mahrom dari sang wanita ajnabiah yang jika ia berada bersama sang wanita maka boleh bagi seorang pria untuk duduk (berkhalwat) bersama wanita ajnabiah tersebut, disyaratkan harus merupakan seseorang yang sang pria ajnabi sungkan (malu/tidak enak hati) dengannya. Adapun jika mahrom tersebut masih kecil misalnya umurnya dua atau tiga tahun atau yang semisalnya maka wujudnya seperti tidak adanya tanpa ada khilaf.” (Al-Majmu’ 4/242).
Apakah yang Dimaksud dengan Khalwat?
Anas bin Malik berkata,
جاءت امرأة من الأنصار إلى النبي صلى الله عليه وسلم فخلا بها فقال والله إنكم لأحب الناس إلي
“Datang seorang wanita dari kaum Ansor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkhalwat dengannya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Demi Allah kalian (kaum Anshor) adalah orang-orang yang paling aku cintai.’” (HR. Al-Bukhari no. 5234, Kitabun Nikah)
Imam Al-Bukhori memberi judul hadits ini dengan perkataannya,باب ما يجوز أن يخلو الرجل بالمرأة عند الناس “Bab: Dibolehkannya seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita jika di hadapan khalayak.”
Ibnu Hajar berkata, “Imam Al-Bukhori menyimpulkan hukum (dalam judul tersebut dengan perkataannya) “di hadapan khalayak” dari perkataan Anas bin Malik dari riwayat yang lain (*) “Maka Nabi pun berkhalwat dengannya di sebagian jalan atau sebagian السكك (sukak).” Dan السكك, adalah jalan digunakan untuk berjalan yang biasanya selalu dilewati manusia.”
(*) Diantaranya diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/1812):
عن أنس أن امرأة كان في عقلها شيء فقالت يا رسول الله إن لي إليك حاجة فقال يا أم فلان انظري أي السكك شئت حتى أقضي لك حاجتك فخلا معها في بعض الطرق حتى فرغت من حاجتها
“Dari Anas bin Malik bahwasanya seorang wanita yang peikirannya agak terganggu berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, ‘Wahai Rasulullah, saya punya ada perlu denganmu,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Wahai Ummu fulan, lihatlah kepada jalan mana saja yang engkau mau hingga aku penuhi keperluanmu.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkhalwat dengan wanita tersebut di sebuah jalan hingga wanita tersebut selesai dari keperluannya.”
Ibnu Hajar berkata, “Yaitu ia tidak berkhalwat dengan wanita tersebut hingga keduanya tertutup dari pandangan khalayak (tersembunyi dan tidak kelihatan-pen), namun maksudnya dibolehkan khalwat jika (mereka berdua kelihatan oleh khalayak) namun suara mereka berdua tidak terdengar oleh khalayak karena ia berbicara dengannya perlahan-lahan, contohnya karena suatu perkara yang wanita tersebut malu jika ia menyebutkan perkara tersebut di hadapan khalayak.”
Ibnu Hajar menjelaskan bahwasanya ada khalwat yang diharamkan dan ada khalwat yang diperbolehkan:
1. Khalwat yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama wanita tersebut, yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga sebagaimana penjelasan Al-Muhallab, “Anas tidak memaksudkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala itu, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang di sekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita tersebut. Oleh karena itu Anas mendengar akhir dari pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita tersebut lalu iapun menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita itu karena ia tidak mendengarnya.” (Fathul Bari 9/413. Adapun perkataan Imam Nawawi bahwa “kemungkinan wanita tersebut adalah mahrom Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti Ummu Sulaim dan saudara wanitanya.” (Al-Minhaj 16/68), maka kuranglah tepat karena sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim bahwa wanita tersebut pikirannya agak terganggu, dan ini bukanlah merupakan sifat Ummu Sulaim).
2. Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia. Berkata Al-Qodhi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniah tentang sifat penegak amar ma’ruf nahi mungkar, “Jika ia melihat seorang pria yang berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati (orang-orang) dan tidak nampak dari keduanya tanda-tanda yang mencurigakan maka janganlah ia menghardik mereka berdua dan janganlah ia mengingkari. Namun jika mereka berdua berdiri di jalan yang sepi maka sepinya tempat mencurigakan maka ia boleh mengingkari pria tersebut dan hendaknya ia jangan segera memberi hukuman terhadap keduanya khawatir ternyata sang pria adalah mahrom sang wanita. Hendaknya ia berkata kepada sang pria -jika ternyata ia adalah mahrom sang wanita- jagalah wanita ini dari tempat-tempat yang mencurigakan. -Dan jika ternyata wanita tersebut adalah wanita ajnabiah- hendaknya ia berkata kepada sang pria, ‘Aku ingatkan kepadamu dari bahaya berkhalwat dengan wanita ajnabiah yang bisa menjerumuskan.’”
Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata:
والخلوة المحرمة هي ما كانت مع إغلاق لدار أو حجرة أو سيارة ونحو ذلك أو مع استتار عن الأعين، فهذه خلوة محرمة وكذا ضبطها الفقهاء
“Dan khalwat yang diharamkan adalah jika disertai dengan menutup (mengunci) rumah atau kamar atau mobil atau yang semisalnya atau tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang terlarang, dan demikianlah para ahli fikh mendefinisikannya.”
Jadi khalwat yang diharamkan ada dua bentuk sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Sholeh Alu Syaikh. Dan bukanlah merupkan kelaziman bahwa ruangan yang tertutup melazimkan juga tertutupnya dari pandangan khalayak.
Jika ada yang mengatakan, “Berdasarkan definisi khalwat yang diharamkan di atas maka berdua-duaannya seorang wanita dan pria di emperan jalan-jalan raya bukanlah khalwat yang diharamkan karena semua orang memandang mereka??”
Memang benar hal itu bukanlah merupakan khalwat yang diharamkan, namun ingat diantara hikmah diharamkan khalwat adalah karena khalwat merupakan salah satu sarana yang mengantarakan kepada perbuatan zina, sebagaimana mengumbar pandangan merupakan awal langkah yang akhirnya mengantarkan pada perbuatan zina. Oleh karena itu bentuk khalwat yang dilakukan oleh kebanyakan pemuda meskipun jika ditinjau dari hakikat khalwat itu sendiri bukanlah khalwat yang diharamkan, namun jika ditinjau dari fitnah yang timbul akibat khalwat tersebut maka hukumnya adalah haram. Para pemuda-pemudi yang berdua-duaan tersebut telah jatuh dalam hal-hal yang haram lainnya seperti saling memandang antara satu dengan yang lainnya, sang wanita mendayu-dayukan suaranya dengan menggoda, belum lagi pakaian sang wanita yang tidak sesuai dengan syari’at, dan lain sebagaianya yang jauh lebih parah. Khalwat yang asalnya dibolehkan ini namun jika tercampur dengan hal-hal yang haram ini maka hukumnya menjadi haram. Khalwat yang tidak aman dari munculnya fitnah maka hukumnya haram.
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini (yaitu hadits Anas di atas) menunjukan akan bolehnya berbincang-bincang dengan seorang wanita ajnabiah (bukan mahrom) dengan pembicaraan rahasia (diam-diam), dan hal ini bukanlah celaan terhadap kehormatan agama pelakunya jika ia aman dari fitnah. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Aisyah وأيكم يملك إربه كما كان النبي يملك إربه “Dan siapakah dari kalian yang mampu menahan gejolak nafsunya sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menahan syahwatnya.” (Fathul Bari 9/414).
Sa’id bin Al-Musayyib berkata,
لقد بلغت ثمانين سنة وأنا أخوف ما أخاف على النساء
“Aku telah mencapai usia delapan puluh tahun dan yang paling aku takutkan adalah para wanita.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Musonnaf-nya 7/17, ia berkata, “Telah menyampaikan kepada kami Aswad bin ‘Amir, (ia berkata), ‘Telah menyampaikan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Ali bin Zaid dari Sa’id bin Al-Musayyib…’”).
Dalam riwayat yang lain dari Ali bin Zaid bin Jad’an bahwasanya Sa’id berkata, “Tidaklah syaitan berputus asa dari (menggoda) sesuatu kecuali ia mencari jalan keluar dengan mempergunakan para wanita (sebagai senjatanya untuk menggoda)”, Ali bin Zaid bin Jad’an berkata, “Kemudian Sa’id berkata (padahal waktu itu ia telah berumur 84 tahun dan matanya yang satu tidak bisa digunakan untuk melihat lagi, dan mata yang satunya lagi rabun): ‘Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan daripada para wanita.’” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4/373 no. 5452 dengan sanadnya hingga Ali bin Al-Madini dari Sufyan dari Ali bin Zaid bin Jad’an).
Rasulullah bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidak pernah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya terhadap kaum pria daripada finah para wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 [Kitabun Nikah] dan Mulim no. 97,98 [Kitab Adz-Dzikir])
Abdurrouf Al-Munawi mengomentari hadits ini, “Hal ini dikarenakan seorang wanita tidaklah menyuruh suaminya kecuali kepada perkara-perkara yang buruk, dan tidak memotivasinya kecuali untuk melakukan keburukan, dan bahaya wanita yang paling minimal adalah ia menjadikan suaminya cinta kepada dunia hingga akhirnya binasa dalam dunianya, dan kerusakan apa yang lebih parah dari hal ini, belum lagi wanita adalah sebab timbulnya mabuk asmara dan fitnah-fitnah yang lainnya yang sulit untuk dihitung.”
Ibnu Abbas berkata,
لم يكفر من كفر ممن مضى إلا من قبل النساء وكفر من بقي من قبل النساء
“Tidaklah kafir orang-orang terdahulu kecuali dikarenakan para wanita dan demikian juga dengan orang-orang yang di masa mendatang.”
Para raja mengirimkan hadiah-hadiah kepada para ahli fikih maka mereka pun menerima hadiah tersebut, adapun Fudhail ia menolak hadiah tersebut. Istrinya pun berkata kepadanya, “Engkau menolak sepuluh ribu (dinar atau dirham) padahal kita tidak memiliki makanan untuk dimakan pada hari ini?”, Fudhail pun menimpali, “Permisalan antara aku dan engkau (wahai istriku) sebagaimana suatu kaum yang memiliki seekor sapi yang mereka membajak dengan menggunakan sapi tersebut, tatkala sapi tersebut telah tua maka mereka pun menyembelihnya. Demikianlah aku, engkau ingin menyembelihku setelah aku mencapai usia senja, lebih baik engkau mati dalam keadaan lapar sebelum engkau menyembelih Fudhail.” (Al-Faidul Qodir 5/436).
Dari Imron bin Abdillah, Sa’id bin Al-Musayyib berkata,
ما خفت على نفسي شيئا مخافة النساء
“Tidaklah aku takut pada sesuatu menimpa diriku sebagaimana ketakutanku kepada (fitnah) para wanita.”
Para sahabat beliau berkata,
يا أبا محمد إن مثلك لا يريد النساء ولا تريده النساء قال هو ما أقول لكم
“Wahai Abu Muhammad, orang yang sepertimu tidak menghendaki para wanita dan para wanita pun tidak menghendakinya!”
Sa’id berkata, “Kenyataannya sebagaimana yang telah aku katakan kepada kalian.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tobaqoot Al-Kubro (5/136) ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin ‘Ashim, ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Salam bin Miskin, ia berkata, “Telah menyampaikan kepada kami ‘Imron bin ‘Abdillah,” ‘Ato’ berkata,
لو ائتمنت على بيت مال لكنت أمينا ولا آمن نفسي على أمة شوهاء
“Jika aku diberi kepercayaan untuk menjaga baitul mal (tempat penyimpanan harta kaum muslimin) maka aku akan menjalankan amanah tersebut, namun aku tidak bisa menjamin diriku dari seorang budak wanita yang cantik.”
Imam Ad-Dzahabi mengomentari perkataan ‘Ato ini,
صدق رحمه الله ففي الحديث ألا لايخلون رجل بامرأة فإن ثالثهما الشيطان
“Sungguh benar perkataan ‘Ato’ -semoga Allah merahmati beliau- sebagaimana telah disebutkan dalam hadits, ‘Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.’” (Siyar A’lam An-Nubala 5/87-88).
Maka sungguh benarlah perkataan Ahmad bin ‘Ashim Al-Anthoki (beliau meninggal tahun 239 H),
من كان بالله أعرف كان منه أخوف
“Barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka ia akan lebih takut kepada Allah.” (Al-Bidayah wan Nihayah 10/318, Bugyatut Tolab fi Tarikh Al-Halab 2/750).
Lihatlah para salaf seperti Sa’id bin Al-Musayyib yang tidaklah pernah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa’id telah berada di mesjid (Tahdzibut Tahdzib 4/87), demikian juga ‘Ato yang Ibnu Juraij berkata tentangnya,
كان المسجد فراش عطاء عشرين سنة وكان من أحسن الناس صلاة
“Mesjid adalah tempat tidur ‘Ato’ selama dua puluh tahun, dan beliau adalah orang yang paling baik sholatnya.” (Siyar A’lam An-Nubala 5/84, Tahdzibul Kamal 20/80, Tarikh Ibnu ‘Asakir 40/392, Hilyatul Auliya’ 3/310).
Dengan ibadah mereka yang luar biasa tersebut maka mereka lebih mengenal Rob mereka shingga mereka lebih takut kepada Allah, takut kalau diri mereka terjerumus dalam kemaksiatan. Tidak sebagaimana halnya sebagian kaum muslimin yang merasa percaya diri untuk terselamatkan dari fitnah, apalagi fitnah yang sangat berbahaya yaitu fitnah wanita???
Dan diharamkan berkhalwatnya seseorang dengan lawan jenisnya yang bukan merupakan mahromnya, dan hal ini umum mencakup seluruh bentuk, dan sama saja apakah disertai nafsu syahwat ataupun tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berkhalwat secara mutlak baik disertai syahwat maupun tidak.
Dikatakan kepada Abul Qosim An-Nasr Abadzi, “Sebagian orang duduk (bergaul) dengan para wanita dan mereka berkata, “Saya bisa terjaga untuk tidak memandang mereka.” Ia pun berkata, “Selama jasad masih utuh maka perintah dan larangan juga tetap berlaku dan penghalalan dan pengharaman juga tetap ditujukan dengan keduanya (yaitu perintah dan larangan) dan tidaklah memberanikan diri kepada syubhat-syubhat kecuali orang yang menjerumuskan dirinya untuk jatuh dalam hal-hal yang haram.” (Syaradzatuz Dzahab 3/58, Tobaqoot As-Sufiah 1/364).
Peringatan:
1. Diharamkan berkhalwatnya seorang wanita dengan hewan yang bisa tertarik dan bernafsu kepada seorang wanita seperti monyet, karena dikawatirkan terjadinya fitnah (hal yang tidak diinginkan) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Aqil dan Ibnul Jauzi, serta Syaikh Taqiyuddin. (Kasyful Qina’ 5/16).
2. Orang yang banci bersama seorang wanita hukumnya ia seperti seorang pria (maka berlaku hukum-hukum khalwat), dan demikian juga jika bersama banyak wanita. Dan jika bersama seorang pria maka ia hukumnya seperti seorang wanita, demikian juga jika ia bersama banyak lelaki, dalam rangka untuk berhati-hati. (Al-Majmu’ 4/241).
3. Berkhalwat dengan seorang amrod (anak muda yang belum tumbuh rambut wajahnya) yang berparas tampan hukumnya sebagaimana khalwat bersama seorang wanita, meskipun khalwat tersebut untuk kemaslahatan belajar mengajar atau pendidikan. Imam Ahmad berkata kepada seseorang yang berjalan bersama seorang anak yang tampan yang merupakan keponakan orang tersebut; “Menurutku hendaknya engkau tidak berjalan bersamanya di jalan.” Ibnul Jauzi berkatam “Para salaf berkata tentang amrod: “وهو أشد فتنة من العذارى” “Fitnahnya lebih besar daripada fitnah wanita perawan.” (Kasyful Qona’ 5/16). Berkata Ibnu Katsir, “Banyak salaf yang mengatakan bahwa mereka melarang seorang pria menajamkan pandanganya (menatapi dengan serius) kepada amrod.” (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir surat 24 ayat 30). Berkata Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah), “Barangsiapa yang mengulangi pendangannya kepada amrod dan terus memandangnya lantas ia berkata ‘Aku tidak memandangnya dengan syahwat,’ maka ia telah berdusta.” (Matholib Ulin Nuha 5/19). Berkata Imam An-Nawawi, “Imam As-Syafi’i menyatakan akan haramnya memandang (wajah) amrod, dan jika memandang saja haram maka berkhalwat dengan amrad lebih haram lagi karena hal itu lebih jelek dan lebih dekat kepada mafsadah dan hal yang dikawatirkan (jika berkhalwat bersama seorang wanita) juga ada (jika berkhalwat dengan amrod.” (Al-Majmu’ 4/241).
Hukum Memandang Amrod (Mukhtasor Al-Fatawa Al-Mishriyah 1/29-30)
Berkata Ibnu Taimiyah, “Memandang amrod dengan syahwat hukumnya haram dan ini merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, demikian juga memandang kepada para wanita yang merupakan mahrom (namun dengan syahwat) dan berjabat tangan dengan mereka serta berledzat-ledzat dengan mereka. Barangsiapa yang mengatakan bahwa hal ini adalah ibadah maka ia telah kafir, dan dia seperti orang yang menjadikan bantuan kepada orang yang ingin berbuat nista sebagai ibadah, bahkan memandang kepada pepohonan, kuda, dan hewan-hewan jika dengan perasaan menganggap indah dan baik dunia, kekuasaan dan kepemimpinan, seta harta benda, maka pandangan seperti ini tercela sebagaimana firman Allah:
ولا تمدن عينيك إلى ما متعنا به أزواجا منهم زهرة الحياة الدنيا لنفتنهم فيه ورزق ربك خير وأبقى
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. 20:131)
Adapun jika pandangan tersebut dengan perasaan tanpa merendahkan agama, namun dengan pandangan tersebut timbul rileks jiwa seperti memandang bunga-bunga maka ini termasuk kebatilan yang dimanfaatkan untuk kebenaran.
Terkadang seseorang memandang kepada orang lain karena keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh orang yang dipandang tersebut maka pandangan yang seperti ini patokannya adalah hati dan amal orang yang dipandang tersebut bukan karena rupa orang itu.
Terkadang seseorang memandang orang tersebut karena keindahan rupa orang tersebut sehingga mengingatkan dia akan Dzat yang menciptakan rupa tersebut (yaitu Allah) maka pendangan seperti ini baik.
Terkadang seseorang memandang orang lain hanya karena keindahan rupanya. Maka masing-masing model memandang di atas kapan saja disertai dengan nafsu maka hukumnya haram tanpa diragukan lagi, sama saja apakah syahwat yang menimbulkan syahwat untuk berjima’ ataupun tidak. Dan berbeda antara perasaan seseorang tatkala memandang bunga-bunga dengan perasaannya tatkala memandang wanita dan amrod, dikarenakan perbedaan ini maka dibedakan juga dalam hukum syar’inya, maka jadilah memandang kepada amrod ada tiga macam:
1. Jika pandangan tersebut disertai dengan syahwat maka hukumnya adalah haram.
2. Yang dibolehkan karena tidak disertai dengan syahwat seperti seseorang yang wara’ yang memandang kepada putranya yang tampan dan putrinya yang cantik. Pandangan yang seperti ini tidak disertai dengan syahwat kecuali dilakukan oleh orang yang paling fajir. Kapan saja pandangan ini disertai dengan syahwat maka hukumnya adalah haram. Oleh karena itu barangsiapa yang hatinya tidak condong kepada amrod sebagaimana para sahabat, sebagaimana sebuah umat yang tidak pernah mengenal kemaksiatan yang nista ini. Seorang dari mereka tidak membedakan antara pandangannya kepada wajah amrod dengan pandangannya kepada putranya, putra tetangganya, anak kecil ajnabi. Sama sekali tidak terbetik dihatinya syahwat, karena ia tidak terbiasa dengan hal itu, hatinya bersih. Budak-budak wanita di zaman para sahabat keluar berjalan di jalan-jalan dalam keadaan terbuka wajah-wajah mereka dan mereka melayani (membantu) para lelaki dan hati-hati mereka dalam keadaan bersih. Kalau di negeri ini dan saat ini ada orang yang ingin membiarkan budak-budak wanitanya dari Turki berjalan di jalan-jalan maka akan timbul kerusakan. Demikian pula dengan amrod-amrod yang tampan, tidak dibenarkan untuk keluar di tempat-tempat dan di waktu-waktu yang dikhawatirkan mereka akan terkena fitnah kecuali sebatas keperluan. Maka tidaklah mungkin pemuda amrod yang tampan berjalan santai atau duduk di tempat pemandian umun diantara lelaki asing…
3. Hanyalah timbul perbedaan pendapat diantara para ulama pada jenis yang ketiga yaitu memandang kepada para amrod tanpa disertai syahwat, namun ada kekawatiran akan timbulnya gejolak syahwat, maka ada dua pendapat pada madzhab Imam Ahmad. Dan yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah pendapat yang juga merupakan pernyataan Imam As-Syafi’i dan yang lainnya yaitu tidak boleh. Pendapat yang kedua boleh, karena yang merupakan asal adalah tidak timbulnya gejolak syahwat. Pendapat pertamalah yang lebih benar.
Barangsiapa yang berlama-lama memandang amrod lalu mengatakan bahwa ia tidak memandangnya dengan syahwat maka ia telah berdusta, karena kalau memang tidak ada sesuatu (yaitu syahwat) yang mendorongnya untuk terus memandang tentunya ia tidak akan memandang. Sesungguhnya ia tidak mengulangi pandangannya kepada amrod kecuali karena ada keledzatan yang terdapat dalam hatinya.”
Hukum berkhalwatnya seorang pria dengan beberapa wanita tanpa mahrom
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum berkhalwatnya seorang pria dengan wanita ajnabiah jika jumlah wanita tersebut lebih dari satu, demikian juga sebaliknya (berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki ajnabi).
Berkata Imam An-Nawawi, “Tidak ada perbedaan tentang diharamkannya berkhalwat antara tatkala sholat maupun di luar sholat.” (Al-Majmu’ 4/242).
Imam An-Nawawi berkata, “Berkata para sahabat kami (yang bermadzhab Syafi’i), jika seorang pria mengimami seorang wanita yang merupakan mahromnya dan berkhalwat dengannya maka tidaklah mengapa dan sama sekali tidak makruh karena boleh baginya untuk berkhalwat dengannya di luar shalat. Dan jika ia mengimami seorang wanita ajnabiah dan berkhalwat dengannya maka hukumnya adalah haram… dan jika ia mengimami banyak wanita yang ajnabiah dengan kondisi berkhalwat bersama mereka maka ada dua pendapat. Jumhur ulama berpendapat akan bolehnya hal itu… karena para wanita yang berkumpul biasanya tidak memungkinkan seorang laki-laki untuk berbuat sesuatu hal yang buruk terhadap salah seorang dari mereka dihadapan mereka. Imamul Haromain dan penulis buku Al-’Uddah menukil bahwasanya Imam As-Syafii menyatakan bahwa diharamkannya seorang pria mengimami beberapa wanita kecuali diantara wanita tersebut ada mahrom pria tersebut atau istrinya. Dan Imam As-Syafii meyakinkan akan haramnya berkhalwatnya seorang pria dengan para wanita kecuali jika ada mahrom pria tersebut bersama mereka.” (Al-Majmu’ 4/241).
Renungkanlah betapa tegasnya Imam As-Syafii dalam pengharaman kholwat antara wanita dan pria, sampai-sampai beliau mengharamkan seorang laki-laki mengimami para wanita (dalam keadaan berkhalwat dengan mereka) kecuali jika ada diantara wanita tersebut mahrom sang imam atau istri sang imam. Padahal ini dalam keadaan beribadah yang sangat agung (yaitu sholat) yang tentunya orang yang sedang sholat jauh dari pikiran-pikiran yang kotor, selain itu sang imam pun berada di depan dan para wanita berada dibelakangnya sehingga ia tidak melihat mereka, namun demikian Imam Syafi’i tetap mengharamkan hal ini.
Berkata As-Sarkashi, “…Kemakruhan (atau keharoman) hal ini (menurut Imam As-Syafi’i-pen) tidak akan hilang hingga ada diantara para wanita tersebut mahrom mereka, sebagaimana dalam hadits Anas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sholat mengimami mereka di rumah mereka, Anas pun berkata, “Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan aku dan seorang anak yatim di belakangnya (pada shaf pertama) dan menjadikan ibuku dan Ummu Sulaim di belakang kami.” (HR. Al-Bukhari 1/149, Muslim 1/457)(*). Karena dengan adanya mahrom hilanglah kekhawatiran akan timbulnya fitnah, dan hal sama saja apakah mahrom tersebut adalah mahrom bagi semua wanita tersebut atau hanya merupakan mahrom bagi sebagian mereka dan diperbolehkan sholat dalam seluruh keadaan tersebut, karena kebencian (terhadap khalwat tersebut) berada jika di luar sholat.” (Al-Mabshuth karya As-Sarkashi 1/166).
(*) Lengkap haditsnya (-ed):
عن أنس بن مالك أن جدته مليكة دعت رسول الله صلى الله عليه وسلم لطعام صنعته له فأكل منه ثم قال قوموا فلأصل لكم قال أنس فقمت إلى حصير لنا قد اسود من طول ما لبس فنضحته بماء فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم وصففت أنا واليتيم وراءه والعجوز من ورائنا فصلى لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ركعتين ثم انصرف
“Dari Anas bin Malik ia berkata bahwasanya neneknya (yang bernama) Mulaikah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memakan makanan yang telah dibuatnya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi pun memakannya kemudian ia shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Marilah sholat aku akan mengimami kalian.’ Anas berkata, ‘Maka akupun mengambil sebuah tikar milik kami yang sudah menghitam karena telah lama dipakai lalu akupun memercikkan air pada tidak tersebut.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri (untuk sholat) dan aku bersama seorang anak yatim berdiri satu shaf di belakang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang yang tua (yaitu nenek beliau) di belakang kami. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sholat dua rakaat kemudian beliau berpaling (selesai dari sholat).”
Peringatan:
Berkata Imam An-Nawawi, “Dan sama hukumnya tentang diharamkannya berkhalwat antara orang yang buta dengan orang yang bisa melihat.” (Al-Majmu’ 4/242).
1. Beliau juga berkata, “Ketahuilah bahwasanya mahrom yang dengan keberadaannya bersama sang wanita membolehkan untuk duduk (berkhalwat) dengan sang wanita adalah sama saja baik mahrom tersebut adalah mahrom sang pria maupun mahrom sang wanita, atau yang semakna dengan mahrom seperti suami sang wanita atau istri sang pria, wallahu a’lam.” (Al-Majmu’ 4/242).
2. Diharamkannya berkhalwatnya seorang wanita dengan seorang pria meskipun dengan alasan dalam rangka pengobatan kecuali bersama wanita tersebut mahrom, atau suaminya, atau wanita tsiqoh (yang bisa dipercaya). Karena kenyataan yang banyak terjadi memang benar terkadang hanya terdapat dokter lelaki yang bisa menangani penyakit seorang wanita dengan penanganan yang baik dan terjamin walaupun karena darurat maka sang dokter harus melihat aurat wanita tersebut. Namun yang perlu diperhatikan tidak semua pengobatan keadaannya darurat yang mengharuskan tidak boleh sang wanita ditemani oleh mahromnya. Apalagi merupakan kenyataan yang menyedihkan banyak dari para wanita yang jika mereka bertemu dengan dokter pria maka seakan-akan dokter tersebut adalah mahromnya.
Hukum Berkhalwatnya Seorang Wanita dengan Beberapa Lelaki (lebih dari satu orang)
عبد الله بن عمرو بن العاص حدثه أن نفرا من بني هاشم دخلوا على أسماء بنت عميس فدخل أبو بكر الصديق وهي تحته يومئذ فرآهم فكره ذلك فذكر ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم وقال لم أر إلا خيرا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد برأها من ذلك ثم قام رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر فقال لا يدخلن رجل بعد يومي هذا على مُغِيْبَةٍ إلا ومعه رجل أو اثنان
“Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash bahwasanya beberapa orang dari bani Hasyim masuk (menemui) Asma’ binti ‘Umais, lalu Abu Bakar masuk -dan tatkala itu Asma’ telah menjadi istri Abu Bakar As-Siddiq- lalu Abu Bakar melihat mereka dan ia membenci hal itu, lalu iapun menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia berkata, ‘Aku tidak melihat sesuatu kecuali kebaikan.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah menyatakan kesuciannya dari perkara tersebut (perkara yang jelek),’ kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar dan berkata, ‘Setelah hari ini tidaklah boleh seorang laki-laki menemui mughibah (yaitu seorang wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah) kecuali bersamanya seorang laki-laki (yang lain) atau dua orang.’” (HR. Muslim 4/1711, Shahih Ibnu Hibban 12/398).
Yang dimaksud dengan mughibah adalah wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah, baik karena sedang bersafar keluar kota maupun keluar dari rumah namun masih dalam kota, dalilnya adalah hadits ini. Dikatakan bahwa Abu Bakar sedang tidak berada di rumah, bukan sedang keluar kota. (Al-Minhaj 4/155).
Berkata Imam An-Nawawi, “Dzohir dari hadits ini menunjukan akan bolehnya berkhalwatnya dua atau tiga orang lelaki dengan seorang wanita ajnabiah, dan yang masyhur menurut para sahabat kami (yaitu penganut madzhab syafi’iah) akan haramnya hal ini. Oleh karena itu hadits ini (bolehnya berkhalwat) dibawakan kepada kepada sekelompok orang yang kemungkinannya jauh untuk timbulnya kesepakatan diantara mereka untuk melakukan perbuatan nista karena kesholehan mereka, atau muru’ah mereka dan yang lainnya.” (Al-Minhaj 4/155).
Adapun para ulama yang mengatakan akan bolehnya berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki mereka menyaratkan bahwa para lelaki tersebut merupakan orang-orang yang terpercaya dan tidak bersepakat untuk melakukan hal yang nista terhadap wanita tersebut.
Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun berkholwatnya dua orang lelaki atau lebih dengan seorang wanita maka yang masyhur adalah haramnya hal ini dikarenakan bisa jadi mereka para lelaki tersebut bersepakat untuk melakukan hal yang keji (zina) terhadap wanita itu. Dan dikatakan bahwa jika mereka adalah termasuk orang-orang yang jauh dari perbuatan seperti itu maka tidak mengapa.” (Al-Majmu’ 4/241).
Peringatan:
Diantara perkara yang dianggap remeh oleh masyarakat namun sangat berbahaya adalah berkhalwatnya kerabat suami (yang bukan mahrom istri) dengan istrinya.
عن عقبة بن عامر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إياكم والدخول على النساء فقال رجل من الأنصار يا رسول الله أفرأيت الحمو قال الحمو الموت
“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Waspadailah diri kalian dari masuk (menemui) para wanita!’, lalu berkatalah seseorang dari kaum Anshor, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu dengan Al-Hamwu?’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Al-Hamwu adalah maut (kematian).’” (HR. Al-Bukhari no. 5232)
Berkata Ibnu Hajar, “Larangan masuk (terhadap kerabat suami) untuk menemui para wanita menunjukan bahwa larangan untuk berkhalwat lebih utama untuk dilarang (min bab aula).” (Fathul Bari 9/411).
Imam Nawawi berkata, “Para ulama bahasa telah sepakat bahwa الأحماء Al-Ahmaa’ adalah karib kerabat suami seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, sepupu, dan yang semisalnya, dan الأختان Al-Akhtan adalah karib kerabat dari istri, dan الأصهار Al-Ashhar mencakup keduanya (Al-Ahmam dan Al-Akhtaan)…dan yang dimaksud dengan Al-Ahmam disini adalah kerabat karib suami selain ayahnya dan anak-anaknya(*), karena mereka adalah mahrom bagi sang istri dan boleh bagi mereka untuk berkhalwat dengannya dan mereka tidak disifati dengan maut, namun yang dimaksudkan di sini adalah saudara laki-laki sang suami, paman, sepupu, dan yang semisalnya yang bukan merupakan mahrom bagi sang wanita dan kebiasaan masyarakat mereka menggampangkan hal ini (kurang peduli) dan membiarkan seseorang berkhalwat dengan istiri saudaranya. Inilah maut, dan kerabat seperti ini lebih utama untuk dilarang daripada laki-laki asing (yang tidak ada hubungan kerabat).” (Al-Minhaj 14/154).
(*) Adapun Al-Maziri, maka beliau menyatakan bahwa makna Al-Hamwu adalah bapak suami, dan pendapat inipun diikuti oleh Ibnul Atsir dalam An-Nihayah, namun dzahirnya Ibnul Atsir juga tidak membatasi makna Al-Hamwu pada bapak sang suami tapi ia memang Al-Hamwu itu adalah umum mencakup seluruh kerabat suami tanpa mengecualikan bapak dan anak-anak suami. Beliau berkata, Al-Hamwu, “Kerabat-kerabat suami.” (An-Nihayah 1/440) Berkata Imam An-Nawawi, “Ini adalah pendapat yang rusak dan tertolak.” (Al-Minhaj 14/154). Ibnu Hajar menjelaskan bahwa penafsiran dan penjelasan para imam menunjukan bahwa pendapat ini bukanlah pendapat yang rusak. (Fathul Bari 9/412).
Al-Maziri mengisyaratkan bahwa disebutkannya bapak suami untuk dilarang masuk menemui mughibah sebagai peringatan bahwa pelarangan terhadap selain bapak suami terlebih lagi. (Al-Fath 9412).
Ibnul Atsir berkata, “Jika menurut sang suami bahwa bapaknya adalah maut (jika masuk ke dalam rumahnya dan ia dalam keadaan tidak di rumah) -padahal ia adalah mahrom istrinya- bagaimana jika yang masuk adalah orang asing??!, maksudnya yaitu ‘Lebih baik ia (sang istri) mati saja dan janganlah ia (sang istri) melakukannya (membiarkan ada yang masuk rumahnya tanpa kehadiran sang suami)’…, ia berkata, ‘Maknanya adalah berkhalwatnya Al-Hamwu bersama sang istri lebih berbahya daripada berkhalwat dengan orang asing, karena terkadang jika Al-Hamwu tersebut berbuat baik pada sang istri atau memintanya untuk melakukan perkara-perkara yang menurut suami adalah hal yang berat seperti mencari sesuatu yang di luar kemampuan sang suami maka jadilah rusaklah hubungan antara suam istri karena hal itu. Dan karena seorang suami tidak suka jika Al-Hamwu mengetahui urusan dalam keluarganya jika ia masuk dalam rumahnya.” (An-Nihayah 1/440).
Ibnu Hajar mengomentari perkataan Ibnul Atsir ini, “Seakan-akan perkataannya Al-Hamwu maut yaitu mesti terjadi dan tidak mungkin mencegah sang istri dari masuknya Al-Hamwu, sebagaimana kematian itu tidak bisa dihindari. Dan pendapat yang terakhir ini dipilih oleh Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah) dalam Syarhul ‘Umdah.” (Al-Fath 9/413).
Makna Perkataan Al-Hamwu adalah Maut (kematian)
Imam An-Nawawi berkata, “Maknanya bahwa ketakutan terhadap Al-Hamwu lebih daripada terhadap yang lainnya, dan kerusakan lebih mungkin terjadi dan fitnah lebih besar karena memungkinkannya untuk sampai kepada sang wanita dengan tanpa diingkari. Berbeda dengan seseorang yang asing (yang tidak punya hubungan kerabat dengan suami).”
Ibnul ‘Arabi berkata, “Ini adalah ungkapan yang dikatakan oleh orang-orang Arab, sebagaimana dikatakan “Singa adalah maut (kematian)”, yaitu bertemu dengannya seperti kematian”. Berkata Al-Qodhi, “Maknanya bahwa berkhalwat dengan Al-Ahma’ menjerumuskan kepada fitnah dan kebinasaan dalam agama, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun menjadikan perkara ini seperti kebinasaan, maka ungkapan seperti ini untuk penegasan dengan keras.” (Perkataan kedua ulama ini dinukil oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj 14/154).
Al-Qurthubi berkata, “…(masuknya Al-Hamwu) menjerumuskan sang wanita pada kematiannya dengan diceraikan oleh suaminya tatkala cemburu atau ia dirajam jika berzina dengan al-hamwu tersebut.” (Umdatul Qori 20/214).
Imam An-Nawawi berkata, “Dan dikecualikan dari pengharaman (semua bentuk berkhalwat) ini adalah kondisi-kondisi yang darurat seperti jika seorang pria mendapati seorang wanita ajnabiah yang tersesat di tengah daratan dan yang semisalnya, maka boleh baginya untuk menemani wanita tersebut bahkan hal itu wajib atasnya jika sang pria mengkhawatirkan keamanan dan kondisi sang wanita jika ia membiarkannya sendirian. Dan hal ini tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama. Dalil yang menunjukan akan hal ini adalah kisah Al-Ifk.” (Majmu’ 4/242).
- Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Daftar Pustaka
1. Fathul Bari, karya Ibnu Hajar Al-Asqolani, terbitan Darus Salam, cetakan pertama 1421 H.
2. Umdatul Qori, karya Badaruddin Al-’Aini, terbitan Dar Ihyaut Turots Al-’Arobi
3. Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, karya An-Nawawi terbitan Daru Fikr.
4. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi terbitan Dar Ihyaut Turots, cetakan ketiga.
5. An-Nihayah fi Ghoribil Hadits, karya Ibnul Atsir, terbitan Darul Ma’rifah, tahqiq Syaikh Kholil Ma’mun.
6. Al-Mabsuth, karya As-Sarkhasi, terbitan Darul Ma’rifah.
7. Mukhatasor Al-Fatawa Al-Misriyah li Ibni Taimiyah, karya Badaruddin bin ‘Ali Al-Hanbali, terbitan Dar Ibnul Qoyyim, tahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi.
8. Siyar A’lam An-Nubala’, karya Imam Adz-Dzahabi, tahqiq Al-Arnauth, terbitan Muassasah Ar-Risalah.
9. Syadzaratudz Dzahab karya Abdul Hay bin Ahmad, tahqiq Abdul Qodir Al-Arnauth, terbitan Dar Ibnu Katsir.
10. Kasyful Qina’, karya Mansur bin yunus bin Idris Al-Bahuti, tahqiq Hilal Musthofa Hilal, terbitan Darul Fikr.
11. Faidul Qodir, karya Abdurrouf Al-Munawi, terbitan Al-Maktabah At-Tijariah.
12. Mawahibul Jalil, karya Muhammad bin Abdirrahman Al-Magribi, terbitan Darul Fikr.
13. Al-Asybah wan Nadzoir, karya As-Suyuthi terbitan Darul Kutub Ilmiyah.
14. Nailul Author, karya As-Syaukani, terbitan Dar Al-Jail.
15. Al-Adab As-Syar’iah, karya Ibnu Muflih terbitan tahqiq Syu’aib Al-Arnauth terbitan Muassasah Ar-Risalah.
16. Al-Bidayah wan Nihayah, karya Ibnu Katsir terbitan Matabah Al-Ma’arif.
17. At-Thobaqot Al-Kubro, karya Muhammad bin Sa’d terbitan Dar Shodir.
18. Tahdzibut Tahdzib, karya Ibnu Hajar, tahqiq Muhammad Awwamah, terbitan Dar Rosyid.
19. At-Thobaqoot As-Syafiiyah Al-Kubro, karya As-Subki tahqiq DR. Muhammad bin Mahmud At-Thonuhi, Terbitan Hajr.
20. Tafsir Ibnu Katsir
***
Penulis: Ustadz Firanda Andirja
Artikel www.muslim.or.id


Memakai Pakaian Yang Terbuka Bagi Wanita

TANYA:

Akhir-akhir ini sering terlihat dalam pesta perkawinan bahwa sebagian wanita memakai pakaian yang keluar dari adat kebiasaan masyarakat kita, dan mereka beralasan bahwa pakaian itu hanya dipakai di antara kaum wanita saja. Di antara model pakaian tersebut ada yang ketat yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh dan ada model yang memiliki belahan pada bagian atas hingga batas yang memperlihatkan dada atau punggung serta ada model yang memiliki belahan pada bagian bawah hingga bagian lutut atau kurang sedikit, bagaimana ketentuan hukum syara’ tentang memakai pakaian tersebut? dan apakah yang mesti dilakukan oleh wali wanita berkenaan dengan hal tersebut?


JAWAB:

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda,


صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا : قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسُ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسَهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ اْلمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ اْلجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا


"Dua golongan manusia termasuk ahli neraka dan aku belum pernah melihatnya yaitu; kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka pukulkan kepada orang-orang serta wanita yang memakai pakaian tapi telanjang yang berjalan lenggak-lenggok serta bergoyang-goyang, kepalanya seperti punuk seekor unta yang besar. Niscaya mereka tidak akan masuk surga serta tidak akan mencium bau harumnya. Sesungguhnya bau harum surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian."*

Adapun yang dimaksud sabda Nabi SAW, "Berpakaian tapi telanjang," yakni mereka memakai suatu pakaian yang tidak menutupi bagian tubuh yang telah diperintahkan; baik karena pendek, tipis atau ketat. Berkenaan dengan hal tersebut; Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam Musnadnya dengan sanad yang agak lemah dari Usamah bin Zaid SAW, seraya berkata, "Suatu ketika Rasulullah SAW memberiku pakaian buatan daerah Qibthi –salah satu jenis pakaian- dan aku memakaikannya kepada isteriku, maka Rasulullah SAW bersabda,


مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَا غِلاَلَةً إِنيِّ أَخَافُ أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا


"Perintahkanlah kepadanya supaya memakai kain tebal di bawahnya (sebagai lapisannya), karena aku khawatir lekuk tulang-tulangnya akan tampak."(HR. Ahmad (21279)

Selain itu, pakaian tersebut memperlihatkan bagian atas dada, dan hal itu bertentangan dengan perintah Allah SWT dalam firmanNya, "Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya." (An-Nur: 31)

Al-Qurthubi berkomentar dalam tafsirnya, "Hendaklah seorang muslimah menutupkan kerudungnya ke dadanya supaya menutupinya." Selanjutnya al-Qurthubi mengutip sebuah atsar dari Aisyah RHA, bahwa Hafshah puteri saudara perempuannya Abdurrahman bin Abi Bakar RA datang kepadanya dalam keadaan memakai kerudung yang memperlihatkan lehernya, maka tidak ada tindakan yang dilakukan Aisyah selain merobeknya, seraya berkata, "Kerudung yang semestinya dipakai adalah kerudung yang tebal dan menutupi dada."

Jadi tidak diperbolehkan memakai pakaian yang ada belahan pada bagian bawahnya jika di bawahnya tidak dilapisi dengan pa-kaian lain yang menutupi kaki, tetapi jika di bawahnya dilapisi dengan pakaian lain yang menutupi kaki, maka hal itu tidak menjadi masalah, kecuali jika pakaian itu menyerupai pakaian kaum laki-laki, maka pakaian itu haram dipakai bagi wanita dengan alasan menyerupai kaum laki-laki.

Berdasarkan uraian di atas, maka diwajibkan kepada wali anak perempuan untuk mencegahnya dari segala jenis pakaian yang diharamkan dan keluar rumah dalam keadaan terbuka serta memakai wewangian, karena kelak pada hari kiamat niscaya wali-nya akan dimintai pertanggungan jawab tentangnya, yaitu pada suatu hari di mana pada hari itu, "Seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong." (Al-Baqarah: 48).

(SUMBER: Syaikh Ibn Utsaimin, Fatawa Mu'ashirah, hal. 23-24. Lihat, FATWA-FATWA TERKINI, PENERBIT DARUL HAQ, TELP (021) 4701616)

CATATAN KAKI:

* HR. Muslim, bab pakaian; dan bab surga serta kenikmatannya, (2128)



Hukum Memiliki Permainan Anak-Anak Yang Berwujud

TANYA:

Telah banyak sekali pendapat dan fatwa yang berkenaan dengan permainan anak-anak, lalu apa hukum tentang boneka dan hewan-hewan yang berwujud (memiliki bentuk tubuh)? Beberapa ulama berpendapat bahwa kepemilikan benda-benda seperti itu diperbolehkan dengan syarat bahwa benda-benda itu harus diacuhkan dan tidak diperdulikan. Ada pula ulama yang mengharamkannya tanpa terkecuali. Hukum manakah yang benar? Apa hukum menggunakan kartu bergambar (poster) untuk me-ngenalkan huruf, angka, cara-cara berwudlu serta shalat kepada anak-anak? Sudilah kiranya Syaikh membimbing saya, dan semoga Allah membimbing anda.


JAWAB:

Tidak diperbolehkan memiliki gambar makhluk bernyawa (kecuali untuk sesuatu yang penting seperti gambar atau foto pada tanda pengenal, KTP dan SIM). Maka selain untuk kepentingan itu, tidak boleh memiliki gambar makhluk bernyawa, meskipun gambar tersebut digunakan sebagai sarana permainan anak atau untuk kepentingan pengajaran, karena keumuman larangan tentang gambar dan penggunaannya. Ada banyak sekali sarana permainan bagi anak-anak selain dari pada gambar, dan masih banyak sarana lain yang dapat digunakan bagi para pengajar atau pendidik selain dari pada sarana berupa gambar makhluk bernyawa.

Orang-orang yang berpendapat bahwa memiliki permainan anak-anak berupa gambar makhluk bernyawa sebagai sarana permainan bagi anak-anak adalah dibolehkan, maka pendapat mereka tidak berdasar, karena mereka bersandar pada hadits tentang permainan Aisyah rha ketika ia masih kecil. (Al-Bukhari dalam bab al-Adab, (6130)) Padahal dikatakan bahwa hadits tersebut telah dihapuskan hukumnya (mansukh) oleh hadits-hadits tentang haramnya gambar. Juga dikatakan (dalam hadits Aisyah) bahwa gambar atau boneka yang ia mainkan bukan seperti gambar atau boneka yang ada pada saat ini, melainkan gambar atau boneka yang ada pada masa itu yang tidak menyerupai bentuk hewan seperti permainan anak-anak pada masa kini. Inilah pendapat yang rajih. Wallahu a’lam.

Sedangkan gambar atau boneka yang dikenal pada saat ini sangat menyerupai hewan yang bernyawa, bahkan di antaranya ada yang dapat bergerak seperti gerakan hewan sesungguhnya.

(SUMBER: Kitab ad-Da’wah (8), al-Fauzan (8/23,24). LIHAT: FATWA-FATWA TERKINI, PENERBIT DARUL HAQ, 021-4701616)

Hukum Syar'i Bisnis Multi Level Marketing [MLM]

Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali
http://www.almanhaj .or.id/content/ 1489/slash/ 0

Banyak pertanyaan seputar bisnis yang banyak diminati oleh khalayak ramai.
Yang secara umum gambarannya adalah mengikuti program piramida dalam system
pemasaran, dengan setiap anggota harus mencari anggota-anggota baru dan
demikian terus selanjutnya. Setiap anggota membayar uang pada perusahaan
dengan jumlah tertentu dengan iming-iming dapat bonus, semakin banyak
anggota dan semakin banyak memasarkan produknya maka akan semakin banyak
bonus yang dijanjikan.


Sebenarnya kebanyakan anggota Multi Level Marketing [MLM] ikut bergabung
dengan perusahaan tersebut adalah karena adanya iming-iming bonus tersebut
dengan harapan agar cepat kaya dengan waktu yang sesingkat mungkin dan bukan
karena dia membutuhkan produknya. Bisnis model ini adalah perjudian murni,
karena beberapa sebab berikut ini, yaitu :

[1]. Sebenarnya anggota Multi Level Marketing [MLM] ini tidak menginginkan
produknya, akan tetapi tujuan utama mereka adalah penghasilan dan kekayaan
yang banyak lagi cepat yan akan diperoleh setiap anggota hanya dengan
membayar sedikit uang.

[2]. Harga produk yang dibeli sebenarnya tidak sampai 30% dari uang yang
dibayarkan pada perusahaan Multi Level Marketing [MLM].

[3]. Bahwa produk ini biasa dipindahkan oleh semua orang dengan biaya yang
sangat ringan, dengan cara mengakses dari situs perusahaan Multi Level
Marketing [MLM] ini di jaringan internet.

[4]. Bahwa perusahaan meminta para anggotanya untuk memperbaharui
keanggotaannya setiap tahun dengan diiming-imingi berbagai program baru yang
akan diberikan kepada mereka.

[5]. Tujuan perusahaan adalah membangun jaringan personil secara estafet dan
berkesinambungan. Yang mana ini akan menguntungkan anggota yang berada pada
level atas (Up Line) sedangkan level bawah (Down Line) selalu memberikan
nilai point pada yang berada di level atas mereka.

Berdasarkan ini semua, maka system bisnis semacam ini tidak diragukan lagi
keharamannya, karena beberapa sebab yaitu :

[1]. Ini adalah penipuan dan manipulasi terhadap anggota
[2]. Produk Multi Level Marketing [MLM] ini bukanlah tujuan yang sebenarnya.
Produk itu hanya bertujuan untuk mendapatkan izin dalam undang-undang dan
hukum syar'i.
[3]. Banyak dari kalangan pakar ekonomi dunia sampai pun orang-orang non
muslim meyakini bahwa jaringan piramida ini adalah sebuah permainan dan
penipuan, oleh karena itu mereka melarangnya karena bisa membahayakan
perekonomian nasional baik bagi kalangan individu maupun bagi masyarakat
umum

Berdasarkan ini semua, tatkala kita mengetahui bahwa hukum syar'i didasarkan
pada maksud dan hakekatnya serta bukan sekedar polesan lainnya. Maka
perubahan nama sesuatu yang haram akan semakin menambah bahayanya karena hal
ini berarti terjadi penipuan pada Allah dan RasulNya [1], oleh karena itu
system bisnis semacam ini adalah haram dalam pandangan syar'i.

Kalau ada yang bertanya : Bahwasanya bisnis ini bermanfaat bagi sebagian
orang. Jawabnya ; Adanya manfaat pada sebagian orang tidak bisa
menghilangkan keharamannya, sebagaimana di firmankan oleh Allah Ta'ala.

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah :
Pada hakekatnya itu terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya [Al-Baqarah : 219]

Tatkala bahaya dari khamr dan perjudian itu lebih banyak daripada
menfaatnya, maka keduanya dengan sangat tegas diharamkan.

Kesimpulannya :

Bisnis Multi Level Marketing [MLM] ini adalah alat untuk
memancing orang-orang yang sedang mimpi di siang bolong menjadi jutawan.
Bisnis ini adalah memakan harta manusia dengan cara yang bathil, juga
merupakan bentuk spekulasi. Dan spekulasi adalah bentuk perjudian.

[Diterjemahkan dari situs www.alhelaly. com]


FATWA MARKAZ IMAM AL-ALBANI TENTANG MULTI LEVEL MARKETING [MLM]

Berikut ini adalah teks fatwa Markaz Imam Al-Albani, yang ditanda tangani
oleh para masyayaikh murid-murid Imam Al-Albani :

Banyak pertanyaan yang datang kepada kami dari berbagai penjuru tentang
hukum bergabung dengan PT perusahaan bisnis dan perusahaan modern semisalnya
yang menggunakan system piramida. Yang mana bisnis ini secara umum
dijalankan dengan cara menjual produk tertentu serta membayar uang dalam
jumlah tertentu tiap tahun untuk bisa tetap menjadi anggotanya. Yang mana
karena dia telah mempromosikan system bisnis ini maka kemudian pihak
perusahaan akan memberikan uang dalam jumlah tertentu yang terus bertambah
sesuai dengan hasil penjualan produk dan perekrutan anggota baru.

Jawaban
Bergabung menjadi anggota PT semacam ini untuk mempromosikannya yang selalu
terkait dengan pembayaran uang dengan menunggu bisa merekrut anggota baru
serta masuk dalam system bisnis piramida ini hukumnya haram, karena seorang
anggota jelas-jelas telah membayar uang tertentu demi memperoleh uang yang
masih belum jelas dalam jumlah yang lebih besar.

Dan ini tidak bisa diperoleh melainkan secara kebetulan ia sedang bernasib
baik, yang mana sebenarnya tidak mampu diusahakan oleh si anggota tersebut.
Ini adalah murni sebuah bentuk perjudian berdasarkan beberapa kaedah para
ulama. Wallahu Al-Muwaffiq.

Amman al-Balqo' Yordania
26 Sya'ban 1424H

Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 11 Tahun III/Jumadi Tsani 1425.
Penerbit Lajnah Dakwah Ma'had Al-Furqon, Alamat Redaksi Maktabah Ma'had
Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik-Jatim]


Sabtu, 26 April 2008

Meluruskan Kekeliruan Makmum

Al-Ustadz Aunur Rofiq Ghufron

Sebagai lanjutan dari pembahasan fiqh sebelumnya yakni "Meluruskan Kekeliruan Imam", Sekarang kami ingin memaparkan kekeliruan yang biasa kita lakukan sebagai makmum. Banyak juga ya, sampe sembilan bagian! Selamat menikmati.
Landasan amal ibadah yang diterima oleh Allah ialah apabila pelakunya muslim, hatinya ikhlas beramal karena Allah dan amatnya sesuai dengan sunnah Rasulullah. Betapapun ikhlas niatnya karena Allah, tetapi jika amatnya tidak ada tuntunan dari sunnah maka amalnya sia-sia. Sebaliknya, sekalipun amalan itu benar menurut sunnah lagi banyak jumlahnya, tetapi jika hatinya riya' maka ditolak.



Adapun alasan orang yang mengatakan bahwa amal ibadah tetap diterima selagi tidak ada larangan. Ini adalah kaidahnya orang yang tidak mengerti sunnah sehagaimana yang dilakukan oleh ahli bid'ah. Kaidah ini bertentangan dengan sabda Nabi:
Barang siapa beramal suatu amalan yang tidak ada petunjuk dari kami, maka amalan itu ditolak. (HR. Muslim: 1718).
Dan bertentangan pula dengan kaidah yang berhubungan dengan shalat, Nabi hersabda:
Shalatkah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Bukhari: 631).
Maknanya, shalat tidak menerima tambahan atau pengurangan dengan alasan apapun.
Pada beberapa waktu yang lalu telah dimuat pemhahasan "Meluruskan Kekeliruan Imam". Insya Allah kesempatan ini akan dihahas pula pembahasan "Meluruskan Kekeliruan Makmum" agar shalat kita selaku imam atau makmum benar-benar didasari sunnah dan diterima oleh Allah. Adapun dasar dan kaidah untuk pembahasan ini berpijak kepada kaidah diatas, dengan mengambil fatwa dari kalangan ahli hadits, ahli tafsir dan ahli fiqih yang mu'tahar (diakui).
Kekeliruan yang kami maksudkan dalam pembahasan ini, boleh jadi karena dalil nash yang melarangnya, atau karena memang tidak ada contoh dari sunnah. Selain itu, kekeliruan yang kami bahas ini bukan hanya berhuhungan dengan makmum saja, sekalipun ini yang banyak kami ulas, tetapi meliputi kekeliruan imam dan lainnya untuk melengkapi kekurangan pembahasan yang lalu.
Bagian Pertama: Kekeliruan Makmum
1. Melantunkan 'pujian' setelah adzan
Kita jumpai sebagian masjid tatkala mu'adzin selesai adzan mereka mengadakan pujian atau membaca anasyid bersama-sama, bahkan dengan suara yang keras. Amalan ini tidak ada tuntunannya dari Nabi atau sahabatnya.
Dalilnya, dari Anas bin Malik, Rasulullah berkata kepada seorang arab Badui yang kencing di masjid:
Sesungguhnya masjid ini tidak dibenarkan sedikitpun untuk kencing, dan tidak boleh untuk sesuatu yang najis. Tetapi untuk dzikir kepada Allah & shalat dan membaca Al-Quran. (HR. Muslim no 285).
Lembaga Ulama Saudi Arabia menjawab pertanyaan bolehkah melantunkan anasyid (pujian-pujian) 1 di masjid:
"Tidak dibolehkan melantunkan anasyid, pujian dan semisalnya di masjid, karena masjid diperuntukkan untuk shalat, berdzikir kepada Allah, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir dm memhaca Al-Qur'an, mengajar dan memheri fatwa". 2
2. Menanti shalat dengan obrolan atau sendagurau
Lembaga Ulama Saudi Arabia ditanya:
"Banyak kitajumpai sebagian orang setelah shalat Maghrib mereka tidak segera pulang, mereka menanti shalat Isya'. Namun di tengah penantian ini mereka ngobrol, berbincang-bincang masalah dunia, bahkan kadang kala mengambil radio untuk mendengarkan warta berita, bolehkah perbuatan ini?"
Mereka menjawab:
"Tidak boleh. Berdasarkan surat An-Nur 36-38 bahwa masjid diperuntukkan untuk dzikir, shalat, membaca Al-Quran dan menyampaikan ilmu dinul Islam". 3
3. Keluar dari masjid setelah adzan
Terhitung perbuatan maksiat bila keluar dari masjid setelah adzan tanpa ada keperluan yang sangat penting seperti berwudlu atau ke WC dan semisalnya. Dalilnya:
Dari Abu Sya'sa' dia berkata: Kami pernah duduk di masjid bersama Abu Hurairah. Ketika muadzin selesai adzan, ada seorang laki-laki bangun be jalan, lalu sahabat Abu Hurairah terus memandangnya sehingga orang itu keluar dari masjid. lalu Abu Hurairah berkata: "Orang itu telah bermaksiar kepada Abul Qasim.". 4

________________________________________
Catatan Kaki
...1
seperti lagu lagu dan semisalnya -red
...2
Lihat Fatwa Allajnah Ad Daimah 6/304.
...3
Lihat Fatawa Allajnah Ad Daimah: 6/279.
...4
HR. Muslim no 665.
________________________________________


4. Meninggalkan shalat tahiyatal masjid
Menurut sunnah, apabila seseorang masuk masjid sebelum imam hadir, hendaknya tidak segera duduk. Tetapi menjalankan shalat dua rakaat terlebih dahulu, yaitu shalat tahiyatal masjid. Dalilnya, dari Abu Qatadah As-Sulami sesungguhnya Rasulullah bersabda:
Apabila salah seorang di antara kamu masuk masjid, hendaklah shalat dua rakaat sebelum ia duduk. 5
5. Menjalankan shalat sunnah tanpa sutrah.
Banyak kita saksikan ketika makmum menjalankan shalat sunnah tahiyatal masjid atau sunnah qabliyah dan ba'diyah tanpa memperhatikan sutrah atau tabir di depannya. Mereka shalat di tengah atau di betakang tanpa mencari pembatas. Perbuatan ini keliru dan menyelisihi sunnah Rasulullah, sebab sutrah atau tabir untuk orang yang shalat hukumnya wajib.
Dalilnya, dari Musa bin Thalhah dari Ayahnya ia berkata: Rasulullah bersabda:
Apabila salah seorang dari kalian telah meletakkan semisal ujung pelana di depannya, maka shalatlah. Dan tak usah memperdulikan orang yang lewat di belakang sutrah tersebut. (HR. Muslim).
Sabda Nabi (maka shalatlah), menunjukkan bahwa shalat dapat dimulai bila di depannya sudah ada sutrah.
Dan Abu Said AI-Khudri ia berkata: Rasulullah bersabda:
Apabila salah seorang di antara kamu akan menjalankan shalat, hendaklah menghadap kepada sutrah (tabir) dan dekatlah dengannya. 6
Fungsi sutrah merupakan pembatas bagi orang yang ingin lewat di depannya. Diperbolehkan berlalu di luar sutrah dan dilarang melatui bagian dalamnya (antara sutrah dan orang yang shalat).
Dalilnya, Abu Said berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
Apabila salah seorang di antara kamu telah menghadap sutrah ketika akan shalat, lalu ada yang mau lewat di depannya (antara dia dan sutrah), hendaknya ia mendorong lehernya. Jika enggan, maka perangi dia, karena dia itu setan. 7
Memahami hadits di atas, berarti orang yang shalat tanpa sutrah di depannya, tidak berhak menghalangi orang yang lewat di depannya.
Orang yang menjalankan shalat hendaknya dekat dengan sutrah. Dalilnya, dari Sahl bin Abi Hatsmah, Nabi bersabda:
Apabila salah satu di antara kamu mengerjakan shalat menghadap kepada sutrah, hendaklah ia dekat dengan sutrahnya, maka setan tidaklah mampu menggodanya. 8
Adapun jarak antara tempat sujud dengan sutrah semisal berlalunya kambing: Dan Sahl bin Sa'ad ia berkata:
(Jarak) antara tempat sujud Rasulullah dan tembok semisal tempat berlalunya kambing. 9
Sutrah dapat diperoleh dengan cara
1. Menghadap dinding.
Dalilnya, Bilal berkata:
Lalu Rasulullah shalat sedangkan jarak antara berdiri beliau dengan dinding depan (sejauh) tiga hasta. 10
2. Menghadap orang berbaring.
Dalilnya, Aisyah berkata:
Sungguh aku pernah melihat Nabi sedang shalat aku berada di antara beliau dan arah kiblat, waktu itu aku berbaring di atas tempat tidur. 11
Dalil yang lain, ketika kita shalat berjamaah, maka orang di depan kita adalah sutrah kita, baik mereka dalam keadaan berdiri atau duduk.
3. Menghadap tiang dan semacamnya.
Dalilnya:
Dari Anas bin Malik, dia berkata: "Sungguh aku pernah melihat kibar sahabat Nabi bersegera menuju liang-tiang masjid, ketika masuk waktu shalat Maghrib. 12
4. Menghadap benda, semacam ujung pelana
Dalilnya, Aisyah berkata: Rasulullah pernah ditanya tentang tabir di depan orang yang sedang shalat, maka beliau menjawab, "semisal pelana" 13
Dan lbn Umar, sesungguhnya Rasulullah apabila keluar ingin shalat ied, beliau memerintahkan agar menancapkan semisal ujung tombak di depannya, lalu beliau shalat menghadap tombak tersebut, sedangkan orang-orang berada di belakangnya. Amalan ini beliau kerjakan pula ketika bepergian. 14
5. Menghadap kendaraan.
Dalilnya:
Dari lbn Umar sesungguhnya Nabi menghadapkan ontanya, Lalu beliau shalat menghadap kepadanya. 15

________________________________________
Catatan Kaki
...5
HR. Bukhari: 444; Muslim: 714.
...6
HR. Abu Dawud 648 dishahihkan oleh Ibn Baz. Lihat Majmu Fatawa 4/264.
...7
HR. Bukhari: 509; Muslim: 505.
...8
HR. Abu Dawud. Albani berkata: Imam Hakim menshahihkannya, Imam Adz-Dzahabi dan Imam Nawawi menyetujuinya.
...9
HR. Bukhari, Kitabus Shalat: 496.
...10
HR. Imam Ahmad.
...11
HR. Bukhari: 511.
...12
HR. Bukhari: 503.
...13
HR. Muslim: 500.
...14
HR. Muslim: 501.
...15
HR. Muslim: 502.

6. Menunda iqamat karena makmum masih shalat sunnah
Sebagian makmum melarang orang yang akan qamat, karena masih ada orang yang menjalankan shalat sunnah. Tindakan ini keliru, sebab qamat disyari'atkan ketika imam telah datang.
Dalilnya, dari Abu Qatadah dari Ayahnya ia berkata: Rasulullah bersabda:
Apabila telah qamat, janganlah kamu berdiri sehingga engkau melihatku, dan engkau wajib mendatanginya dengan tenang. 16
7. Bercakap-cakap setelah iqamat
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata:
"Berbicara setelah qamat dan sebelum takbiratul ihram apabila berhubungan dengan shalat seperti meluruskan shaf dan semisalnya hukumnya sunnah, tetapi bila tidak ada hubungannya dengan shalat hendaknya ditinggalkan, karena kita sedang persiapan untuk menjalankan shalat". 17
8. Berjalan tergesa-gesa
Makmum hendaknya tidak berjalan tergesa-gesa atau bahkan berlari untuk menuju ke masjid karena khawatir ketinggalan shalat (masbuk), tetapi hendaknya berjalan dengan tenang.
Dalilnya, dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda:
Apabila kamu mendengarkan iqamat, hendaklah bejalan untuk shalat, dan wajib bagimu mendatanginya dengan tenang dan janganlah lari terburu-buru, maka apa yang kamu jumpai bersama imam kerjakan, dan yang kurang, sempurnakan. 18
9. Melanjutkan shalat sunnah setelah iqamat
Ketika makmum melihat imam telah bertakbiratul ihram, hendaklah menghentikan shalat sunnahnya untuk segera mengikuti shalat berjamaah.
Dalilnya:
Dari Abu Buhainah ia berkata: Ketika shalat subuh akan dimulai, Rasulullah melihat seorang laki-laki sedang melanjutkan shalat (sunnahnya) padahal muadzin sedang qamat, Lalu beliau berkata kepadanya: "Apakah kamu ingin shalat Shubuh empat rakaat? ". 19
Dari Abu Hurairah dari Nabi sesungguhnya beliau bersabda:
Apabila iqamat telah dikumandangkan, maka tidak diperkenankan shalat kecuali shalat wajib. 20

10. Enggan memilih shaf pertama
Termasuk kebiasaan yang keliru, ketika makmum mendengar qamat, tidak segera mengisi shaf yang pertama, tetapi mencari shaf di belakang, padahal shaf pertama lebih utama daripada shaf berikutnya.
Dalilnya, dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah bersabda:
Andaikan manusia mengetahui betapa besar pahala orang yang menjnwab adzan dan shaf yang pertama, lalu ia ridak memperolehnya melainkan harus mengikuti undian, tentu akan mengikutinya. 21
11. Tidak merapatkan shaf
Sering kita jumpai makmum ketika menjalankan shalat berjamaah, mereka tidak memperhatikan kerapian shaf, tidak meluruskan dan tidak merapatkannya. Padahal shaf yang kurang rapat akan mengganggu ketenangan shalat.
Dalilnya, sesungguhnya An-Nu'man bin Basyir berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda:
Sungguh engkau mau meluruskan shafmu atau Allah akan menaruh permusuhan dan kemarahan di hatimu. 22
Imam Bukhari berkata: "Bab hendaknya pundak menyentuh pundak, kaki menyentuh dengan kaki di dalam pengaturan shaf". An-Nu'man bin Basyir berkata:
"Kami melihat salah satu di antara kami menyentuhkan pundaknya dengan pundak temannya." 23

________________________________________
Catatan Kaki
...16
HR. Bukhari: 638.
.... 17
Majmu' Fatawa Ibnu Baz: 4/179.
...18
HR. Bukhari: 636.
...19
HR. Muslim: 711.
...20
HR. Muslim: 710.
...21
HR. Bukhari: 721, Muslim: 437.
...22
HR. Muslim: 436.
...23
Lihat Shahih Bukhari Kitab Shalat.

12. Memulai shaf dari kanan atau dari kiri
Sering kita melihat seseorang ketika masuk masjid dan mendapatkan shaf di depannya sudah penuh, dia memulai shaf baru dari ujung kanan atau kiri, padahal menurut sunnah hendaknya memulai dari belakang imam.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata:
"Shaf hendaknya dimulai dari tengah di belakang imam. Sedangkan sesudah itu, shaf sebelah kanan lebih utama dari pada sebelah kiri, berdasarkan hadits yang shahih". 24
Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa:
"Penyusunan shaf adalah dimulai di belakang imam, selanjutnya memanjang ke kanan dan ke kiri, bukan dimulai dari ujung kanan. Demikian pula shaf berikumya". 25
13. Membuat shaf sebelum di depannya penuh
Sering kita jumpai makmum menyusun shaf baru padahal shaf di depannya belum penuh, perbuatan ini menyelisihi sunnah.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata:
"Dilarang membuat shaf baru sebelum shaf di depannya penuh, dan tidak mengapa mereka mengambil shaf bagian kanan lebih banyak daripada shaf sebelah kiri, dan tidak harus ada keseimbangan." 26
14. Shalat sendirian di samping kanan belakang imam
Jika makmum laki-laki hanya orang, maka letak shafnya bukan di samping kanan belakang imam sebagaimana menurut kebiasaan yang dilakukan pada umumnya, tetapi di sebelah kanan imam lurus bersamanya. Dalilnya:
Dari Ibn Abbas sesungguhnya ia berkata: Saya tidur di rumah Maimunah istri Nabi, waktu itu Rasulullah tiba gilirannya bermalam di rumahnya, lalu Rasulullah berwudlu, lalu berdiri untuk melaksanakan shalat (malam). Aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarikku menjadikanku di sebelah kanannya. 27
15. Shalat sendirian di balakang shaf
Makmum dilarang membuat shaf sendirian selagi shaf di depannya belum penuh. Dalilnya, dari Wabishah bin Ma'bad:
Nabi melihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf. Kemudian memerintahkannya untuk mengulanginya. 28
16. Memilih shaf yang terputus
Shaf makmum dalam satu baris hendaknya bersambung dengan makmum yang lain, tidak terpisah oleh tiang atau tembok. Kecuali dalam keadaan darurat karena masjid sangat sempit, sehingga terpaksa harus shalat di tempat yang ada.
Sahabat Ibnu Mas'ud berkata: "Janganlah kamu menyusun shaf di antara tiang-tiang". Para ahli ilmu seperti Imam Ahmad dan Ishaq membenci barisan shaf antara tiang-tiang. 29
17. Mengeraskan bacaan takbir
Kadang kala kita menjumpai sebagian makmum tatkala imam membaca takbir, makmumpun bertakbir dengan suara yang keras. Padahal tidak ada tujuan membantu mengeraskan takbir imam. Perbuatan ini menyelisihi sunnah.
Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa:
Imam disyariatkan mengeraskan bacaan semua takbir agar makmum mendengamya, sedangkan makmum menurut sunnah tidak diperintahkan mengeraskan takbiratul ihram atau takbir intiqal (pindah gerakan), tetapi dengan suara cukup didengar sendiri, bahkan mengeraskan takbir bagi makmum termasuk bid'ah. Lalu membawakan hadits: Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah bersabda:
Barang siapa membuat cara baru di dalam urusan ibadah kami yang tiada contoh dari sunnah, maka ditolak. (HR. Bukhari). 30
18. Tidak segera shalat bersama imam
Sering kita jumpai ketika makmum masbuk, melihat imamnya sedang sujud, tidaklah segera bertakbiratul ihram lalu bertakbir untuk sujud bersamanya, tetapi menunggu imam berdiri. Perbuatan ini menyalahi sunnah.
Dalilnya, dari Anas bin Malik, Nabi bersabda:
Sesungguhnya imam itu dijadikan panutan, apabila dia bertakbir, bertakbirlah, dan apabila dia sujud sujudlah dan apabila dia bangun, bangunlah ". (HR. Muslim: 414).

________________________________________
Catatan Kaki
...24
Majmu' Farawa Ibnu Baz: 4/416.
...25
Lihat Fatawa Islamiyah 1/358.
...26
Majmu' Fatawa Ibnu Baz: 4/416.
...27
HR. Bukhari: 697; Muslim: 763.
...28
HR. Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa' no.541.
...29
Lihat kitab AI-Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin hat. 231 oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman.
...30
Lihat Fatawa Allajnah Ad Daimah: 6/340.

19. Mendahului Imam
Mendahului imam termasuk dosa besar dan berat ancamannya. Dari Abu Hurairah ia berkata: Nabi Muhammad bersabda,
Apakah tidak takut makmum yang mengangkat kepalanya sebelum imam, apabila Allah merubah kepalanya menjadi kepala keledai. (HR. Muslim)
Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa,
Jika makmum sengaja mendahului imam maka shalatnya batal. Tetapi apabila karena lupa, maka segera kembali untuk mengikuti imam. 32
20. Tidak membetulkan imam ketika keliru
Makmum hendaklah membetulkan ketika salah membaca ayat atau gerakan, jika salah bacaannya dibetulkan bacaannya. Jika salah gerakannya, hendaklah makmum pria membetulkan dengan membaca subhanallah, sedangkan wanita dengan bertepuk tangan.
Dalilnya, dari Sahl bin Sa'ad, Rasulullah bersabda,
Hai manusia, mengapa kalian ketika hendak mengingatkan pada waktu shalat, engkau bertepuk tangan? Sesungguhnya tepuk tangan itu untuk wanita, maka barang siapa menjumpai kesalahan pada waktu shalat, hendaklah mengatakan "Subhanallah". (HR. Bukhari)
21. Shalat qabliyah Jum'ah
Makmum usai mendengar adzan pada hari Jum'at, mereka segera bangun untuk menjalankan shalat sunnah qabliyah jum'ah. Perbuatan ini termasuk bid'ah (tidak ada contohnya dari nabi). Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata,
Tiada satu dalilpun dari sunnah yang menjelaskan anjuran shalat sunnah qabliyah Jum'ah. Adapun pendapat yang membolehkan karena dikiaskan dengan shalat sunnah qabliyah dzuhur, tidak dapat diterima. 33
Ibnul Qayim Al Jauziyah berkata,
Barang siapa yang mengira, bahwa setelah adzan Jum'at dianjurkan shalat dua raka'at, dia termasuk manusia yang paling tidak mengerti dengan sunnah. 34
22. Makmum keluar sebelum Imam berpaling dari kiblat
Makmum hendaknya tidak mendahului imam kelua dari masjid setelah salam, melainkan bila imam telah berpaling dari kiblat. Imampun hendaknya tidak lama-lama menghadap kiblat setelah salam sebagaimana penjelasan kami yang lalu "Meluruskan Kekeliruan Imam".
Dalilnya, dari Ibnu Abbas ia berkata, Pada suatu hari Rasulullah mengimami kami . Setelah salam, beliau menghadap kepada kami lalu bersabda,
Wahai manusia, sesungguhnya aku ini imammu, maka janganlah kamu mendahuluiku ketika aku ruku', sujud, ketika bangun dan jangan pula mendahuluiku ketika keluar. (HR. Muslim)
Ibnu Taimiyah berkata, "Hendaknya makmum tidak bangun dari tempat shalatnya sehingga imam berpaling dari arah kiblat." 35
23. Mengamini do'a imam sambil mengangkat tangan
Sering kita menjumpai sebagain masjid, ketika imam selesai shalat, imam segera mengomando dzikir dan do'a , sedangkan makmum mengikuti dan mengamininya. Perbuatan ini termasuk bid'ah karena tidak ada contohnya.
Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia berfatwa,
Berdo'a dengan mengangkat tangan setelah shalat wajib, dilaksanakan bersama-sama dengan dikomando oleh imam atau sendirian hukumnya bid'ah, karena Nabi dan para shahabat tidak pernah mengamalkannya.
Adapun berdo'a setelah shalat tanpa angkat tangan dan tidak dikomandoi oleh imam tidak mengapa, karena ada hadits lain yang membolehkannya. 36

________________________________________
Catatan Kaki
...32
Lihat Fatawa Lajnah Daimah: 7/326.
...33
Lihat kitab Assunan wal Mubtada'ah Almutaqa'aliqah Bil Adzkar Wash Shalah: 181.
...34
Zadul Ma'ad 1/432.)
...35
Majmu' Fatawa Ibnu Baz: 22/205.
... membolehkannya.36
Fatawa Lajnah Ad-Daimah: 7/103.

24. Imam disambut dengan shalawat Nabi
Tatkala imam bangun meninggalkan tempat shalat, makmum segera menyambutnya (mengantarnya -red vbaitullah) dengan shalawat Nabi dan berjabat tangan.
Lembaga Fatwa Saudi Arabia berfatwa:
Membaca shalawat Nabi disyari'atkan ketika bertasyahud pada wakti shalat fardhu atau shalat sunnah, dan disyariatkan pula ketika akan berdo'a setiap saat setelah membaca hamdalah dan memuji Allah, karena membaca shalawat nabi merupakan salah satu penyebab dikabulkan do'a. 37
25. Melangkahi pundak orang
Karena kesalahan sebagian makmum yang datang pertama, mereka menjalankan shalat sunnah di sembarang tempat, maka terjadilah kekosongan sebagian shaf yang pertama dan berikutnya, sehingga orang yang datang belakangan, mereka melangkahi pundak saudaranya untuk memenuhi shaf yang kosong, sehingga terjadi pelanggaran yang tidak dibenarkan oleh sunnah.
Oleh karena itu hendaknya makmum yang datang pertama tahiyatal masjid dengan mengambil shaf yang paling depan atau mencari tempat yang tidak mengganggun saudaranya yang datang belakangan, agar mereka tidak melangkahi pundak saudaranya
Dalilnya adalah dari Abu Az-Zahiriyah dia berkata,
Aku pernah duduk bersana Abdullah bin Busr pada hari Jum'ah, lalu datang seorang laki-laki melangkahi manusia, sedangkan Rasulullah pada waktu itu sedang berkhutbah, lalu beliau bersabda, "Duduklah, sungguh engkau telah mengganggu (karena melangkahi) dan terlambat." 38
26. Bermakmum kepada Imam ahli syirik
Kita dilarang bermakmum dengan imam ahli syirik seperti Imam yang beristighatsah kepada selain Allah, kita wajib mencari masjid lain yang imamnya Ahlus sunnah, jika tidak menjumpainya kecuali orang yang pernah berbuat maksiat, sebaiknya berjama'ah dengan mereka agar kita lepas dari dosa, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sebagian sahabat, mereka bermakmum kepada Imam yang zhalim seperti Hajjaj bin Yusuf. Adapun bermakmum kepada orang yang musyrik, hukumnya haram.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,
Dilarang bermakmum kepada setiap orang musyrik seperti orang yang beristighatsah kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain-Nya, karena beristighatsah kepada selain Allah seperti beristighatsah kepada orang mati, kepada patung, jin dan selainnya termasuk perbuatan syirik. 39
27. Lewat di depan orang yang sedang shalat
Sering kita jumpai sebagian jama'ah berjalan di depan orang yang sedang shalat. Perbuatan ini hukumnya haram, kecuali keluar karena berhadas atau mengantuk.
Adapun dalil larangan lewat di depan orang yang sedang shalat yakni, dari Abu Juhaim (Abdullah bin Harits Al Anshari) ia berkata, Rasulullah bersabda,
Seandainya orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat itu tahu betapa besar dosanya, tentu dia lebih menyukai berdiri selama empat puluh (hari, atau bulan atau tahun) daripada lewat di depan orang yang shalat. (HR. Bukhari).
Adapun dalil wajib keluar bagi orang yang mengantuk ketika shalat, dari 'Aisyah dia berkata, Rasulullah bersabda,
Apabila orang itu mengantuk ketika shalat, hendaknya ia pergi, karena boleh jadi dia mendo'akan dirinya jelek sedang dia tidak merasa. 40
Adapun dalil wajib keluar bagi yang berhadats ketika shalat, dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah bersabda,
Apabila salah satu di antara kamu menjumpai gelembung di dalam perutnya, ragu-ragu, kentut apa tidak, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau menjumpai bau (kentut). (HR. Muslim)
28. Berjabat tangan setelah shalat
Seing kita jumpai setelah shalat sunnah atau wajib Imam dan makmum berjabat tangan dengan tetangga kanan kiri bahkan dengan jama'ah di belakangnya pula. Perbuatan ini jelas mengganggu orang yang sedang berdzikir kepada Allah, lagi pula perbuatan ini menyelisihi sunnah.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,
Adapun apa yang diamalkan oleh sebagian manusia, makmum bersegera berjabat tangan dengan imam setelah salam, tidak ada dalilnya. Amalan itu dibenci, karena setelah shalat, dianjurkan berdzikir sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. 41
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Salman berkata,
Menucapkan salam dan berjabat tangan disyari'atkan ketika orang itu datang dari bepergian dan ketika berpisah sekalipun hanya sebentar, baik di masjid ataupun di luar masjid. 42

________________________________________
Catatan Kaki
...37
Fatawa Lajnah Ad-Daimah: 7/120.
...38
HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Albani: 155.
...39
Majmu' Fatawa bin Baz 4/396, 400.
...40
HR. An Nasa'i dishahihkan oleh Al Albani No. 813.
...41
Majmu' Fatawa Ibnu Baz: 4/262.
...42
Al Qaulul Mubin Fii Akhtha'il Mushallin, hal. 301

29. Usai shalat fardhu langsung mengerjakan shalat sunnah
Sering kita jumpai imam atau makmum ketika selesai menjalankan shalat, langsung berdiri melanjutkan shalat sunnah, amalan ini bertentangan dengan sunnah.
Dalilnya, dari Saib bin Yazid bin Ukhti Namir, ia berkata,
Saya pernah shalat Jum'at bersama Mu'awiyah. Tatkala aku selesai shalat Jum'at, aku segera bangun untuk menjalankan shalat sunnah. Setelah Mu'awiya masuk di rumah, beliau mengutus salah seorang untuk memanggilku, lalu Beliau berkata,
Jangan kamu ulangi perbuatanmu itu, apabila kamu selesai shalat Jum'ah, janganlah kamu menyambung dengan shalat yang lain sehingga kamu berbicara atau keluar terlebih dahulu. Karena Rasulullah memerintahkan demikian, yaitu hendaknya tidak disambung shalat dengan shalat sehingga kami berbicara atau keluar. (HR. Muslim).
30. Sering Masbuk tanpa udzur
Sebagian makmum ketika mendengar adzan tidak segera berangkat ke masjid, tetapi sering terlambat tanpa udzur. Perbuatan ini menyerupai shalat orang munafiq. Dalilnya, dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah bersabda,
Dan seandainya mereka mengerti betapa besar pahala orang yang bersegera datang ke masjid (untuk berjama'ah), tentu mereka akan berlomba-lomba mendahuluinya. (HR. Bukhari).
Bagian Kedua: Kekeliruan dalam Shalat Secara Umum.
31. Sering bergerak pada waktu shalat
Kita sering menjumpai makmum ketika shalat, dia memutar-mutar jam tangannya, mempermainkan kancing bajunya, geleng-geleng kepala, banyak bergerak, mengelus-elus jenggot dan atau memintal kumis dan semisalnya. Perbuatan ini dilarang karena akan mengurangi bahkan dapat menghilangkan kekhusyu'an pada waktu shalat, padahal Allah berfirman,
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. (QS: Al Mukminun: 12)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,
Bagi orang yang sedang shalat, hendaknya tidak berbuat sia-sia seperti menggerakkan pakaian, janggut atau yang lain. Bila gerakan ini sering dilakukan, hukumnya haram. Adapun pendapat yang mengatakan apabila gerakan itu dilakukan tiga kali hukumnya batal, pendapat ini lemah dan tidak berdalil. 43
32. Ketika shalat melihat ke atas atau ke sana kemari
Apabila sedang shalat hendaknya pandangan mata menundukkan ketempat sujud, tidak meilhat ke kanan atau ke kiri apabali ke belakang, karena perbuatan itu termasuk godaan syetan.
Dalilnya, 'Aisyah berkata,
Aku pernah bertanya kepada Nabi tentang hukum seorang pria yang menoleh ketika shalat, maka beliau menjawab, "Itu adalah pencurian, syetan sedang mencuri shalat salah satu di antaramu."
Sesungguhnya Anas bin Malik pernah bercerita kepada mereka, bahwa Nabi bersabda,
"Mengapa kaum itu tatkala shalat, mereka melihat ke atas." Dia (perawi hadits) berkata: Sunggguh amat keras beliau itu, sehingga beliau bersabda, "Hendaklah kaum itu berhenti, jika tidak mau, akan dicungkil matanya."
33. Menyisingkan pakaian dan rambut.
Ketika shalat dilarang menyisingkan lengan baju atau melipatnya, demikian juga rambut dan baju.
Dalilnya, dari Abdullah bin Abbas sesungguhnya Nabi bersabda,
Aku diperintah agar sujud dengan tujuh anggota, yaitu dahi, hidung, dua tangan, dua lutut dan dua kaki, dan aku dilarang menyisingkan rambut dan baju. (HR. Muslim).
Imam Nawawi berkata,
Ulama telah bersepakat bahwa ketika shalat dilarang menyinsingkan baju, lengan baju dan semisalnya. 44
34. Sering membersihkan debu di tempat sujud
Pada waktu shalat, kita dianjurkan agar khusyu' di dalam setiap gerakan. Tidak dibenarkan menggerakkan anggota badan kecuali ada perintah, seperti ruku', sujud, berdiri, duduk dan sebagainya. Dan diperbolehkan membersihkan sesuatu di tempat sujud ketika shalat sekali saja.
Dalilnya, dari Mu'aiqib, sesungguhnya Rasulullah berkata kepada salah seorang yang meratakan tanah ketika sujud, maka beliau bersabda, "Jika kamu harus berbuat itu, maka boleh hanya sekali." (HR. Muslim)

________________________________________
Catatan Kaki
...43
Majmu' Fatawa Ibnu Baz: 4/424.
...44
Syarah Muslim 4/209.

35. Mengusap wajah setelah shalat
Sebagian umat Islam setelah salam lalu mengusap wajah dengan tangan kanan. Perbuatan ini tergolong bid'ah, karena tidak ada tuntunannya dari sunnah.
Syaikh Ibnu Baz ketika beliau ditanya hukum mengusap muka setelah salam, beliau menjawab,
Tidak ada tuntunannya, tetapi jika mengusap wajah sebelum salam hukumnya makruh. Sebab, Nabi ketika salam pada waktu shalat subuh, pada dahinya terlihat bekas tanah basah, karena pada malam harinya turun hujan. Ini menunjukkan lebih utama tidak mengusap wajahnya sebelum salam. 45
36. Bertasbih dengan memakai alat tasbih
Membaca tasbih, tahmid dan takbir setelah shalat atau sebelumnya dengan memakai alat tasbih termasuk perbuatan yang menyelisihi sunnah.
Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia berfatwa,
Berdzikir dan bertasbih dengan tangan itu lebih utama. Kami tidak menjumpai amalan Nabi bahwa beliau bertasbih dengan alat tasbih. Perlu kita maklumi amalan yang paling baik adalah mengikuti sunnah. 46
37. Usai salam membaca tiga ayat surat Ali Imran
Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata, 47
Usai salam langsung membaca tiga ayat dari surat Ali Imran khusus setelah selesai shalat Maghrib dan Subuh; kami tidak mengetahui dalilnya dari kutubus sunnah. 48
38. Menambah kalimat istighfar
Kadang kala kita menjumpai imam atau makmum tatkala membaca istighfar yaitu "Astaghfirullah" lalu ditambah dengan "Ya Arhamar raahimiin, irhamnaa" dengan bersama-sama, maka hukumnya bid'ah karena tidak ada contohnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Abdus Salam. 49
39. Shalat Dzuhur setelah shalat Jum'ah
Mengerjakan shalat Dzuhur setelah menjalankan shalat Jum'ah termasuk perbuatan bid'ah.
Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata,
Sesungguhnya mengerjakan shalat dzuhur setelah shalat jum'ah tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah walaupun hanya sekali dan tidak pula memerintahkannya, tidak pernah dikerjakan oleh sahabat, atau tabi'in walaupun seorang, dan tidak pula pernah dikerjakan oleh madzhab empat 50, tetapi diada-adakan oleh pengikut Imam Syafi'i mutaakhirin (generasi yang sekarang ini). 51
40. Sujud dua kali setelah salam
Kadang kala kita jumpai sebagian orang setelah salam, ia sujud dua kali tanpa sebab. Perbuatan ini menyelisihi sunnah.
Imam Abu Syamah dalam kitabnya "Al Ba'its" menerangkan,
Sesungguhnya bersujud dua kali setelah shalat adalah perbuatan yang sangat dibenci, karena tidak ada sebab tertentu, dan tidak ada tuntunan dari sunnah. Sujud dilakukan ketika shalat atau sesudahnya apabila lupa atau sujud tilawah usai membaca ayat sajdah. Adapun hukum sujud syukur ulama berbeda pendapat. Imam Syafi'i menyunnahkannya sedangkan Imam Ahmad membolehkannya. 52
41. Mengeraskan bacaan tahlil dengan mengglengkan kepala
Berdzikir dan berdo'a dengan menggelengkan kepala termasuk perbuatan bid'ah. Berdzikir dianjurkan agar tenang dengan suara yang lembut. Firman-Nya:
Berdo'alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS Al-A'raf: 55)
42. Keluar masuk masjid tanpa memperhatikan kaki
Imam Bukhari menjelaskan bab "Hendaknya memulai dengan kaki kanan ketika masuk masjid dan lainnya." Ibnu Umar mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan keluar dengan mendahulukan kaki kiri. 53
Dari 'Aisyah ia berkata,
Nabi Menyukai mendahulukan yang kanan dari semua urusan menurut kemampuannya, baik ketika berwudhu, menyisir rambut dan memakai sandal. (HR. Bukhari).
43. Keluar masuk masjid tanpa do'a
Rasulullah menganjurkan setiap orang yang masuk dan keluar masjid hendaknya membaca do'a. Dalilnya, dari Abi Asid dia berkata, Rasulullah bersabda,
Apabila salah satu di antara kamu masuk masjid, hendaklah berdo'a, Ya Allah bukakanlah aku pintu rahmat-Mu, dan bila keluar berdo'alah, Ya Allah aku mohon kepada-Mu karunia-Mu. (HR. Muslim).
44. Membungkukkan badan
Sebagian orang ketika akan keluar atau masuk masjid yang di depannya ada orang tua yang sedang duduk, ia lewat sambil membungkukkan badan dan mengulurkan tangan kanan ke bawah. Perbuatan ini tidak mengikuti sunnah, sebaiknya ditinggalkan walaupun dengan alasan menghormati orang tua. Hal ini karena kita tidak menjumpai ahli ilmu (para ulama' -red. vbaitullah) mengamalkannya.

________________________________________
Catatan Kaki
...45
Majmu' Fatawa Ibnu Baz: 4/272.
...46
Lihat Fatwa Lajnah Ad-Daimah: 7/111.
...47
Lihat As-Sunan Wal Mubtada'ah al Muta'aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 71.
...48
Jika suatu amalan tidak ada dalilnya dari kutubus sunnah (buku-buku hadits / sunnah), maka amalan ini tidak ada contohnya dari Nabi. Dengan kata lain, amalan tersebut termasuk ke dalam bid'ah. -red vbaitullah.
...49
Lihat As-Sunan Wal Mubtada'ah al Muta'aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 70.
...50
yaitu madzhab Abu Hanifah, Syafi'i, Malik dan Ahmad bin Hambal. -red. vbaitullah
...51
Lihat As-Sunan Wal Mubtada'ah al Muta'aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 182.
...52
Lihat kitab Islahul Masajid minal Bida' wal 'Awaid, oleh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi: 84.
...53
Shahih Bukhari: Kitab Shalat.

45. Berjama'ah di masjid golongannya
Tidak dibenarkan orang berjama'ah mencari masjid yang sesuai dengan golongannya. Umat Islam dilarang berpecah belah, karena perpecahan adalah fitnah dan penyakit, bahkan awal permusuhan. Tampak diluar mereka ramah tersenyum simpul, tetapi hati mereka bertengkar. Inilah kenyataan yang tidak bisa kita ingkari.
Firman-Nya,
Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS: Ar-Ruum: 31 - 32).
Tetapi jika meninggalkan masjid di desanya karena banyak bid'ahnya dan mencari masjid yang imamnya mengikuti sunnah dan di depan masjid atau sampingnya sunyi dari kuburan, maka (hal ini) termasuk mengikuti sunnah.
46. Pria memilih berjama'ah di rumah
Amalan ini menyelisihi sunnah, karena Nabi mempunyai keluarga tetapi beliau tidak berjama'ah dengan keluarganya, bahkan beliau berniat membakar rumah kaum muslimin yang tidak menjalankan shalat jama'ah di masjid.
Beliaupun menyuruh orang buta tatkala mendengarkan adzan hendaknya shalat di masjid, maka bagaimana dengan orang yang memiliki penglihatan yang sehat?
Dalilnya dari Abu Hurairah, dia berkata,
Datang seorang laki-laki buta kepada Nabi. Dia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tiada seorangpun yang menuntunku ke masjid." Lalu dia minta keringanan kepada Rasulullah agar diizinkan shalat di rumah. Beliau membolehkannya. Tatkala dia berpaling, beliau memanggilnya lalu bertanya, "Apakah kamu mendengar adzan panggilan shalat?" Dia menjawab, "Ya". "Jika begitu, datangilah." (HR. Muslim)
47. Berjama'ah di kantor atau tempat kerja
Amalan ini menyelisihi sunnah, karena Allah berfirman,
Dan ruku'lah beserta orang yang ruku'. (QS Al Baqarah: 43)
Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia ketika ditanya bagaimana hukum shalat berjama'ah di kantor perusahaan? Mereka menjawab:
Sudah menjadi ketetapan sunnah baik berupa perbuatan maupun perkataan, bahwa beliau bersama sahabat menjalankan shalat jama'ah di masjid, bahkan beliau berniat akan membakar rumah orang yang tidak berjama'ah di masjid. 54
48. Berjama'ah hanya sebagian waktu
Penyakit yang melanda kaum muslimin umumnya di negri kita, ialah malas menjalankan shalat jama'ah, mereka berjama'ah hanya waktu tertentu, seperti shalat maghrib. Sedangkan untuk shalat Isya' dan subuh mereka merasa keberatan, sebagaimana orang munafiq berat mengerjakannya.
Dalilnya, dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda:
Tiada shalat jama'ah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik melainkan shalat subuh dan isya', seandainya mereka mengetahui betapa besar pahalanya, tentu dia akan mengerjakannya walaupun dalam keadaan merangkak. (HR. Bukhari).
49. Merokok di masjid
Kadang kala kita jumpai sebagian masjid, disediakan asbak rokok. Sebelum imam datang, mereka merokok di halaman masjid. Bau rokok ini tentu akan mempengaruhi lingkungan di dalam masjid dan pasti mengganggu jama'ah, karena tidak semua orang senang dengan rokok. Mengganggu hukumnya haram, apalagi mengganggu orang yang beribadah.
Dalilnya, sesungguhnya Jabir bin Abdillah yakin bahwa Nabi bersabda,
Barangsiapa makan bawang, hendaklah menjauhi kami, atau menjauhi masjid kami. (HR. Bukhari).
Apabila ada orang makan bawang, beliau menyuruh agar menjauhi masjid, karena baunya yang mengganggu, padahal bawang itu halal dan tidak membahayakan bagi kesehatan, maka bagaimana rokok yang sudah jelas membahayakan kesehatan sebagaimana yang tertulis di luar bungkus rokok dan spanduk di sana sini, bahkan baunya lebih busuk (lebih tidak enak -red. vbaitullah) daripada bawang? 55
50. Berpakaian yang terlarang
Berpakaian yang menutup mata kaki, (atau) tipis sehingga badannya kelihatan, tebal tapi sempit, bergambar (makhluk -red vbaitullah.), terlihat sebagian auratnya ketika ruku' atau sujud dan sebagainya termasuk menyelisihi sunnah, kita wajib menjauhinya. Lihat pembahasan mengenai "Meluruskan Kekeliruan Imam" bagian satu dan dua.

________________________________________
Catatan Kaki
...54
Lihat Fatawa Islamiyah: 1/354.
...55
Untuk lebih jelasnya bab ini, lihat Fatawa Islamiyah: 1/358 - 359.



Meluruskan Kekeliruan Imam

Al-Ustadz Aunur Rofiq Ghufron

Meluruskan kekeliruan imam merupakan kewajiban umat Islam yang berilmu. Kekeliruan imam dalam sholat tidak hanya berakibat bumk kepada dirinya saja, tetapi akan mewariskan kesesatan kepada umat. Oleh karena itu wajib bagi kita semua, apabila kita keliru hendaknya bersenang hati untuk kembali kepada yang kebenaran setelah mengetahui dalilnya.


Tidak boleh malu di hadapan manusia hanya karena takut disalahkan atau gengsi karena kehilangan wibawa. Malu dihadapan Allah lebih utama daripada malu di hadapan manusia. Semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang haq dan memudahkan kita untuk menerima dan mengamalkannya. Dan memperlihatkan kepada kita yang batil dan memudahkan kita untuk menjauhinya.

Sholat merupakan ibadah yang paling pokok setelah seseorang berikrar mengucapkan dua syahadat. Sholat adalah ibadah yang tidak bisa dikurangi atau ditambah, karena Rosululloh telah memberi contoh langsung kepada sahabatnya. Para sahabat telah melihat sholat beliau setiap hari, dari takbir hingga salam. Bahkan beliau menyuruh umatnya agar mengikuti sholatnya tanpa menambah atau mengurangi.

Rosululloh berpesan kepada sahabatnya, yang juga untuk semua umatnya:
Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. 1
Berpijak dengan hadits di atas, maka kita selaku imam wajib mempelajari tuntunan sholat sesuai dengan sunnah Rosululloh.

Beberapa Kekeliruan Imam :

1. Berpakaian sangat tipis sehingga nampak auratnya.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin ketika ditanya bagaimana hukumnya seseorang yang sholat dengan memakai baju luar sangat tipis berwarna putih, tidak memakai kain dalam, melainkan celana pendek yang menutupi sebagian paha saja, sedangkan kulit badannya terlihat.

Beliau menjawab:

"Jika orang itu memakai celana pendek tidak menutupi perut sampai lututnya, sedangkan baju luarnya tipis sekali, orang itu pada hakikatnya belum menutupi aurot, karena istilah menutupi aurot hendaknya menutupi badan sehingga, tidak kelihatan kulimya.

Allah berfirman:
Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid. (QS Al-A'rof: 31)".

Rosululloh ketika melihat sahabat Jabir bin Abdulloh datang kepadanya malam hari lalu dia sholat malam bersamanya, sedangkan waktu itu dia hanya menyelimutkan pakaian yang sangat sempit sehingga membentuk semua tubuhnya beliau menasihatinya:
"Jika pakaian itu sempit, jadikanlah sarung (ikatkan kainmu mulai di atas perut sampai ke bawah), jika kainmu luas sekali, maka selimutkan ke seluruh anggota badanmu". 2

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin berkata:
"Ulama' telah sepakat, bahwa orang yang sholat sedangkan kulitnya kelihatan (karena pakaiannya yang sangat tipis) padahal ia mampu menutupi aurotnya dengan pakaian tebal, maka sholatnya tidak sah." 3

Imam Syafi'i berkata:
"Jika orang sholat memakai baju tipis sehingga kelihatan kulimya, maka tidak sah sholatnya". 4

2. Mengenakan pakaian luar yang sangat sempit

Imam hendaknya mengenakan pakaian yang lapang dan luas, tidak boleh sempit bagian Iuamya, karena akan mengganggu ketenangan dan kekhusyu'an sholat, bahkan akan membatalkan sholat apabila dia memakai kaos dan celana sempit, sehingga apabila ruku' dan sujud kelihatan sebagian kulit punggungnya.

Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan berkata:
"Barangsiapa sholat memakai celana sempit 5, sedangkan dia memakai kemeja pendek, pada waktu ruku' dan sujud tertarik kemejanya sehingga kelihatan sebagian punggungnya yang seharusnya tertutup, maka batal sholatnya. Ini adalah dampak buruk dan memakai pakaian yang diimpor dari orang barat". 6

________________________________________
Catatan Kaki
...1 HR Bukhori: Kitabul Adzan.
...2 HR. Bukhari: Kitabus Sholat.
...3 Lihat Fatawa Manorul Islam 11150.
...4 Kitab Al-Umm 1/78.
...5 press body
...6 Al-Qoul Mubin Fii Akhthoil Mushollin 28.

3. Mengenakan pakaian bergambar

Hendaknya pakaian imam bersih dari gambar dan lukisan, agar tidak mengganggu ketenangan orang yang sedang sholat.

Dalilnya:
Dari Aisyah dia berkata:
Rosululloh memakai khomishah 1 miliknya. Baju itu banyak lukisan dan gambarnya. Lalu bellau melihat lukisan-lukisannya. Tatkala selesai sholat, beliau berkata: pergilah dengan membawa baju ini, serahkan kepada Abi Jahm, katakan bahwa baju ini tadi mengganggu sholatku, dan bawalah kemari baju tebal 2 milik Abi Jahm bin Khudzaifah. 3
Dari Anas ia berkata:
'Aisyah mempunyai tabir 4 dibuat untuk tabir kamar rumahnya. Nabi menyuruh 'Aisyah: Jauhkanlah tabir ini, sebab gambar dan lukisannya senantiasa mengganggu sholatku. 5

4. Isbal (menutup mata kaki)

Imam tidak boleh mengenakan pakaian yang terlalu panjang hingga menutupi masa kaki. Maka hendaknya dia mengenakannya di atas mata kaki atau ditengah betisnya.

Dalilnya:
Dari Abu Huroiroh ia berkata:
Tatkala ada seorang laki-laki sholat mengenakan sarung yang menutupi mata kakinya. Nabi menyuruh dia pergi agar berwudlu. Orang itu pergi untuk berwudlu lalu datang. bellau menyuruhnva pergi lagi, ada seorang laki-laki hertanya: "Wahai Rosululloh mengapa engkau eristab dia berwudlu lagi?". Bellau berpaling, lalu heliau berkata: "Orang itu shalat tetapi sarungnya menutupi masa kakinya.

Sesungguhnya Allah tidak menerima sholat seorang laki-laki yang musbil 6. 7
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bias Hasan menukll fatwa dari Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah menjelaskan hadits di atas:

"Maksud hadits ini -wallahu a'lam bishshowab- bahwa menutupkan sarung sampai mata kaki termasuk perbuatan maksiat, setiap orang yang melakukan kemaksiatan diperintah agar berwudlu dan sholat, karena wudlu itu bisa membakar kemaksiatan". 8

5. Merasa paling berhak menjadi imam karena usianya yang lebih tua

Seseorang diangkat (dipilih) menjadi imam bukanlah karena usianya, tapi yang paling bagus lagi tartil bacaan AlQur'annya. Dan jika mungkin, yang paling banyak hafalannya.

Dalilnya:
Dari Abu Mas'ud Al-Anshory ia berkata: Rasulullah bersabda:
Hendaklah yang menjadi imam yang pandai bacaan Al-Qurannya. Apabila mereka sama didalam kepandaiannya, hendaklah yang paling mengerti sunnah, jika mereka sama dalam pengetahuan sunnahnya, hendaknya yang paling pertama hijrahnya, jika hijrahnya bersama-sama, hendaknya yang lebih dahulu masuk Islamnya. Riwayat lain berbunyi: kemudian yang paling tua umurnya". 9

Lembaga Fatwa'Ulama Saudi Arabia berfatwa:
aqrouhum yang paling bagus lagi tartil bacaannya dan yang paling banyak hafalannya. 10

6. Tidak lancar membaca ayat Al-Qur'an dan tidak faham tajwid dan makhrojnya.

Imam hendaknya berusaha untuk mempelajari makhroj dan tajwidul Qur'an, agar bacaannya benar, dapat menambah kekhusyuan dan tidak meresahkan makmum disebabkan tidak benamya bacaan imam.

Nabi bersabda:
orang yang mahir membaca AlQur'an bersama-sama dengan malaikat yang mulia yang baik, dan hiasilah Al-Qur'an itu dengan suaramu. 11

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang imam yang tidak baik bacaan ayatnya, beliau menjawab:
"Hendaknya kamu berusaha menghafalkan surat-surat AlQur'an dengan tajwid dan memperhatikan makhrojnya. Aku merasa optimis -dengan izin Allah- kamu akan mampu menghafalkannya apabila ada usaha dan kesungguhan. 12

________________________________________
Catatan Kaki
...1 Khomisah baju yang berjahit dengan benang sutra atau hulu binatang.
...2 yang tidak berlukisan dan bergambar
...3 HR. Bukhori: Kitabul Libas.
...4 (yakni tabir) tipis berwarna lagi penuh dengan lukisan
... sholatku.5 HR. Bukhari: Kitabul Libas.
...6 musbil orang yang melakukan isbal (memakai sarung atau celana yang menutupi mata kakinya).
...7 HR. Abu Dawud Kitabul Libas, Imam Ahmad, Imam Nasai. Imam Nawawi berkata: "Sanadnya shohih menurut kritena Imam Muslim".
...8 Al-Qoul Mubin Fii Akhthoil Mushollin hal. 37.
...9 HR Muslim: Kitabul Masajid wal Mawadli.
...10 Fatawa Lajnah AdDaimah Lilbuhus Al-Ilmiyah Wal Ifta 7/348.
...11 HR. Imam Bukhari Kitabut Tauhid.
...12 Majmu' Fatawa Ibnu Baz 4/393.

7. Tidak memperhatikan jarak sutroh (batas tabir) di depannya.

Yang benar, imam hendaknya sebelum bertakbir, berdekatan dengan sutroh (tabir) didepannya.

Dalilnya:
Dari Sahl bin Abi Hasmah sampailah berita kepada Nabi , lalu Beliau berkata:
Apabila salah satu diantara kamu akan melaksanakan sholat menghadap ke tabir (depan), hendaklah dekat dengan tabirnya, syetan tidaklah mampu memutus sholatnya. 1
Dalil jarak antara tempat berdiri Nabi dengan tabir depannya tiga hasta:
Bilal berkata: Selanjutnya Rosululloh sholat, sedangkan jarak antara tempat beliau berdiri dengan dinding di depannya adalah tiga hasta. (HR. Imam Ahmad)
Dalil jarak antara tempat sujud imam dengan dinding semisal berlalunya kambing:
Dari Sahl bin Sa'ad ia berkata:
Antara tempat sujud Rosululloh dan tembok semisal tempat yang bisa dilalui kambing. 2
8. Tidak menghadap lurus ke arah kiblat.

Imam tidak menghadap kiblat, tetapi serong beberapa derajat ke arah kanan (ke arah utara), padahal posisi kiblat sudah benar.
Yang benar imam lurus menghadap kiblat. Dari Jabir bin Abdillah ia berkata:
Rosululloh apabila sholat (sunnah) di atas kendaraannya, beliau menghadap ke mana saja kendaraannya menghadap, tetapi apa bila beliau ingin menjalankan sholat wajib, beliau turun dan menghadap kekiblat. 3

9. Tidak menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof.

Sebelum imam bertakbirotul ihram tidak menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof. Yang benar, sebelum bertakbirotul ihrom hendaknya imam menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof.

Dalilnya:
Anas bin Malik berkata: Ketika selesai qomat, Rosululloh menghadap ke arah kami dengan wajahnya. seraya berkata: Luruskan shofmu, rapatlah, karena aku melihatmu dari belakang punggungku. 4

10. Hanya melihat shot makmum sebelum bertakbirotulihrom.

Yang benar, imam menghadap kepada makmum dan melihat shof sambil berpesan: sawwu shufufakum (luruskan barisanmu), tarooshuu (rapatkan shofmu), suddul kholal (rapatkan yang masih renggang) dan kalimat semisalnya. Dalilnya:
Dari Anas bin Malik dari Nabi beliau berkata: sawwuu shufufakum (luruskan shofmu) karena lurusnya shof termasuk menegakkan shalat. 5

Didalam riwayat Abu Dawud, Nabi bersabda:
Haadzuu bainal manakib (rapatkan antara pundak), suddul kholal (tutuplah yang kosong).

11. Melafadzkan niat dengan bacaan usholli

Ketika akan bertakbirotul ihram imam melafadzkan niat 6 bahkan kadang-kadang mengeraskannya. Niat itu tempatnya dihati, tidak perlu diucapkan dengan lisan, sebab ucapan yang pertama pada waktu sholat ialah takbir "Allohu Akbar" sebagaimana sabda
Nabi Muhammad:
Dari 'Aisyah, dia berkata: Rosululloh memulai sholatnya dengan takbir, selanjutnya beliau membaca alhamdulillahi rabbil 'alamin. 7
Imam Nawawi berkata:
"Niat hendaknya hadir bersamaan dengan membaca takbirotul ihram". 8

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata
"Melafadzkan mat ketika akan bertakbirotul ihrom tidak ada contoh dari Nabi Muhammad bahkan perbuatan itu termasuk bid'ah". 9

12. Berulang-ulang mengangkat kedua tangannya ketika bertakbirotul ihrom.

Yang benar mengangkat tangan ketika bertakbirotul ihram hanya sekali, sebagaimana contoh dari Nabi dan para sahabatnya.

Ibnul Qoyyim Aljauzy berkata:
"Di antara macammacam waswas yang merusak sholat ialah mengulang-ulangi sebagian kalimat, seperti ketika duduk bertahiyyat membaca at ..at ..attahi ..attahiyatu, pada waktu salam membaca as.. as ..assaa ..assalamu'al dan ketika bertakbir ak ..ak ..ak ..akbar atau semisalnya. Pengulangan itu pada dzohimya membatalkan sholat. Jika yang melakukan imam maka dia telah merusak sholat makmum. 10

________________________________________
Catatan Kaki
...1 HR Abu Dawud. Al-Albani berkata: Imam Hakim menshohihkannya, Imam AdzDzahabi dan Imam Nawawi menyetujuinya.
...2 HR Imam Bukhori: Kitabus Sholat.
...3 HR Imam Bukhori: Kitabus Sholat.
...4 HR Imam Bukhori Kitabul Adzan.
... shalat.5 HR Bukhori Kitabul Adzan. Di dalam riwayat Bukhori yang lain, Nabi bersabda: Aqiimuu shufufakum (luruskan shofmu), tarooshshuu (rapatlah).
...6 membaca usholli .... dan seterusnya
...7 HR. Muslim: Kitabul Sholat.
...8 Sifatus Sholatin Nabi oleh Al-Albani: 85.
...9 Majmu' Fatawa Ibnu Baz 4/202.
...10 Ighotsatu Lahfan Min Mashoyidis Syaithon 1/158.

13. Bersedekap di atas lambung kiri

Yang benar adalah bersedekap dengan meletakkan telapak tangan kanan di alas punggung tangan kiri, atau di atas pergelangan tangan kiri, atau di atas lengan tangan kiri, lalu diletakkan di atas dada, sedangkan tangan kanan kadang kala menggenggam tangan kiri dan kadangkala tidak. Dalilnya:
Dari Abu Huroirah dia berkata: Rosululloh melarang meletakkan Iangan di alas lambung ketika shalat. (HR Abu Dawud).

Adapun dalil contoh bersedekap menurut sunnah:
Selanjutnya Rosululloh meletakkan tangan kanannya di alas tapak tangan kiri, (atau) di alas pergelangan (langan kiri) atau dl alas lengan kiri. 1
Lalu beliau meletakkan dua tangannya di alas dada, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah didalam kitab shohihnya: 1/54.

14. Membaca AI-Fatihah terlalu cepat, menyambung ayat dengan ayat yang lain (tidak berhenti setiap ayat).

Yang benar, imam ketika membaca surat Fatihah atau surat yang lain pada waktu sholat hendaknya berhenti setiap ayat.
Rosululloh memberi contoh kepada sahabatnya membaca Fatihah ayat demi ayat, membaca Basmalahir Rahmaanir Rahiim lalu berhenti, Alhamdulillahi rabbil 'alamiin lalu berhenti, Ar-Rahmaanir Rahiim lalu berhenti dan demikianlah seterusnya. demikian pula bacaan beliau untuk setiap surat, beliau berhenti setiap pangkal ayat dan tidak menyambungnya. 2

15. Membaca robbighfirli seusai membaca Fatihah.

Yang benar, Imam setelah membaca surat Fatihah dengan jahr, hendaknya membaca aamiin dengan suara keras pula. Adapun dalilnya sebagaimana point . Adapun membaca robbighfirli setelah membaca Fatihah termasuk amalan bid'ah.

16. Tidak mengucapkan 'amin' dengan suara keras

Yakni usai membaca Fatihah pada dua roka'at pertama sholat jahr.
Yang benar: ketika Imam membaca Fatihah dengan suara keras hendaknya membaca aamiin dengan suara keras.

Dalilnya:
Dari Wail bin Hujr ia berkata: Rasulullah apabila selesai membaca waladh dhaaalliiin, beliau membaca aamiin dengan suara keras. 3

17. Memanjangkan bacaan takbir

Membaca takbir intiqol4 dengan melanturkan suara, seperti: ...aaaaallahu akbar atau ...allaaaaahu akbar atau ..aaallaaaaahu akbaaaaar.
Bacaan takbir yang benar ialah allaahu akbar (huruf lam jalalah dibaca dua harokat), baik pada waktu takbirotul ihram atau takbir intiqol, karena bacaan yang seherusnya dibaca pendek lalu dibaca panjang akan merubah makna.

Ibnu Hazm berkata:
"Tidak dibenarkan bagi imam memanjangkan (melanturkan) bacaan takbir, tetapi hams mempercepat. Tidak dibenarkan ketika ruku', sujud, berdiri dan duduk kecuali hams sempuma bacaan takbimya". 5

18. Tergesa-gesa dalam setiap gerakan, sehingga hilang kekhusu'annya.

Yang benar setiap gerakan hendaknya disertai dengan tuma'ninah, karena Nabi pernah menyuruh orang agar mengulangi shalatnya ketika sholamya terlalu cepat.

Beliau bersabda:
...maka apabila kamu ruku', letakkan dua tapak tanganmu di atas dua lututmu, ulurkan punggungmu, kokohkan ruku'mu, jika kamu mengangkat kepalamu (dari ruku') luruskan Wang rusukmu sehingga kembali tulang itu kepada persendiannya, jika kamu sujud maka kokohkan sujudmu, jika kamu mengangkat kepalamu. (dari sujud) duduklah di atas pahamu yang kiri, selanjutnya kerjakan itu semua setiap ruku' dan sujud. 6

19. Mengusap wajah dengan tangan setelah mengucapkan salam

Yang benar, setelah salam tidak mengusap muka dengan tangannya, karena tidak ada contoh dari Nabi. Syaikh Ibnu Baz ketika beliau ditanya tentang hukum mengusap muka setelah salam, beliau menjawab:
Tidak ada tuntanannya, tetapi jika mengusap mukanya sebelum salam hukumnya makruh, karena Nabi ketika salam pada waktu sholat subuh, dahinya kelihatan bekas tanah basah, karena pada malam harinya turun hujan. Ini menunjukkan lebih utamanya sebelum salam tidak mengusap mukanya. 7

20. Tidak menghadap kepada makmum setelah salam

Biasanya imam tetap menghadap kekiblat setelah salam atau menghadap ke utara (arah kanan kiblat). Yang benar, setelah salam imam boleh menghadap kiblat sebentar saja untuk istighfar 3 kali dan berdzikir seperti dzikir Nabi dibawah ini:
Dari 'Aisyah dia berkata: Nabi apabila setelah salam, beliau tidak duduk melainkan kira-kira membaca: "Allaahumma antas Salaam wa minkas salam tabaarakta dzal jalaali wal ikroom." 8

Syalkhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Tidak layak bagi imam duduk setelah salam menghadap kiblat melainkan untuk beristighfar 3 kali dan membaca: "Allaahumma antas Salaam wa minkas salam tabaarakta dzal jalaali wal ikroom." 9
Rosululloh apabila selesai salam, mengbadap kepada makmum, dalilnya: Kemudian bellau salam, lalu bellau menghadap ke arah kami. 10
Beliau duduk lama setelah salam menghadap kepada makmum bila ada kepentingan, seperti memberi nasihat dll. Dalilnya:
Dari Anas, dia berkata: Rosululloh pernah mengimami kami pada suatu hari, setelah bellau salam beliau menghadap kepada kita, lalu beliau memberi nasihat: "Wahai manusia ... (HR Muslim Kitabus Sholat).

21. Memimpin dzikir dan membaca Fatihah bersama-sama setelah salam

Yang benar, dzikir setelah sholat diakukan sendiri-sendiri bagi yang berhajat. Lembaga Fatwa `Ulama Saudi Arabia berfatwa:
"Sedangkan petunjuk Nabi bahwa beliau berdzikir dan berdo'a sendirian, beliau tidak pemah mengomando sahabatnya untuk berdzikir bersam-sama. Adapun sebagian manusia membaca Fatihah dan do'a bersama-sama dikamando oleh imam setelah shalat termasuk amalan bid'ah." 11

________________________________________
Catatan Kaki
...1 HR Abu Dawud Kitahus Sholal. An-Nasai Kitabul lftitah. Ibnu Hibban di dalam shohihnya (485) Al-Albani berkata: sanadnya shahih.
...2 lihat Sifatus Sholatin Nabi oleh Al Albani 96.
... keras.3 HR Abu Dawud: Kitabus Shalat dengan sanad yang shahih.
... takbir intiqol4 adalah takbir pada saat pindah gerakan shalat.
...5 Al Muhalla: 4/151.
...6 HR Imam Ahmad: Musnad Al-Kufiyyin.
...7 Majmu' Fatawa Ibnu Baz: 4/272.
...8 HR Muslim: Kitabul Masajid Wal Mawadli'.
...9 Majmu' Fatawa Ibnu Timiyah 22/505.
...10 HR Muslim, Kitabul Masajid wal Mawadli'.
...11 Fatawa Lajnah Ad-Daimah Lilbuhus Al-Ilmiyah Wal Ifta' 7/122.


 

blogger templates | Make Money Online