Sabtu, 15 Desember 2007

Fatwa - Penetapan Hari Iedul Adha

Oleh : asy-Syaikh Ibrohim bin 'Amir ar-Ruhaili –hafidzohulloh

-Pertanyaan :
Assalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokaatuh,
Syaikh, tentang dengan penetapan hari Iedul Adha di daerahku, Salafiyyun terbagi menjadi 2 bagian; sebagian mereka mengikuti Saudi dan sebagian lainnya mengikuti pemerintah. Yang mengikuti Saudi berhujjah dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu al-Fatawa bahwa kaum muslimin selalu mengambil rukyahnya jama'ah haji. Apakah ini benar?

Jawaban:

Wa'alaikumussalaam wa rohmatulloh wa barokaatuh,
Pertama-tama, para 'ulama telah berbicara tentang masalah ini. Adapun tentang Romadhon : puasa dan iedul fithri, maka pada setiap negeri punya rukyah masing-masing. Dan tidak boleh bagi penduduk negeri ini atau yang selainnya berpuasa mengikuti Saudi dan negeri-negeri lainnya, bahkan setiap negeri memiliki rukyah masing-masing.

Jika orang-orang berpuasa, mereka berpuasa bersamanya dan jika orang-orang berbuka (iedul Fithri, pent) mereka berbuka bersamanya, jika kalian berada di negeri muslim seperti negeri ini.

Adapun pada Iedul Adha, pada penetapan hari Arofah, sebagian 'ulama menyebutkan masalah ini bahwa yang dianggap adalah rukyahnya negeri yang ditegakkan haji padanya. Karena hari Arofah adalah hari wukufnya manusia diArofah. Ini dikatakan oleh sebagian ahlul ilmi. Dan masalahnya khilafiyyah antara ahlul ilmi. Akan tetapi tidak diragukan bahwa tarjih suatu pendapat atas pendapat lainnya jika hal ini akan menyebabkan keburukan dan fitnah, maka persatuan kaum muslimin atas sebagian pendapat yang akan menghasilkan kesatuan kata dari pendapat para mujtahidin dan bukan dari pendapat ahli bid'ah, maka itu lebih baik daripada perpecahan kaum muslimin.

Kalian di negeri ini, jika pemerintah memberitahukan tentang sesuatu, maka ijtihadnya mengangkat khilaf. Dan jika kalian melihat ahlul ilmi wal fadhl, Ahlus Sunnah dan thullabul ilmi di kalangan mereka, jika mereka bersatu atas satu pendapat, jangan selisihi mereka.

Salah seorang peserta dauroh bertanya menimpali : Akan tetapi musykilahnya pemerintah kami memberikan kebebasan yang sempurna bagi siapa yang ingin memilih pendapat ini, bagaimana pendapat anda?

Asy-Syaikh menjawab:

Jika mereka memberikan kebebasan maka ikutilah kebanyakan kaum muslimin yang mereka Ahlus Sunnah yang mereka menegakkan al-haq di setiap tempat danwaktu, jika kebanyakan dari mereka dan jama'ah mereka berada di atas sesuatu maka ikutilah mereka dan jangan bersikap syadz (nyeleneh, pent) dari mereka.

[Diterjemahkan dari rekaman Dauroh Masyayikh Madinah di Kebun Teh WonosariLawang – Malang Juli 2007. File : syaikh ibrohim 4.mp3 >> 71:50 – 74:26

Derajat Hadits Puasa Hari Tarwiyah

Oleh : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
http://www.almanhaj.or.id/content/2303/slash/0

Sudah terlalu sering saya ditanya tentang puasa pada hari tarwiyah (tanggal delapan Dzulhijjah) yang biasa diamalkan oleh umumnya kaum muslimin. Mereka berpuasa selama dua hari yaitu pada tanggal delapan dan sembilan Dzulhijjah (hari Arafah). Dan selalu pertanyaan itu saya jawab : Saya tidak tahu! Karena memang saya belum mendapatkan haditsnya yang mereka jadikan sandaran untuk berpuasa pada hari tarwiyah tersebut.

Alhamdulillah, pada hari ini (3 Agustus 1987) saya telah menemukan haditsnya yang lafadznya sebagai berikut.“Artinya : Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun”. Diriwayatkan oleh Imam Dailami di kitabnya Musnad Firdaus (2/248) dari jalan :

[1]. Abu Syaikh dari :
[2]. Ali bin Ali Al-Himyari dari :
[3]. Kalbiy dari :
[4]. Abi Shaalih dari :
[5]. Ibnu Abbas marfu’ (yaitu sanadnya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Saya berkata : Hadits ini derajatnya maudlu’.

Sanad hadits ini mempunyai dua penyakit.

Pertama. Kalbiy (no. 3) yang namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbiy. Dia ini seorang rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan hadits di atas Kalbiy meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas).

Imam Hakim berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits yang maudlu’ (palsu)” Tentang Kalbiy ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh Wat Ta’dil.

[1]. At-Taqrib 2/163 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
[2]. Adl-Dlu’afaa 2/253, 254, 255, 256 oleh Imam Ibnu Hibban
[3]. Adl-Dlu’afaa wal Matruukin no. 467 oleh Imam Daruquthni
[4]. Al-Jarh Wat Ta’dil 7/721 oleh Imam Ibnu Abi Hatim
[5]. Tahdzibut Tahdzib 9/5178 oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar

Kedua : Ali bin Ali Al-Himyari (no. 2) adalah seorang rawi yang majhul (tidak dikenal).


Kesimpulan
[1]. Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) adalah hukumnya bid’ah. Karena hadits yang mereka jadikan sandaran adalah hadits palsu/maudlu’ yang sama sekali tidak boleh dibuat sebagai dalil. Jangankan dijadikan dalil, bahkan membawakan hadits maudlu’ bukan dengan maksud menerangkan kepalsuannya kepada umat, adalah hukumnya haram dengan kesepakatan para ulama.
[2]. Puasa pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) adalah hukumnya sunat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.

“Artinya : … Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Allah- menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) –aku mengharap dari Allah menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu”.[Shahih riwayat Imam Muslim (3/168), Abu Dawud (no. 2425), Ahmad (5/297, 308, 311), Baihaqi (4/286) dan lain-lain]

Kata ulama : Dosa-dosa yang dihapuskan di sini adalah dosa-dosa yang kecil.


Wallahu a’lam!

[Disalin dari buku Al-Masaa’il (Masalah-Masalah Agama) Jilid 2, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qalam – Jakarta, Cetakan I, Th. 1423H/2002M]

Shaum Arafah Tidak Mengikuti Saudi

Topik ini telah dibahas di milis salafyITB menjelang idul adha kemarin.Walaupun sudah berlalu, niscaya akan selalu kita jumpai ditahun tahun mendatang, sehingga Admin merasa perlu untuk membawa topik ini di blog. Mudah-mudahan ada keterangan lain dari pengunjung blog yang bisa kita saling menimba ilmu dan informasi. Karena kita ketahui persoalan ini telah terjadi perbedaan pendapat. Kami nukilkan dua fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin dalam hal ini.

Fatwa Pertama

Syaikh Utsaimin ditanya oleh para pekerja negara lain di kedutaan saudi dimana mereka punya masalah berkaitan dengan puasa ramadhan dan puasa arafah. Kelompok pertama mengatakan”Kami akan berpuasa dan berbuka mengikuti Saudi”. Kelompok kedua “Kami akan mengikuti negara kami”. Dan kelompok yang satu lagi berkata “Kami akan puasa ramadhan sesuai negara kami, akan tetapi mengikuti Saudi untuk puasa arafah”

نحن هنا نعاني بخصوص صيام شهر رمضان المبارك وصيام يوم عرفة ، وقد انقسم الأخوة هناك إلى ثلاثة أقسام :
قسم يقول : نصوم مع المملكة ونفطر مع المملكة .
قسم يقول نصوم مع الدولة التي نحن فيها ونفطر معهم .
قسم يقول : نصوم مع الدولة التي نحن فيها رمضان ، أما يوم عرفة فمع المملكة .
وعليه آمل من فضيلتكم الإجابة الشافية والمفصلة لصيام شهر رمضان المبارك ، ويوم عرفة مع الإشارة إلى أن دولة . . . وطوال الخمس سنوات الماضية لم يحدث وأن وافقت المملكة في الصيام لا في شهر رمضان ولا في يوم عرفة ، حيث إنه يبدأ صيام شهر رمضان . بعد إعلانه في المملكة بيوم أو يومين ، وأحيانا ثلاثة أيام .
فأجاب :
اختلف العلماء رحمهم الله فيما إذا رؤي الهلال في مكان من بلاد المسلمين دون غيره ، هل يلزم جميع المسلمين العمل به ، أم لا يلزم إلا من رأوه ومن وافقهم في المطالع ، أو من رأوه ، ومن كان معهم تحت ولاية واحدة ، على أقوال متعددة ، وفيه خلاف آخر .
والراجح أنه يرجع إلى أهل المعرفة ، فإن اتفقت مطالع الهلال في البلدين صارا كالبلد الواحد ، فإذا رؤي في أحدهما ثبت حكمه في الآخر ، أما إذا اختلفت المطالع فلكل بلد حكم نفسه ، وهذا اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله تعالى وهو ظاهر الكتاب والسنة ومقتضى القياس :
أما الكتاب فقد قال الله تعالى : ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون ) فمفهوم الآية : أن من لم يشهده لم يلزمه الصوم .
وأما السنة فقد قال النبي صلى الله عليه وسلم ( إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا ) مفهوم الحديث إذا لم نره لم يلزم الصوم ولا الفطر .
وأما القياس فلأن الإمساك والإفطار يعتبران في كل بلد وحده وما وافقه في المطالع والمغارب ، وهذا محل إجماع ، فترى أهل شرق آسيا يمسكون قبل أهل غربها ويفطرون قبلهم ، لأن الفجر يطلع على أولئك قبل هؤلاء ، وكذلك الشمس تغرب على أولئك قبل هؤلاء ، وإذا كان قد ثبت هذا في الإمساك والإفطار اليومي فليكن كذلك في الصوم والإفطار الشهري ولا فرق .
ولكن إذا كان البلدان تحت حكم واحد وأَمَرَ حاكمُ البلاد بالصوم ، أو الفطر وجب امتثال أمره ؛ لأن المسألة خلافية ، وحكم الحاكم يرفع الخلاف .
وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه


Syaikh Utsaimin menjawab:

Ulama berbeda pandangan mengenai apakah jika hilal tampak di suatu negeri melazimkan negeri lainnya mengikuti beramal dengannya.Ataukah hanya bagi yang melihat hilal atau bagi negeri yang satu mathla’ dengannya atau wilayah yang satu pemerintahan.Disini terjadi banyak sudut pandang yang berbeda.

Yang Rajih (unggul) ,bahwasannya hal ini dikembalikan kepada ahli ilmu. Jika dua negeri bertepatan atau satu mathla’ maka dihitung seperti satu negeri. Jika salah satunya melihat, maka berlaku hukum yang sama bagi negeri yang satunya tadi. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu taimiyah. Dan inilah yang sesuai dengan kitab dan sunnah serta qiyas.

Adapun dalil Al-Kitab :فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون(……Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu……….. 2:185)

Mafhum ayat ini, yang tidak melihat maka tidak diwajibkan.
Adapun dalil as-sunnahSabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam: إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا( Apabila kalian melihat (hilal) berpuasa dan berbukalah )
Mafhum hadist ini, jika tidak melihat maka tidak wajib.

Adapun dalil qiyas :Waktu dimulai dan berakhiranya puasa tiap hari di tiap negeri berdsarkan waktu lokal terbit dan tenggelamnya matahari
Akan tetapi jika ada dua wilayah dibawah satu peemrintahan, kemudian penguasa memerintahkan satu wilayah berpuasa atau berbuka maka wajib bagi negeri satunya untuk mengikuti. Karena permasalahan ini khilafiyah, sedangkan keputusan hakim menghilangkan khilaf.

Berdasar ini maka berpuasalah serta berbuka menurut penduduk negeri kalian dimana kalian sedang berada,sama saja apakah cocok dengan keputusan negeri asal kalian atau tidak. Demikian pula hari arafah, ikutilah negeri dimana kalian berada


Fatwa kedua

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya apabila terjadi perbedaan hari arafah dikarenakan penampakan hilal yang berbeda di negeri yang berbeda,apakah kita berpuasa mengikuti negeri dimana kita tinggal ataukan mengikuti negeri haramain (Saudi Arabia)

Dijawab beliau :
والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم ، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا ) وهؤلاء الذين لم ير في جهتهم لم يكونوا يرونه ، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها ، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت اليومي . [ مجموع الفتاوى 20 ]

Persoalan ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu,apakah hilal itu satu bagi seluruh dunia ataukah berbeda sesuai perbedaan mathla’.
Pandangan yang rajih adalah berbeda berdasar perbedaan mathla’ (dimana hilal itu dilihat di berbagai tempat).

Misalnya, jika hilal sudah dapat terlihat di Mekah, dan hari ini adalah hari kesembilan. Kemudian di negeri lain hilal dapat dilihat sehari sebelum nampak di Mekah,maka hari arafah di Mekah adalah hari kesepuluh bagi mereka,maka ini tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berpuasa di hari ini,karena hari tersebut adalah hari idul adha bagi mereka.

Atau sebaliknya jika hal ini terjadi dimana mereka melihat bulan sehari setelah Mekah,maka hari kesembilan (Dzulhijah) adalah tanggal 8 Djulhijjah bagi mereka,maka mereka harus berpuasa di tanggal 9 menurut mereka (walaupun bertepatan tanggal 10 bagi Mekah).

Inilah pandangan yang rajih karena Nabi shalallahu alaihi wassalam mengatakan :إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
“Apabila kamu melihat (hilal) berpuasalah, dan (juga) jika kamu melihatnya maka berbukalah”
Maka mereka yang tidak melihat hilal di negerinya maka dia belum melihatnya (sebagaimana hadist diatas).

Sebagaimana manusia telah sepakat (ijma) menganggap terbitnya fajar atau terbenamnya matahari itu sesuai daerahnya. Dengan demikian penentuan waktu masuknya bulan sebagaimana penentuan waktu harian (yang berbeda tiap daerah). Ini adalah ijma’ para ulama.

Olehkarenanya, penduduk asia timur memulai puasa sebelum penduduk bagian barat. Dan berbuka sebelum mereka. Demikian juga matahari yang terbit dan tenggelam saling berbeda. Untuk yang seperti puasa harian ini berbeda maka begitu juga untuk puasa bulanan maka tentu sama. Akan tetapi jika dua wilayah dalam satu pemerintahan, maka keputusan penguasa untuk berbuka dan berpuasa harus diikuti. Karena ini masalah khilafiyah sedangkan keputusan hakim itu mengankat khilaf. (Hukmul hakim yarfa’ul khilaf)Berdasar ini maka berpuasa dan berbukalah bersama penduduk dimana kalian sekarang tinggal, entah sama dengan negeri asal kalian atau tidak. Demikian juga shaum arafah, ikuti di negeri dimana kalian tinggal.

(Majmu’ fatawa 20)

Menyatukan Hari Raya

Oleh : Ustadz Armen Halim Naro
http://www.almanhaj.or.id/content/2304/slash/0

Perselisihan dalam menentukan hari raya, baik hari raya Idul Fithri maupun hari raya Idul Adha menjadi sebuah fenomena yang seringkali terjadi di kalangan kaum muslimin seakan-akan makna “al-id” yang seharusnya sesuatu yang berulang dengan penuh kegembiraan dan keceriaan, berubah menjadi sebuah permasalahan yang berulang-ulang tiap tahunnya dengan perselisihan dan pertengkaran.

Sebagai seorang muslim, tidak ada jalan lain kecuali beramal di atas bashirah dan ilmu yang akan menerangi jalan untuknya menuju keridhaan Allah. Maka dalam pembahasan masalah ini, penulis berusaha untuk memberikan pemahaman tentang sebab terjadinya perselisihan, dan kita yang tepat dalam bersikap, sehingga kita terlepas dari jeratan pertikaian dan termasuk orang yang berpegang teguh dengan tali Allah. Semoga Allah memberi taufiq kebenaran kepada penulis, sehingga dijauhkan dari kesalahan dalam penulisan dan pemahaman.

MENGAPA BERSELISIH DALAM MENENTUKAN HARI RAYA?

Perselisihan ini, tidak hanya terjadi di kalangan para ulama sebelumnya dalam permasalahan ijtihad, akan tetapi diperparah lagi dengan masuknya orang-orang yang tidak mengetahui agama (munafik) atau orang yang cenderung mengikuti akalnya sendiri [1], masuk ke dalam kancah permasalahan ini sehingga semakin memperkeruh masalah.Perselisihan yang terjadi dalam menentukan ke dua hari raya ini, dapat kita bagi dalam beberapa permasalahan.

Pertama : Adanya silang pendapat dalam cara menentukan hari raya, dengan hisab ataukah ru’yah hilal.

Kedua : Adanya perbedaan pendapat yang menyangkut mathla’ hilal pada setiap negeri atau tidak. Dalam arti, jika misalnya terlihat hilal di Arab Saudi, wajibkah semua umat Islam untuk berpuasa atau berbuka? Ataukah setiap negeri berhukum dengan mathla’ nya sendiri-sendiri?

Ketiga : Mensikapi keputusan pemerintah dalam menentukan jatuhnya hari raya. Sebagian yang tidak sependapat dengan pemerintah mengambil tindakan yang dianggapnya benar. Dan sebagian lagi, dalam melihat ru’yah hilal, berkiblat kepada negara lain, dan begitu seterusnya sehingga terjadilan kekacauan dan perselisihan di mana-mana.


RU’YAH ATAU HISAB?

Ada dua catatan penting menanggapi permasalahan di atas.

Pertama : Menggunakan hisab untuk membuat sebuah hukum dalam syari’at dan meninggalkan ru’yah hilal, ditakutkan terkena ancaman dari ayat Allah, yaitu orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kebenaran, dan juga jatuh ke dalam takwil Rasulullah bahwa umat Islam akan mengikuti perjalanan umat terdahulu (tasyabbuh), baik secara disengaja ataupun tidak.

Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah berkata : “Telah sampai kepada saya, bahwa syari’at sebelum kita juga mengaitkan hukum dengan hilal. Kemudian terjadi perubahan karena ulah tangan-tangan jahil dari para pengikut syari’at itu sendiri, sebagaimana telah diperbuat oleh Yahudi dalam bertemunya dua bujur, serta menjadikan sebagian hari raya mereka dengan menggunakan tahun Masehi, sesuai dengan kejadian yang dialami Al-Masih. Begitu juga dengan kaum Shabi’ah, Majusi dan dari kalangan kaum musyrikin lainnya dalam penggunaan ishtillah (penanggalan). Adapun yang dibawa oleh syari’at kita merupakan hal yang paling baik, apik, jelas tepat dan jauh dari pertentangan” [2]

Kedua : Pembahasan penentuan hari raya dengan menggunakan ru’yah sudah bersifat final, setelah adanya ijma’ selama tiga abad berurut-turut. Sehingga tidak ada jalan untuk berijtihad setelah terjadinya ijma’, sebagaimana yang telah diterangkan dalam ushul syari’ah.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata : “Sebagaimana telah kita ketahui dari agama Islam, bahwa menggunakan hisab untuk menentukan sesuatu dengan cara melihat hilal, seperti ; puasa, haji, iddah, ila’ atau lainnya, yang menyangkut permasahan hukum dengan hilal, tidaklah dibenarkan. Nash-nash dari Nabi tentang hal ini sangatlah banyak. Dan kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) dengan permasalah tersebut. Sama sekali tidak diketahui adanya perselisihan lama atau perselisihan baru, kecuali setelah abad ketiga, yakni oleh sebagian mutaakhirin dari kalangan ahli fiqih gadungan yang belum matang [3]. Yaitu dengan pernyataan “Jika hilal terhalangi awan, maka ahli hisab diperbolehkan menggunakan hisab untuk dirinya sendiri. Jika hisab (tersebut) menunjukkan ru’yah, maka dia boleh berpuasa. Jika tidak menunjukkan hilal, maka tidak boleh”. Pendapat ini telah didahului oleh ijma yang mengingkarinya, meskipun hanya berlaku untuk cuaca mendung dan dikhususkan untuk orang yang mengetahui ilmu hisab itu sendiri. Akan tetapi, mengikuti hisab ketika cuaca cerah, atau menggantungkan hukum untuk kalangan umum dengan hisab, maka tidak seorang muslimpun pernah mengatakannya”. [4]

Ketika Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta Arab Saudi, ditanya tentang hal serupa, mereka menjawab : “Sesungguhnya Allah mengetahui yang telah dan yang akan terjadi tentang perkembangan ilmu falak dan ilmu pengetahuan lainnya.

Sekalipun begitu, Allah berfirman :

Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan tersebut, maka hendaklah berpusa” [Al-Baqarah ; 185]

Dan Rasul-Nya menerangkan lebih jelas dengan sabdanya.“Berpuasalah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah dengan melihatnya” [5]

Maka beliau mengaitkan mulainya puasa bulan Ramadhan dan berakhirnya Ramadhan, yaitu dengan melihat hilal dan tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang. Sekalipun beliau mengetahui bahwa ilmu falak akan berkembang dengan hisab bintang dan menentukan perjalannya.

Oleh karena itu, kaum muslimin wajib kembali kepada syari’at Allah melalui lisan Nabi-Nya, dengan menggunakan ru’yah hilal dalam berpuasa dan berhari raya. Dan ini merupakan ijma dari ahli ilmu. Barangsiapa yang menyelisihinya dan menggunakan hisab bintang-bintang, maka pendapatnya aneh dan tidak dapat digunakan” [Tertanda. Ketua : Abdul Aziz, Wakil Ketua Abdur Razzaq Afifi. Anggota Abdullah bin Qu’ud] [6]


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo - Solo]

__________Foote Note
[1]. Lihat Majmu Fatawa (25/128-130)
[2]. Majmu Fatawa (25/135)
[3]. Sebagian pendapat ini kepada Ibnu Syuraih, Mutharif bin Abdullah dan Ibnu Qutaibah. Nisbat kepada Ibnu Syuraih dan Abdullah ini tidak benar. Adapun Ibnu Qutaibah, pendapatnya dalam masalah ini tidak perlu ditanggapi. Lihat Nailul Authar (4/502) Dar Ash-Shumai’i, Tharhut Tatsrib, Al-Iraqi (2/2-112).
[4]. Majmu Fatawa (25/132-133)
[5]. HR Muslim, Kitab Shiyam, Bab Wujub Shaumi Ramadan Li Ru’yatil Hilal, Syarh Muslim (3/134-135)
[6]. Fatawa Ramadhan (1/118-19)

Kamis, 13 Desember 2007

Menggapai Tujuan Hidup yang Hakiki

Saudaraku …, pernahkah kita renungkan apa sich sebenarnya tujuan hidup kita ?..., Mungkin pertanyaan ini sepele, namun sebagai mahluk yang dikaruniai Allah Subhanahuwata’ala dengan akal pikiran haruslah mempunyai tujuan hidup. Tanpa tujuan hidup, manusia laksana biduk ditengah samudera luas yang setiap saat selalu dipermainkan ombak.

Sebagian besar manusia memang mempunyai tujuan hidup, namun hanya sebatas mencari kesuksesan hidup didunia saja. Mereka terlalaikan dengan hiruk pikuknya segala urusan didunia dan mengabaikan tujuan hidup yang hakiki.

Sebagai manusia yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala tentunya tidak hanya menginginkan kebaikan hidup didunia saja tetapi juga kebaikan hidup di akhirat kelak. Inilah tujuan hidup yang hakiki.

Sebagaimana firman Allah Subhanahuwata’ala :

Artinya : “Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” [Al-Baqoroh : 201]

Al-Hasan rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata, ”Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah, dan kebaikan akhirat adalah Syurga ”Sedangkan Ibnu Wahb (wafat th.197 H) rahimahullah berkata, ”Aku mendengar Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata ”Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah syurga”

Rosullullah Shollallahu’alaihi Wasalam megajarkan kita berdo’a dalam hadist nya :

Artinya: "Ya Allah, perbaikilah urusan agamaku yang menjadi pegangan bagi setiap urusanku. Perbaikilah duniaku yang di situlah urusan kehidupanku. Perbaikilah akhiratku yang ke sanalah aku akan kembali. Jadikanlah hidupku ini sebagai tambahan kesempatan untuk memperbanyak amal kebajikan,. dan jadikanlah kematianku sebagai tempat peristirahatan dari setiap kejahatan” [hadis riwayat lmam Muslim dam Al-Turmudzî, dari Abû Hurairah]

Dalam meraih itu semua maka kita harus kembali memahami hakikat penciptaan diri manusia yaitu hanya menghamba kepada Allah Subhanahuwata’ala selaku pencipta dan pemilik alam semesta dalam setiap aktifitas gerak dan nafas kita.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman :

Artinya : ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” [Surah Adz-Zaariyaat : 56].

Jelaslah bahwa untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki maka kita harus menghambakan diri hanya kepada Allah Subhanahuwata’ala semata, mentauhidkan dan selalu istiqomah untuk selalu menggapai rahmat dan ridho Allah Subhanahuwata’ala.

Allah Subhanahuwata’ala jualah yang memberikan taufiq

Hidayah Milik Alloh

Penulis : Abu Abdillah Rudi Agus Hermawan

Hidayah adalah sesuatu yang sangat didam-idamkan dan diimpikan oleh setiap insan, sebab semata karena hidayah Alloh kenikmatan serta kebahagian hidup di dunia dan di akhirat dapat tercapai. Karena itu hidayah merupakan ni'mat yang terbesar yang Alloh anugerahkan pada seorang hamba. Sebagaimana ni'mat yang lain demikian juga hidayah hanya datang dari Alloh. Oleh karena itu meminta dan mengharapkannya juga hanya kepada-Nya.

Alloh berfirman yang artinya, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (Al Qashash: 56).

Ayat ini turun terkait dengan kematian paman beliau Abu Thalib dalam keadaan kafir. Dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim disebutkan, tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rosululloh Shollallohu `alaihi wasallam mendatanginya. Ketika itu Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahl berada di samping Abu Tholib. Rosululloh kemudian berkata, “Wahai Pamanku! Ucapkanlah ‘La Ilaaha Illalloh’ suatu kalimat yang dapat aku jadikan sebagai pembela untukmu di hadapan Alloh.” Akan tetapi, ajakan ini disambut oleh ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl dengan mengatakan, “Apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?” Lalu Rosululloh mengulanginya kembali dan mereka berdua juga mengulang-ulangi kata-kata itu pula. Akhirnya Abu Tholib meninggal dengan masih tetap pada agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan “La Ilaaha Illalloh” Kemudian Nabi Berkata “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu selama tidak dilarang”. Lalu Alloh ‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya yang artinya, "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Alloh) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam." (At Taubah: 113).

Mengenai Abu Thalib, Alloh menurunkan firman-Nya, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.”

Jika Nabi saja tidak mampu memberikan hidayah taufik kepada pamannya yang telah banyak berjasa, maka kepada yang lainnya tentu lebih tidak mampu lagi. Dan selain Nabi lebih tidak pantas lagi yaitu dimintai hidayah. Dengan demikian semua bentuk ketergantungan kepada Nabi Shollallohu `alaihi wasallam dan kepada yang lainnya selain Alloh adalah sangat tercela dan perbuatan yang sia-sia, bahkan merupakan perbuatan syirik.


Macam-Macam Hidayah

Hidayah yang diturunkan oleh Alloh ada dua macam yaitu:

1. Hidayah berupa bimbingan dan penjelasan (Hidayatul Bayan wal ‘Irsyad).
Hidayah seperti ini dimiliki oleh para rasul dan semua pengikutnya yang menyebarkan ajarannya. Mereka selalu memberikan bimbingan dan penjelasan umat tentang syariat Alloh Subhanahu wa Ta'ala.
Alloh berfirman yang artinya, "Orang-orang yang kafir berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Tuhannya?’ Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk." (Ar Ra'd: 7). Alloh juga berfirman, "Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: ‘Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), karena sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli’. Kemudian Fir`aun mengirimkan orang yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota." (Asy Syu'ara: 52-53)

Puncak dari hidayah yang dimiliki oleh para rasul adalah mereka diperkuat dengan mukjizat sebagai bukti kebenaran ajaran yang mereka sampaikan kepada umatnya.


2. Hidayah Taufik (Hidayatut Taufiq).

Yaitu hidayah yang diberikan Alloh Subhanahu wa ta’ala kepada seseorang sehingga ia menjadi orang yang beriman dan bertaqwa. Hidayah semacam ini hanya dimiliki oleh Alloh dan tidak selainnya. Hal ini seperti yang terdapat dalam ayat di atas. Alloh menyatakan bahwa Nabi Shollallohu `alaihi wasallam tidak mampu memberikan hidayah walaupun terhadap orang yang sangat beliau cintai. Kita juga dapat melihat contoh dalam kisah Abu Tholib di atas. Walaupun Rosululloh dapat memberikan hidayah bayan kepadanya namun Alloh tidak memberikan hidayah taufik sehingga ia mati dalam keadaan kafir.

Dalam Ayat dan hadits tersebut terdapat beberapa poin penting, antara lain:

1. Hidayah taufik hanya ditangan Alloh.
Berkata Abdurrohman As Sa’di didalam kitab Taisiirul Kariimir Rohman ketika menafsirkan surat Al Qoshosh 56, “Alloh Ta’ala mengabarkan bahwa Engkau wahai Muhammad �apalagi selain beliau- tidaklah mampu untuk memberikan hidayah pada seorangpun walaupun pada orang yang paling dicintai, karena hidayah taufiq hanyalah hak Alloh ta’ala bukan hak makhluk.”

2. Yang paling pertama dan utama adalah Tauhid.
Hal ini dikarenakan tauhidlah yang menjamin seorang untuk masuk surga. Jika tauhid bersih maka surga bisa dipastikan untuknya. Akan tetapi jika dia berbuat syirik maka tempat kembalinya adalah neraka. Rasululloh telah bersabda, “Barangsiapa yang berjumpa dengan Alloh dalam kondisi tidak berbuat syirik maka pasti akan masuk surga dan barangsiapa yang berjumpa denganNya dengan membawa perbuatan syirik maka akan masuk neraka.” (HR. Muslim)
Oleh karena itulah Rosululloh berusaha untuk mengislamkan Abu Tholib pada detik-detik akhir menjelang kematiannya dengan memerintahkannya untuk mengucapkan kalimat tauhid laa ilaaha illalloh.

3. Terlarang memintakan ampun untuk orang musyrik.
Perbuatan memintakan ampun ini terlarang seperti jelas dalam surat At taubah diatas. Selain itu Alloh tidaklah mengabulkannya karena orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan musyrik jelas kekal di dalam neraka. Kita berlindung pada Alloh agar dijauhkan dari perbuatan syirik.

4. Bahayanya teman yang buruk.
Salah satu sebab keengganan Abu Tholib untuk masuk Islam karena keberadaan Abu Jahal dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah di sampingnya yang menjadi provokator dan selalu mendorong untuk tetap di dalam agama Abdul Mutholib, yaitu agama kesyirikan. Maka berhati-hatilah wahai saudaraku -semoga Alloh selalu merahmatimu- dengan teman. Jangan sampai gara-gara ‘persahabatan’ ataupun rasa ‘pakewuh’ pada seseorang menghantarkan kita untuk bermaksiat pada Alloh yang telah memberikan kehidupan. Janganlah pula karena teman, kita rela minum khomr, merokok, bermain ‘togel’ dan sekian banyak kemaksiatan lain yang ia perbuat yang berujung pada kebinasaan.

Semoga Alloh senantiasa memberikan hidayah-Nya. Kita juga berdoa agar hidayah iman ini selalu tetap di hati sampai malaikat maut menjemput kita sehingga bertemu dengan Alloh dengan tidak mensekutukan-Nya

Selasa, 11 Desember 2007

Salah Faham Terhadap Do'a Nabi Shallallahu‘alaihi Wa Sallam

Oleh : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Diantara sekian banyak do'a-do'a yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada umatnya adalah do'a dibawah ini :

"Allahumma ahyinii miskiinan, wa amitnii miskiinan, wahsyurnii fii jumratil masaakiin".

"Artinya : Ya Allah ! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin".

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no. 4126) dan lain-lain. Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini derajatnya : hasan. [Lihat pembahasannya di kitab beliau : Irwaul Ghalil (no. 861) dan Silsilah Shahihah (no. 308)]

Setelah kita mengetahui bahwa hadits ini sah datangnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sekarang perlu kita mengetahui apa maksud sebutan miskin dalam lafadz do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.

Yang sangat saya sesalkan diantara saudara-saudara kita (tanpa memeriksa lagi keterangan Ulama-ulama kita tentang syarah hadits ini khususnya tentang gharibul hadits) telah memahami bahwa miskin di sini dalam arti yang biasa kita kenal yaitu : Orang-orang yang tidak berkecukupan di dalam hidupnya atau orang-orang yang kekurangan harta. Dengan arti yang demikian maka timbulah kesalah pahaman di kalangan umat terhadap do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, akibatnya :

[1]. Do'a ini tidak ada seorang muslimin pun yang berani mengamalkannya, atau paling tidak sangat jarang sekali, lantaran menurut tabi'atnya manusia itu tidak mau dengan sengaja menjadi miskin.

[2]. Akan timbul pertanyaan : Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh umatnya menjadi miskin ? Bukankah di dalam Islam ada hukum zakat yang justru salah satu faedahnya ialah untuk memerangi kemiskinan ? Dapatkah hukum zakat itu terlaksana kalau kita semua menjadi miskin ? Dapatkah kita berjuang dengan harta-harta kita sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan kalau kita hidup dalam kemiskinan ?. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari berburuk sangka kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[3]. Ada jalan bagi musuh-musuh Islam untuk mengatakan : “Bahwa Islam adalah musuh kekayaan !?”Padahal yang betul maksud miskin di dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini ialah : "Orang yang khusyu dan mutawaadli (orang yang tunduk dan merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala)".


Sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Ulama-ulama kita :

[1]. Imam Ibnul Atsir di kitabnya An-Nihaayah fi Gharibil Hadits (2/385) mengatakan :"Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin ..... Yang dikehendaki dengannya (dengan miskin tersebut) ialah : tawadlu' dan khusyu', dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur".

[2]. Di kitab kamus Lisanul Arab (2/176) oleh Ibnu Mandzur diterangkan, asal arti miskin di dalam lughah/bahasa ialah = al-khaadi' (orang yang tunduk), dan asal arti faqir ialah : Orang yang butuh. Lantaran itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin ..... Yang dikehendaki ialah : tawadlu' dan khusyu'. dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur. Artinya : Aku merendahkan diriku kepada Mu wahai Rabb dalam keadaan berhina diri, tidak dengan sombong. Dan bukanlah yang dikehendaki dengan miskin di sini adalah faqir yang butuh (harta).

[3]. Imam Baihaqi mengatakan :"Menurutku bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah meminta keadaan miskin yang maknanya kekurangan tetapi beliau meminta miskin yang maknanya tunduk dan merendahkan diri (khusyu' dan tawadlu'). [Lihat kitab : Sunatul Kubra al-Baihaqi 7/12-13 dan Taklhisul-Habir 3/109 No. 1415 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar]

[4]. Demikian juga maknanya telah diterangkan oleh al-Imam Ghazali di kitabnya yang mashur Al-Ihya' (4/193). [Baca juga syarah Ihya' (9/272) oleh Imam Az-Zubaidy]

[5]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :"Hidupkanlah aku" dalam keadaan khusyu' dan tawadlu'. [Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 18/382 bagian kitab hadits]Beliau juga mengatakan (hal. 326) : ".... bukanlah yang dikehendaki dengan miskin (di hadits ini) tidak mempunyai harta ..."

[6]. Imam Qutaibi juga mengatakan khusyu' dan tawadlu' [Ta'liq Sunan Ibnu Majah (no. 4126) oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi]Kemudian periksalah kitab-kitab dibawah ini :

[7]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah Tirmidzi (7/19-20 No. 2457) oleh Imam Al-Mubaarakfuri.

[8]. Faidhul Qadir Syarah Jami'us Shaghir (2/102) oleh Imam Manawi.

[9]. Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab (6/141-142) oleh Imam Nawawi.[10]. Shahih Jami'us Shaghir (no. 1271) oleh Al-Albani.[11]. Maqaashidul Hasanah (no. 166) oleh Imam As-Sakhawi.


Setelah kita mengetahui keterangan ulama-ulama kita tentang maksud miskin dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas baik secara lughah/bahasa meupun maknanya, maka hadits tersebut artinya menjadi :"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan khusyu' dan tawadlu', dan matikanlah aku dalam keadaan khusyu' dan tawadlu', dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang yang khusyu' dan tawadlu".

Rasanya kurang lengkap kalau di dalam risalah ini (sebagai penguat keterangan di atas) saya tidak menerangkan dua masalah yang perlu diketahui oleh saudara-saudara kaum muslimin.

Pertama : Bahwa Islam adalah agama yang memerangi atau memberantas kefakiran dan kemsikinan di kalangan masyarakat. Hal ini dengan jelas dapat kita ketahui.

[1]. Di dalam Islam tedapat hukum zakat (satu pengaturan ekonomi yang tidak terdapat pada agama-agama yang lain kecuali Islam). Sedangkan yang berhak menerima bagian zakat di antaranya orang-orang yang fakir dan miskin (At-Taubah : 60). Kalau saja zakat ini dijalankan sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan dan menurut sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya tidak sedikit mereka yang tadinya hidup dalam kemiskinan -setelah menerima bagian zakatnya- akan berubah kehidupannya bahkan tidak mustahil kalau di kemudian hari merekalah yang akan mengeluarkan zakat. Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman :"Artinya : Agar supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang yang kaya saja dari kamu". [Al-Hasyr : 7]

[2]. Islam memerintahkan memperhatikan keluarga (ahli waris) yang akan ditinggalkan, supaya mereka jangan sampai hidup melarat yang menadahkan tangan kepada manusia. Kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:"Artinya : Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka hidup melarat/miskin yang menadahkan tangan-tangan mereka kepada manusia (meminta-minta)". [Hadits Riwayat Bukhari 3/186 dan Muslim 5/71 dan lain-lain]

[3]. Bahkan Islam mencela kalau ada seorang mukmin yang hidup dalam keadaan cukup sedangkan tetangganya kelaparan dan dia tidak membantunya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam :"Artinya : Bukanlah orang yang mukmin itu yang (hidup) kenyang, sedangkan tetangganya (hidup) lapar di sebelahnya". [Hadits Shahih Riwayat Bukhari di kitabnya Adabul Mufrad, dan lain-lain]Maksudnya : Tidaklah sempurna keimanan sorang muslim itu apabila ia makan dengan kenyang sedangkan tetangganya di sebelahnya kelaparan (kalau hal ini ia ketahui dan ia tidak membantunya dengan memberi makan kepada tetangganya).

[4]. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari hidup dalam kefakiran dan kelaparan."Artinya : Dari Aisyah (ia berkata) : Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berdo'a dengan do'a-doa ini : Allahumma dan seterusnya..(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah neraka dan azab neraka, dan dari fitnah kubur dan azab kubur, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kekayaan, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kefakiran ...." [Shahih Riwayat Bukhari (7/159, 161). Muslim (8/75 dan ini lafadznya), Abu Dawud (no. 1543), Ibnu Majah (no. 3838), Ahmad (6/57, 207), Tirmidzi, Nasa'i, Hakim (1/541) dan Baihaqi (7/12).]

Kemudian Hadits Abi Hurairah :"Artinya : Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekurangan dan kehinaan, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya". [Shahih Riwayat Abu Dawud (no. 1544), Ahmad (2/305,325). Nasa'i, Ibnu Hibban (no. 2443). Baihaqi (7/12)]"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelaparan, karena sesungguhnya keleparan itu seburuk-buruk teman berbaring, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari khianat, karena sesungguhnya khianat itu seburuk-buruk teman". [Shahih Riwayat Abu Dawud (no. 1547). Nasa'i dan Ibnu Majah (no. 3354).]

Hadits Abi Bakrah Nufai' bin Haarits : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan do'a ini di akhir salat:"Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran dan azab kubur". [Hadits Shahih atas syarat Muslim di keluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal (5/36,39 dan 44) dan Nasa'i]

Hadits Anas bin Malik : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan dalam do'anya :"Artinya : ....Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran/miskin dan kekafiran ......". [Hadits Shahih atas syarat Bukhari, dikeluarkan oleh Imam Hakim (1/530). dan Imam Ibnu Hibban (no. 2446).]


Kedua : Islam tidak menjadi musuh kekayaan asalkan si kaya seorang yang taqwa. Bahkan dengan kekayaan itu seorang dapat memperoleh ganjaran yang besar dan derajat yang tinggi seperti berjihad dengan harta sebagaimana yang Allah perintahkan, menunaikan zakat harta, infaq dan shadaqah, ibadah haji, mendirikan masjid-masjid, pesantren dan sekolah-sekolah Islam, membantu anak yatim dan perempuan-perempuan janda dan lain-lain yang membutuhkan harta dan kekayaan.Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam pernah mendo'akan Anas bin Malik :"Artinya : Ya Allah ! Banyakkanlah hartanya dan anak-anaknya serta berikanlah keberkahan apa yang Engkau telah berikan kepadanya". [Hadits Riwayat Bukhari (7/152, 154,161 dan 162). dan lain-lain]


Hadits ini mengandung beberapa faedah.

[1]. Bahwa harta itu adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala.

[2]. Bahwa banyak harta itu tidak tercela atau mengurangi ibadahnya, asalkan dia memang seorang yang taqwa. Bahkan hadits ini kita dapat mengetahui bahwa banyak harta itu merupakan suatu kebaikan dan nikmat dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Karena tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo'akan kecelakaan kepada salah seorang shahabat dan pembantunya seperti Anas bin Malik kalau tidak menjadi kebaikan baginya !.

[3]. Boleh mendo'akan seseorang supaya banyak hartanya dengan penuh keberkahan.

[4]. Dari hadits ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai mempunyai anak banyak.

[5]. Hadits ini menerangkan tentang keutamaan Anas bin Malik yang telah terbukti dalam tarikh -berkat do'a Nabi- tidak seorangpun dari shahabat Anshar yang paling banyak harta dan anak selain dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada shahabatnya Hakim bin Hizaam : "Wahai Hakim! Sesungguhnya harta ini indah (dan) manis, maka barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang baik, niscaya mendapat keberkahan, dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang tamak, niscaya tidak mendapat keberkahan, dan ia seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang, dan tangan yang diatas (yang memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yang meminta)". [Hadits Riwayat Bukhari (7/176) dan Muslim (3/94)] [1]


[Disalin dari kitab Al-Masaa’il (Masalah-Masalah Agama) Jilid 2, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam – Jakarta, Cetakan I – Th. 1423H/2002M]


__________Foote Note

[1]. Ditulis pada tanggal 10-12-1988

Kamis, 06 Desember 2007

Kekeliruan sikap Di Masa Muda

Masih amat banyak para pemuda yang jatuh dalam pergaulan yang salah, senang dengan tindakan brutal dan kekerasan, ugal-ugalan, hura-hura dan bahkan kemaksiatan seperti, minum minuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya. Termasuk tingkat yang mengkhawatirkan adalah meninggalkan kewajiban yang seharusnya dilaku-kan oleh setiap muslim yang telah baligh, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Alasannya sangat sederhana, yakni memang begitulah seharusnya seorang pemuda itu, kalau tidak demikian namanya bukan anak muda.

Kita semuanya tanpa kecuali pasti menyadari, bahwa masing-masing kita mempunyai kesalahan dan pernah berdosa, terlupa serta khilaf. Hanya saja orang yang mendapatkan taufiq dan mau menyadari kekeliruannya pasti akan bersegera untuk bertaubat dan minta ampun kepada Allah. Menyesali perbuatan itu dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi-nya, sebagaimana difirmankan Allah, “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (QS. 3:135-136)

Betapa Maha Besarnya Allah! Seseorang telah melakukan tindak kekejian, menganiaya diri sendiri, kemudian mau bertaubat, menyesal, minta ampunan dan meninggalkan kemaksiatan itu lalu Allah mengampuni dan memberikan untuknya kenikmatan abadi di Surga. Mengalir di bawahnya sungai-sungai, disediakan buah-buahan ranum tak kenal musim, keteduhan dan kedamaian, bidadari yang jelita dan memandang wajah Allah Yang Agung lagi Mulia yang merupakan nikmat paling besar bagi penduduk Surga.

Pangkal Kekeliruan
Berbagai tindakan menyimpang yang dilakukan para pemuda ternyata memiliki muara yang boleh dikatakan sama, yaitu kekeliruan dalam memaha-mi dan menyikapi masa muda. Hampir sebagian besar pemuda memiliki persangkaan dan persepsi, bahwa masa muda adalah masa berkelana, hura-hura, bersenang-senang, main-main, berfoya-foya dan mengabiskan waktu untuk bersuka ria semaunya.

Untuk menimbang dan meman-dang dari sudut syar’i dikatakan belum waktunya dan bukan trendnya. Padahal kenyataannya syari’at berbicara lain, yaitu masa muda adalah masa dimulainya seseorang untuk memikul suatu beban tanggung jawab sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi, bahwa ada tiga golongan yang pena diangkat (tidak ditulis dosanya) yang salah satunya adalah seorang anak hingga ia dewasa (menjadi pemuda). Maka bagaimanakah seorang pemuda muslim yang ketika itu catatan keburukan sudah mulai ditulis malah justru memperbanyak keburukannya?

Yang sebenarnya adalah, masa muda merupakan masa dimulainya seseorang memulai menumpuk dan memperbanyak amal kebajikan, masa menghitung dan introspeksi diri, masa penuh semangat dan jiwa membara untuk membangun dan beramal sebanyak-banyaknya. Masa di mana segenap kemampuan dan tenaga dicurahkan serta masa yang penuh dengan kesempatan emas untuk melakukan berbagai ketaatan dan kebaikan.
Bentuk-Bentuk Kesalahan yang Sering Dilakukan Pemuda

1. Meremehkan Kewajiban
Banyak sekali di antara para pemuda yang meremehkan kewajiban-kewajiban yang telah di tetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala , mereka lupa, bahwa Allah menciptakan manusia tidak lain adalah agar beriba-dah kepada-Nya. Allah telah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan”. (QS. 51:56-57)
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam hadits qudsi, berfirman,“Tidaklah hamba-Ku melakukan taqarrub (ibadah) dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)Kewajiban paling pokok yang sering dilupakan oleh kebanyakan anak-anak muda adalah shalat (lima waktu) yang merupakan ibadah paling agung setelah syahadatain. Nabi telah menegaskan dalam sabdanya,
“Pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah (dalam hal) meninggalkan shalat.” (HR Muslim).
Dan sabdanya yang lain, “Perjanjian antara kita (muslimin) dengan mereka (orang kafir) adalah shalat, maka barang siapa meninggalkannya ia telah kafir.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasai dishahihkan oleh Al-Albani).Apabila seseorang telah menyia-nyiakan shalatnya, maka terhadap selain shalat biasanya lebih menyia-nyiakan lagi.

2. Terlalu Menuruti Hawa Nafsu
Yakni dengan tanpa memperhati-kan halal dan haram lagi, yang penting kemauannya terpenuhi. Jika saja ia mau bersungguh-sungguh memegang aturan Islam serta mau berpegang dangan talinya, maka tentu Allah akan menjaganya dari hal-hal yang haram. Kemudian Allah akan memberikan untuknya kesenangan yang halal yang dapat mencukupinya. Namun karena keimanan yang lemah dan rasa malu yang tipis, maka ia malah enggan dengan pemberian Allah tersebut dan lari darinya sehingga melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Allah. Maka ia berhak mendapatkan celaan dari Allah dalam firmanNya, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan.” (QS. 19:59)

3. Menyia-Nyiakan Waktu/Umur.
Hal ini disebabkab karena kitidak-tahuan terhadap hakekat fase masa muda, serta tujuan dari kehidupan. Seandainya para pemuda menyadari, bahwa waktu adalah kehidupannya dan umur adalah segala-galanya, tentu mereka tidak akan membuangnya dengan percuma. Sebagian salaf berkata,”Wahai anak Adam! kalian adalah hari-hari yang berputar, tatkala lewat satu hari, maka bagian dari dirimu telah hilang.”

Mabuk-Mabukan dan Mengkonsumsi Narkoba
Ini merupakan bala’ yang sangat besar bagi kawula muda, karena dengan terjurumus di dalamnya berarti ia telah menyerahkan jiwanya untuk dikendalikan setan dan hawa nafsu yang buruk. Khamer adalah biang kekejian sedangkan narkoba tak ada bedanya dengan khamer karena sama-sama memabukkan dan merusak akal. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam dalam sabdanya telah menegaskan,
“Setiap yang memabukkan adalah khamer dan setiap yang memabukkan adalah haram.” (Muttafaq ‘alaih).
5. Merokok
Merokok memang bukan kategori miras atau narkoba, namun tetap saja merupakan sesuatu yang membahayakan ditinjau dari berbagai segi, baik kesehatan, kejiwaan, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu banyak ulama yang menyatakan keharamannya berdasarkan banyak dalil yang terkait dengan bahaya-bahaya tersebut. Di antara dampak negatif merokok adalah membahayakan kesehatan, jika dilaku-kan di tempat umum asapnya mengganggu dan membahayakan orang lain serta termasuk menyia-nyiakan uang untuk sesuatu yang tidak berguna.

6. Kebiasaan Rahasia (Onani)
Biasanya para pemuda yang melakukan ini karena khawatir terjerumus ke dalam dosa zina, maka dengan itu ia berharap agar dapat meredam gejolak syahwatnya. Namun kenyataannya tidak sesuai yang di harapkan, malahan justru menambah besar dorongan hawa nafsunya. Ia bukanlah obat penyembuh, dan bukanlah cara penyaluran yang sesuai syariat. Obat yang dianjurkan adalah menikah, menjaga pandangan, puasa, menyibukkan diri dengan kegiatan positif, mencari teman yang baik, menjauhi tempat-tempat yang banyak fitnah, tidak menonton acara-acara yang merusak dll.

7. Suka Meniru Trend Orang Kafir (Tasyabbuh)
Masalah ini cukup serius dan membahayakan, muncul akibat perasaan kurang dan rendah kemauan yang membawanya berputar dalam lingkaran keburukan. Tidak mau menghiasi diri dengan tingginya akhlak yang diajarkan oleh agamanya sendiri. Mereka lupakan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam ,“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongannya.” (HR Ahmad dan Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Albani)

8. Hobi Mengumbar Lisan
Bentuknya berupa mengejek dan mengolok-olok orang, menggunjing dan adu domba, dusta, mencela dan melaknat serta mengucapkan perkataan perkataan buruk dan jorok. Di antara firman Allah yang melarang hal-hal tersebut adalah surat Al-Hujurat :11-12.

9.Durhaka Kepada Kedua Orang Tua
Allah telah mengingatkan kita semua dengan firman-Nya“Dan Kami perintahkan kepada manu-sia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya” (QS.Luqman :14)
Dan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam , “Terlaknatlah siapa saja yang mendurhakai kedua orang tuanya.”(HR. Ath-Thabrani dishahihkan oleh Al-Albani)

10. Mendengarkan Nyanyian dan Musik
Para pemuda dan juga kebanyakan manusia amat perhatian dengan musik dan nyanyian-nyanyian, hingga rumahnya penuh dengan koleksi lagu-lagu yang boleh dibilang sebagian besarnya berbicara tentang cinta, syahwat dan segala yang memancing tindakan buruk. Nabi telah mensinyalir melalui sabdanya, “Sungguh akan datang suatu zaman pada umatku ini dimana saat itu orang-orang menganggap halal perzina-an, sutra, khamer dan musik.”(HR. Al-Bukhari)

11.Bangga dengan Perbuatan Dosa
Amat banyak anak muda yang merasa bangga apabila dapat mencelakai sesamanya, memukul atau menghajar hingga terluka, kuat minum sekian botol, tidak puasa Ramadhan dan lain sebagainya. Andaikan ia tidak terang-terangan dan merasa bangga dengan dosanya, maka besar kemungkinan Allah akan mengampuninya, karena dalam Hadits Muttafaq ‘Alaih, Nabi Salallahi alaihi wa salam telah bersabda, bahwa seluruh umatnya akan diampuni kecuali al-mujahirun (orang yang terang-terangan dalam berbuat dosa).

12. Tidak mensyukuri nikmat Allah dan menyia-nyiakannya.
13. Mengganggu dan menyakiti orang lain, tidak menghormati yang tua.
14. Memutuskan hubungan silatur rahmi.
15. Suka mengikuti program obrolan dengan lawan jenis via telepon.
16. Menunda taubat dan panjang angan-angan.
17. Terlalu banyak tertawa dan bercanda
18. Bergaul dengan teman yang buruk perangai.
19. Tidak perhatian dengan urusan-urusan kaum muslimin.


Sumber: Kutaib “Min Akhtha’ Asy Syabab” Qism Al-Ilmi Darul Wathan Riyadh

Rabu, 05 Desember 2007

Ruqyah Mengobati Guna Guna dan Sihir

Tulisan ini saya kutip dari Blog Referensi Buku Islam yang dibuat oleh Akh Chandraleka dari buku karya Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Asy Syafi'i Cetakan : II, Maret 2005 MHalaman : xx + 78.

Buku karya Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas ini membahas tentang berbagai macam pengobatan secara Islami menurut Al Qur'an dan Sunnah yang shahih. Lebih khusus lagi, di buku ini membahas tentang pengobatan terhadap sihir dan juga pengobatan karena kesurupan jin.

Pada ringkasan ini saya coba kutipkan sebagiannya saja -dengan meringkas- yaitu tentang pengobatan terhadap sihir yang ada pada halaman 9 sampai 34 di buku tersebut. Footnote tidak saya sertakan.


[Hakikat Sihir]

Sihir menurut bahasa berarti sesuatu yang halus dan tersembunyi.Abu Muhammad al Maqdisi berkata: "Sihir adalah jimat jimat, jampi jampi, mantera mantera dan buhul buhul (yang ditiup) yang dapat berpengaruh pada hati dan badan. Maka sihir dapat menyakiti, membunuh dan memisahkan suami dengan istrinya."Sihir adalah tipu daya syaitan melalui walinya (tukang sihir dan dukun, paranormal, orang pintar dan lain lain). Orang dapat terkena sihir dengan sebab lemahnya iman, kurangnya dzikrullah, dan tidak berlindung kepada Allah. Langkah yang ditempuh dukun hanyalah mengusir syaitan sihir dengan syaitan sihir. Ibarat mengusir maling dengan minta bantuan perampok atau penjarah.

Sihir, guna guna dan selainnya tidak akan mengenai seseorang kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala."Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah." (Al Baqarah: 102).

Sebagian ulama Salaf berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir dan hukum belajar sihir adalah haram. Para shahabat (kawan kawan) Imam Ahmad menyatakan kafir bagi orang yang belajar dan mengajarkan sihir.Sihir adalah dosa besar yang membinasakan seseorang, baik di dunia dan akhirat. Tukang sihir tidak akan bahagia di mana pun berada.Hukuman bagi tukang sihir ialah dipenggal lehernya / dibunuh.


[Macam Macam Sihir]

- Sihir mahabbah (cinta / pelet)
- Sihir perasaan / kejiwaan, takut, berani, merasa dikejar, merasa ditemani orang dan lain lain- - Sihir kekuatan ghaib: pandangan mata, pukulan jarak jauh, kebal, tidak mempan dibakar, tahan sengatan, komunikasi jarak jauh (telepati) dan lain lain
- Sihir pandangan mata: sulap
- Sihir gangguan pada bagian anggota tubuh, misalnya kaki kesemutan terus menerus, buang air terus menerus, badan lemas, perut kembung tanpa sebab, keluar darah terus menerus, ada juga yang gila
- Sihir penyakit dengan segala kejanggalan dan keanehan
- Sihir permusuhan dan perceraian (Al Baqarah : 102)
- Sihir ramalan, untuk meramal nasib, mencari barang hilang, dll


[Pengobatan Ilahi Terhadap Sihir]
Pengobatan Ilahi terhadap sihir ini mempunyai dua bagian, yaitu

*BAGIAN PERTAMA*
Hal hal yang dipergunakan untuk mencegah datangnya sihir, yakni:

1. Mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Nya saja dan tidak boleh berbuat syirik.
2. Menunaikan seluruh kewajiban, meninggalkan semua larangan, serta bertaubat dari segala macam perbuatan dosa.
3. Memperbanyak membaca Al Qur'an, yaitu dengan cara menjadikannya sebagai wirid yang dibaca setiap hari. Diutamakan membaca surat Al Baqarah setiap hari di rumah.
4. Melindungi dan membentengi dengan banyak memanjatkan berbagai macam do'a, ta'awudz, serta dzikir dzikir yang disyariatkan yang sesuai dengan Sunnah Nabi yang shahih.
5. Jika memungkinkan, hendaklah memakan tujuh buah kurma pada pagi hari. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam"Barang siapa di pagi hari makan tujuh buah kurma 'Ajwah (kurma Nabi), maka dia tidak akan terkena racun atau sihir." (HR. Bukhari no. 5769).

*BAGIAN KEDUA*
Pengobatan sihir yang sudah menimpa pada diri seseorang.

Cara pertama,
mengeluarkan sihir tersebut dan menggagalkannya jika diketahui tempatnya dengan cara cara yang dibolehkan menurut syari'at. Dan ini merupakan suatu hal yang paling manjur untuk pengobatan orang yang terkena sihir.

Cara kedua,
menggunakan ruqyah yang sesuai dengan syari'at, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menumbuk tujuh helai daun pohon sidr (daun bidara) hijau di antara dua batu atau sejenisnya, lalu menyiramkan air ke atasnya sebanyak jumlah air yang cukup untuk mandi dan dibacakan ke dalamnya:

"A'uudzubillahi minasy syaithaanirrajiim".
Al Baqarah: 255
Al A'raaf: 117 - 122
Yunus: 79 - 82
Thaha: 65 - 70
Al Kaafiruun: 1 - 6
Al ikhlas: 1 - 4
Al Falaq: 1 - 5
An Naas: 1 - 6

Setelah membacakan ayat ayat di atas pada air yang sudah disiapkan tersebut, hendaklah dia meminumnya sebanyak tiga kali, dan kemudian mandi dengan menggunakan sisa air tersebut. Dengan demikian, insya Allah penyakit (sihir) akan hilang. Dan jika perlu, hal itu boleh diulang dua kali atau lebih, sehingga penyakit (sihir) itu benar benar sirna. Hal itu sudah banyak dipraktekkan, dan dengan izin Nya, Allah memberikan manfaat padanya. Pengobatan tersebut juga sangat baik bagi suami yang tidak bisa berhubungan badan karena terkena sihir.

2. Membaca surat Al Fatihah, ayat Kursi, dua ayat terakhir dari surat Al Baqarah, surat al ikhlas, surat al Falaq dan surat an Naas sebanyak tiga kali atau lebih, disertai tiupan dan sentuhan pada bagian yang terasa sakit dengan menggunakan tangan kanan.

3. Membaca beberapa ta'awwudz, ruqyah dan doa yang mencakup:(Doa doa selengkapnya bisa dibaca di buku tersebut halaman 25 sampai 32).

Cara ketiga,
mengeluarkan penyakit dengan melakukan pembekaman pada bagian yang tampak bekas sihir, hal itu jika dimungkinkan, tetapi jika tidak mungkin, maka cukup dengan penyembuhan cara sebelumnya. Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta'ala.

Cara keempat,
dengan obat obatan alami. Di dunia ini terdapat beberapa obat alami yang sangat bermanfaat yang ditunjukkan oleh al Qur'an al Karim dan as Sunnah. Jika seseorang menggunakannya dengan penuh keyakinan, kejujuran, dan tawajjuh disertai keyakinan bahwa manfaat itu hanya dari Allah, maka Allah akan memberikan manfaat padanya, jika Dia menghendaki. Di sana terdapat obat yang dikombinasi dari rerumputan dan sejenisnya, yang semuanya itu didasarkan pada pengalaman, sehingga tidak ada larangan untuk memanfaatkannya menurut syari'at selama tidak diharamkan. Diantara pengobatan dan penyembuhan alami yang sangat bermanfaat dengan izin Allah adalah menggunakan madu, habbatus sawda (jintan hitam), air zam zam, dan air hujan.

Hal ini didasarkan pada firman Allah:"Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya." (Qaaf: 9).

Juga minyak zaitun. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah:"Makanlah oleh kalian minyak (zaitun) dan poleskanlah dengannya, karena sesungguhnya minyak (zaitun) itu dari pohon yang diberkahi." (HR. Ahmad III/497).
Telah terbukti melalui pengalaman, praktek langsung serta melalui kepustakaan, bahwa ia merupakan minyak yang paling bagus.Dan di antara obat alami lainnya adalah; mandi, membersihkan diri, dan memakai wangi wangian.

Menjual Sesuatu Dari Hewan Sembelihan Qurban

Dalam masalah ini terdapat beberapa hadits, sebagaimana tersebut dibawah ini.

[1]. Hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.
“Artinya : Dari Ali Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar dia mengurusi budn (onta-onta hadyu) Beliau [3], membagi semuanya, dan jilalnya [4] (pada orang-orang miskin). Dan dia tidak boleh memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada penjagalnya”. [HR Bukhari no. 1717, tambahan dalam kurung riwayat Muslim no. 439/1317]

Pada riwayat lain disebutkan, Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku agar aku mengurusi onta-onta kurban Beliau, menshadaqahkan dagingnya, kulitnya dan jilalnya. Dan agar aku tidak memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada tukang jagalnya. Dan Beliau bersabda : “Kami akan memberikan (upah) kepada tukang jagalnya dari kami” [HR Muslim no. 348, 1317]

Hadits ini secara jelas menunjukkan, bahwa Ali diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menshadaqahkan daging hadyu, kulitnya, bahkan jilalnya. Dan tidak boleh mengambil sebagian dari binatang kurban itu untuk diberikan kepada tukang jagalnya sebagai upah, karena hal ini termasuk jaul beli.

Dari hadits ini banyak ulama mengambil dalil tentang terlarangnya menjual sesuatu dari binatang kurban, termasuk menjual kulitnya.

[2]. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
“Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Barangsiapa menjual kulit binatang kurbannya, maka tidak ada kurban baginya”.

Syaikh Abul Hasan As-Sulaimani menjelaskan, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim (2/389-390) dan Al-Baihaqi (99/294) dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ush Shagir, no. 6118. Namun di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdullah bin Ayyasy, dan dia seorang yang jujur namun berbuat keliru, perawi yang tidak dijadikan hujjah. [5]

[3]. Hadits Abi Sa’id Al-khudri Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Janganlah kamu menjual daging hadyu dan kurban. Tetapi makanlah, bershadaqahlah, dan gunakanlah kesenangan dengan kulitnya, namun janganlah kamu menjualnya” [Hadits dha’if, riwayat Ahmad 4/15] [6]


PERKATAAN PARA ULAMA

[1]. Imama Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “Jika seseorang telah menetapkan binatang kurban, wolnya tidak dicukur. Adapun binatang yang seseorang tidak menetapkannya sebagai kurban, dia boleh mencukur wolnya. Binatang kurban termasuk nusuk (binatang yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah), dibolehkan memakannya, memberikan makan (kepada orang lain) dan menyimpannya. Ini semua boleh terhadap seluruh (bagian) binatang kurban, kulitnya dan dagingnya. Aku membenci menjual sesuatu darinya.
Menukarkannya merupakan jual beli”.Beliau juga mengatakan : “Aku tidak mengetahui perselisihan di antara manusia tentang ini, yaitu : Barangsiapa telah menjual sesuatu dari binatang kurbannya, baik kulit atau lainnya, dia (harus) mengembalikan harganya –atau nilai apa yang telah dia jual, jika nilainya labih banyak dari harganya- untuk apa yang binatang kurban dibolehkan untuknya. Sedangkan jika dia menshadaqahkannya, (maka) lebih aku sukai, sebagaimana bershadaqah dengan daging binatang kurban lebih aku sukai” [7]

[2]. Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Dan madzhab (pendapat) kami (Syafi’iyah), tidak boleh menjual kulit hadyu atau kurban, dan tidak boleh pula (menjual) sesuatu dari bagian-bagiannya. Inilah madzhab kami. Dan ini pula pendapat Atho, An-Nakha’i, Malik, Ahmad dan Ishaq. Namun Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Ibnu Umar, Ahmad dan Ishaq, bahwa tidak mengapa menjual kulit hadyu dan menshadaqahkan harga (uang)nya. Abu Tsaur memberi keringanan di dalam menjualnya. An-Nakha’i dan Al-Auza’i berkata : ‘Tidak mengapa membeli ; ayakan, saringan, kapak, timbangan dan semacamnya dengannya (uang penjualan kulitnya, -pent), Al-Hasan Al-Bashri mengatakan ; “Kulitnya boleh diberikan kepada tukang jagalnya’. Tetapi (perkataannya) ini membuang sunnah, wallahu a’lam. [Lihat Syarah Muslim 5/74-75, Penerbit Darul Hadits Cairo]
[3]. Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata : “Ini (hadits Ali di atas) menunjukkan bahwa dia (Ali) bershadaqah dengan kulit dan jilal (pakaian onta) sebagaimana dia bershadaqah dengan daging. Dan Ali tidak sedikitpun mengambil dari hewan sembelihan itu sebagai upah kepada tukang jagal, karena hal itu termasuk hukum jual-beli, karena dia (tukang jagal) berhak mendapatkan upah. Sedangkan hukum kurban sama dengan hukum hadyu, yaitu tidak boleh diberikan kepada tukang jagalnya sesuatupun dari binatang sembelihan itu (sebagai upah). Penulis Nihayatul Mujtahid berkata : “Yang aku ketahui, para ulama sepakat tidak boleh menjual dagingnya”. Tetapi mereka berselisih tentang kulit dan bulunya yang dapat dimanfaatkan. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan tidak boleh. Abu Hanifah mengatakan boleh menjualnya dengan selain dinar dan dirham. Yakni (ditukar) dengan barang-barang. Atha’ berkata, boleh dengan semuanya, dirham atau lainnya” [8] Abu Hanifah membedakan antara uang dengan lainnya, hanya karena beliau memandang bahwa menukar dengan barang-barang termasuk kategori memanfaatkan (binatang sembelihan), karena ulama sepakat tentang bolehnya memanfaatkan dengannya’. [Lihat Subulus Salam 4/95, Syarah Hadits Ali]

[4]. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan : “Di antara faidah hadits ini menunjukkan, bahwa kulit binatang kurban tidak dijual. Bahkan penggunaan kulitnya adalah seperti dagingnya. Pemilik boleh memanfaatkannya, menghadiahkannya atau menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin. [Lihat Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/70]Beliau juga berkata : “Para ulama sepakat tidak boleh menjual daging kurban atau hadyu (hewan yang disembelih oleh orang yang haji). Jumhur (mayoritas) ulama juga berpendapat tidak boleh menjual kulit binatang kurban, wolnya (bulu kambing), wabar (rambut onta) dan rambut binatangnya. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan menjual kulitnya, rambutnya dan semacamnya dengan (ditukar) barang-barang, bukan dengan uang, karena menukar dengan uang merupakan penjualan yang nyata” [Lihat Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/71]


KESIMPULAN
Dari perkataan para ulama di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
[1]. Orang yang berkurban boleh memanfaatkan kurbannya dengan memakan sebagiannya, menshadaqahkan sebagiannya, memberi makan orang lain dan memanfaatkan apa yang dapat dimanfaatkan.
[2]. Para ulama sepakat, orang yang berkurban dilarang menjual dagingnya.
[3]. Tentang menjual kulit kurban, para ulama berbeda pendapat.a). Tidak boleh. Ini pendapat mayoritas ulama. Dan ini yang paling selamat, insya Allahb). Boleh asal dengan barang, bukan dengan uang. Ini pendapat Abu Hanifah, Tetapi Asy-Syafi’i menyatakan, bahwa menukar dengan barang juga merupakan jual-beli.c). Boleh. Ini pendapat Abu Tsaur. Tetapi pendapat ini menyelisihi hadits-hadits diatas.
[4]. Jika kulit dijual, maka –yang paling selamat- uangnya (hasil penjualan) dishadaqahkan. Wallahu ‘alam bish shawab.Pengelola penyembelihan binatang kurban tidak boleh gegabah dan serampangan mengambil kesimpulan hukum tentang kulit. Misalnya mengambil inisiatif menjual kulit yang hasilnya untuk kepentingan masjid atau diluar lingkup ketentuan yang diperbolehkan.


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis Ustadz Muslim Al-Atsari. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]

__________Foote Note :

[1]. Qirbah : wadah air yang terbuat dari kulit
[2]. Shahih Fiqhis Sunnah 2/378, karya Abu Malik Kamal bin As-Syyid Salim
[3]. Hadyu : Binatang ternak yang mudah didapatkan, berupa onta, sapi, atau kambing, yang disembelih oleh orang yang berhaji dan dihadiahkan kepada orang-orang miskin di Mekkah. Hadyu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu itu 100 ekor onta. Hadyu ada yang hukumnya wajib, ada yang sunnah. Lihat Minhajus Salik hal.396, 405 karya Syaikh Muhammad Al-Bayyumi, Tahqiq Dr Shalih bin Ghanim As-Sadlan.
[4]. Jilal : kain yang ditaruh pada punggung onta untuk menjaga diri dari dingin dan semacamnya, seperti pakaian pada manusia.
[5]. Diringkas dari Tanwirul Ainain hal. 376-377
[6]. Lihat Shahih Fiqhis Sunnah 2/379, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim
[7]. Al-Umm 2/351, dinukil dari Tanwirul Ainain Bi Ahkamil Adhahi wal Idain hal.373-374 karya Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Ismail As-Sulaimani
[8]. Penukilan pendapat Atha di sini berbeda dengan penukilan An-Nawawi –sebagaimana di atas- yang menyatakan bahwa Atha termasuk ulama yang melarang penjualan kulit kurban.

Selasa, 04 Desember 2007

Ungkapan Untuk Orang Yang Sudah Meninggal

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
http://www.almanhaj .or.id/content/ 1772/slash/ 0

Ungkapan yang disyariatkan dalam kasus ini adalah 'Ghafarallahu (semoga Allah mengampuninya) ' atau 'Rahimahullah (semoga Allah merahmatinya) ' dan semisal itu bila dia (orang yang meninggal dunia tersebut) seorang Muslim dan tidak boleh diucapkan 'al-maghfur lahu' atau 'al-marhum' karena tidak boleh bersaksi terhadap orang tertentu bahwa dia masuk surga, masuk neraka atau semisalnya kecuali orang yang memang sudah dipersaksikan Allah dengan hal itu di dalam KitabNya yang mulia atau orang yang telah dipersaksikan oleh RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa dia masuk surga seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Kahtthab, Utsman bin Affan, Ali dan para sahabat lainnya yang termasuk sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga dan selain mereka yang telah dipersaksikan beliau masuk surga seperti Abdullah bin Salam, Ukasyah bin Mihsan Radhiyallahu 'anhum, ataupun orang yang dipersaksikan beliau masuk neraka seperti Abu Thalib, Amr bin Luhay Al-Khuza'i dan selain keduanya yang telah dipersaksikan beliau masuk neraka -na'udzu billahi min dzalik-.
Jadi, kita bersaksi atas hal itu. Sedangkan orang yangg belum dipersaksikan Allah ataupun RasulNya masuk surga atau neraka, maka kita tidak bersaksi atasnya terhadap hal tersebut dengan menentukan orangnya. Demikian juga, kita tidak bersaksi terhadap seseorang tertentu mendapatkan ampunan (maghfirah) atau rahmat kecuali berdasarkan nash Kitabullah dan sunnah RasulNya.
Akan tetapi Ahlus Sunnah berharap baik bagi orang yang berbuat baik dan khawatir terhadap nasib orang yang berbuat keburukan dan bersaksi atas ahli iman secara umum bahwa mereka masuk surga dan orang-orang kafir masuk neraka sebagaimana hal itu telah dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam kitabNya.
"Artinya : Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu'min lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya".[At- Taubah : 72]
Dan Dia juga berfirman di dalamnya.
"Artinya : Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka". [At-Taubah : 68]
Sebagian ulama berpendapat boleh bersaksi atas masuk surga atau neraka bagi orang yang dipersaksikan oleh dua orang yang adil atau lebih bahwa dia baik atau buruk berdasarkan hadits-hadits shahih yang berisi tentang hal tersebut.
[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Juz V, hal. 365-366 dari fatwa Syaikh Ibn Baz][Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

Senin, 03 Desember 2007

Kadar Gula Naik.. makan aja Pare ..!!!

DALAM catatan phytopharmaca obat tradisional di Cina, buah pare (momordica charantia) sudah digunakan sebagai obat sejak tahun 1578 (Catatan Li). Baru kemudian muncul riset di Jerman, Jepang, Inggris, India, Thailand, dan Malaysia. Hasilnya, buah pare memiliki khasiat menurunkan kadar gula darah (hypoglycemic effect) baik pada hewan percobaan sehat maupun yang sudah dibikin menjadi sakit gula.

Dalam buah, daun, dan biji buah pare terkandung zat saponin, flavonoid, polifenol, selain glikosida jenis cucurbitacin, momordicin, dan charantin. Belum jelas zat mana yang berkhasiat menurunkan gula darah. Namun satu hal pasti, mekanisme kerja menurunkan gula darah pare terjadi melalui lebih dari satu cara. Selain langsung menurunkan gula darah, penyerapan gula oleh usus dikurangi, dan terkandung pula zat berkhasiat yang kerjanya menyerupai insulin (insulin-like substance).

Penelitian buah pare tidak cuma sebatas itu. Riset di Jerman berhasil menemukan dosis terapi pare pada kelinci. Uji klinis pada manusia di beberapa negara menunjukkan perkembangan. Memilih pare sebagai obat lebih aman dibanding obat sintetis. Maka pare sebetulnya menyimpan harapan bagi masyarakat kencing manis dunia. Selain menghemat ongkos berobat yang perlu sepanjang hidup, efek samping obat sintetis bisa ditiadakan oleh hadirnya bahan alami yang diperoleh dari khasiat pare.

Melihat harapan khasiat pare seperti itu, berarti pare dapat membantu semua kasus kencing manis, baik yang turunan maupun yang bukan turunan. Bagi kandidat berpenyakit gula dan mereka yang berbakat serta berisiko kena penyakit gula, buah pare berpotensi menggugurkan kemungkinan terkena.

Di Cina dan India pare sudah dipasarkan dalam bentuk tablet. Di beberapa negara Asia kini buah pare dipasarkan dalam bentuk teh siap seduh yang dikonsumsi untuk seluruh keluarga.
Memanfaatkan pare sebagai obat tak perlu takut bakal memikul efek samping seperti mengonsumsi obat kencing manis sintetis. Pare tak ubahnya dengan buah lain yang dikonsumsi sejak nenek moyang kita dulu. Rasa pahit pare dalam bentuk tablet atau teh seduh sudah hilang lewat teknologi tinggi, tanpa mengurangi zat berkhasiatnya

Jumat, 30 November 2007

Khasiat Daun Kopi & Daun Salam

Diabetes Melitus atau biasa disebut dengan Penyakit Gula adalah merupakan penyakit di mana kadar gula dalam darah seseorang melebihi batas normal yang diakibatkan kelenjar pankreas tidak berfungsi normal mengolah kadar gula, sehingga seseorang harus mengontrol dan diet makanan agar kadar gula tetap normal dan tidak menimbulkan komplikasi.

Gejala. Biasanya akan terdapat gejala banyak buang air kecil, terutama pada malam hari, sehingga penderita akan berulang kali bangun sebelum pagi hanya untuk ke kamar kecil. Selain itu juga akan merasa cepat lapar dan akan merasa lapar lagi walau belum beberapa lama. Merasa haus kalau belum beberapa lama kamu minum. Gejala lain yang sering juga dikeluhkan adalah sering kesemutan gatal ,mata kabur sehingga cepat ganti kacamata, disfungsi ereksi, gatal-gatal pada vulva vagina. Banyak makan tapi badan menjadi kurus, orang gemuk dengan cepat menjadi kurus.

Pengobatan Tradisional
· Siapkan 6 lembar daun salam (daun yang biasa di pakai buat penyedap masakan) dan 6 lembar daun kopi.
· Kedua daun tersebut usahakan di dapat dalam keadaan masih segar (tidak layu).
· Rebus kedua jenis daun tersebut secara bersamaan dengan 3 gelas air hingga tersisa 1 gelas air.
· Minum secara teratur selama satu Minggu.

Ramuan ini telah di coba kepada penderita Diabetes Miletus. Penderita mengalami penurunan kadar gula darah dari 420 mg/dl menjadi 120 mg/dl setelah mengkonsumsi ramuan tersebut dalam satu minggu.

Kamis, 22 November 2007

SAMI’NA WA ATHO’NA (Kami Dengar dan Kami Taat)

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Surah Al-Baqoroh :173]
Dari segi Ilmiyah dan kesehatan :

Bangkai, Darah, Hewan yang disembelih tidak menyebut Nama Allah Subhanahuwata’ala

Islam telah mengharamkan segala macam darah karena analisis kimia dari darah menunjukkan adanya kandungan yang tinggi dari uric acid (asam urat), yaitu suatu senyawa kimia yang bisa berbahaya bagi kesehatan manusia.

senyawa ini dikeluarkan sebagai kotoran, dan dalam kenyataannya bahwa 98% dari uric acid dalam tubuh, dikeluarkan dari dalam darah oleh Ginjal, dan dibuang keluar tubuh melalui air seni..

Nah...!!! mari kita perhatikan metode prosedur khusus dalam penyembelihan hewan dalam Islam.

Seorang penyembelih, dengan menyebut nama Allah Subhanahuwata’ala, membuat irisan dengan memotong urat nadi leher hewan, sembari membiarkan urat-urat dan organ-organ lainnya utuh. hal ini menyebabkan kematian hewan karena kehabisan darah dari tubuh, bukannya karena cedera pada organ vitalnya. Karena jika organ-organ, misalnya jantung, hati, atau otak dirusak, hewan tersebut dapat meninggal seketika dan darahnya akan menggumpal dalam urat-uratnya dan akhirnya mencemari daging. Hal tersebut mengakibatkan daging hewan akan tercemar oleh uric acid, sehingga menjadikannya beracun

Daging Babi dan semua yang mengandung Babi

Haramnya hewan Babi dan semua yang mengandung babi bagi umat muslim adalah disebabkan karena banyaknya parasit dan kotoran dalam hewan ini. Seperti cacing pita dllnya

Sebenarnya, diluar dari larangan Al-Qur'an dalam pengkonsumsian babi, bacon; pada
kenyataannya dalam Bible juga, pada Leviticus bab 11, ayat 8, mengenai babi, dikatakan, "Dari daging mereka (dari "swine", nama lain buat "babi") janganlah kalian makan, dan dari bangkai mereka, janganlah kalian sentuh; mereka itu kotor buatmu."

Lebih lanjut lagi, apakah anda tahu kalau babi tidak dapat disembelih di leher karena mereka tidak memiliki leher; sesuai dengan anatomi alamiahnya?, Muslim beranggapan seandainya babi memang harus disembelih dan layak bagi konsumsi manusia, tentu Allah Subhanahuwata’ala akan merancang hewan ini dengan memiliki leher.

Namun diluar itu semua, saya yakin anda tahu betul mengenai efek-efek berbahaya dari komsumsi babi, dalam bentuk apapun, baik itu pork chops, ham, atau bacon.
Ilmu kedokteran mengetahui bahwa ada resiko besar atas banyak macam penyakit. Babi diketahui sebagai inang dari banyak macam parasit dan penyakit berbahaya.

dan diluar itu semua, sebagaimana kita membicarakan mengenai kandungan uric acid dalam darah, sangat penting untuk diperhatikan bahwa sistem biochemistry babi mengeluarkan hanya 2% dari seluruh kandungan uric acidnya, sedangkan 98% sisanya tersimpan dalam tubuhnya.

Subhanallah… itulah penjelasan dari segi Ilmu dan kesehatan mengenai Bangkai, Darah, Babi dan hewan yang disembelih tidak menyebut nama Allah Subhanahuwata’ala yang pernah disampaikan oleh ceramah para da’i dan ilmuwan.

Namun yang perlu ditekankan adalah :

Sikap Rosulullah Salallahu alaihi Wasalam dan para sahabat untuk Sami’na Wa atho’na (kami dengar dan kami taat) pada segala macam perintah dan larangan yang diberikan Allah Subhanahuwata’ala untuk menghindarkan banyaknya pertanyaan-pertanyaan dan penghinaan terhadap ayat-ayat Allah Subhanahuwata’ala oleh kaum kufar.

Allah jualah yang memberikan taufiq

Rabu, 21 November 2007

Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Mengusap Muka Dengan Kedua Tangan Sesudah Selesai Berdo'a

Oleh : Abdul Hakim bin Amir Abdat


PENDAHULUAN

Sering kita melihat diantara saudara-saudara kita apabila telah selesai berdo'a, kemudian mereka mengusap muka mereka dengan kedua telapak tangannya. Mereka yang mengerjakan demikian itu, ada yang sudah mengetahui dalilnya, tapi mereka tidak mengetahui derajat dari dalil tersebut. Apakah sah datang dari Nabi shallallau 'alaihi wa sallam atau tidak .? Ada juga yang mengerjakan karena ikut-ikutan (taklid) saja.

Oleh karena itu jika ada orang bertanya kepada saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) : "Adakah dalilnya tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a, dan bagaimana derajatnya, sah atau tidak dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ..? Maka saya menjawab ; "Bahwa tentang dalilnya ada beberapa riwayat yang sampai kepada kita, tapi tidak satupun yang sah (shahih atau hasan) datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam".
Untuk itu ikutilah pembahasan saya di bawah ini, mudah-mudahan banyak membawa manfa'at bagi saudara-saudara.

HADIST PERTAMA

"Artinya : Dari Ibnu Abbas, ia berkata ; "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : Apabila engkau meminta (berdo'a) kepada Allah, maka hendaklah engkau berdo'a dengan kedua telapak tanganmu, dan janganlah engkau berdo'a dengan kedua punggungnya. Maka apabila engkau telah selesai berdo'a, maka usaplah mukamu dengan kedua telapak tanganmu". (Riwayat Ibnu Majah No. 1181 & 3866).

Hadits ini derajatnya sangatlah LEMAH/DLO'IF. Karena di sanadnya ada orang (rawi) yang bernama SHALIH BIN HASSAN AN-NADLARY. Para ahli hadits melemahkannya sebagaimana tersebut di bawah ini :
Kata Imam Bukhari : Munkarul Hadits (orang yang diingkari hadits/riwayatnya) .
Kata Imam Abu Hatim : Munkarul Hadits, Dlo'if.
Kata Imam Ahmad bin Hambal : Tidak ada apa-apanya (maksudnya : lemah).
Kata Imam Nasa'i : Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya).
Kata Imam Ibnu Ma'in : Dia itu Dlo'if.
Imam Abu Dawud telah pula melemahkannya.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid 2 halaman 291, 292).
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas, tapi di sanadnya ada seorang rawi yang tidak disebut namanya (dalam istilah ilmu hadits disebut rawi MUBHAM). sedang Imam Abu Dawud sendiri telah berkata : "Hadits inipun telah diriwayatkan selain dari jalan ini, dari Muhammad bin Ka'ab al-Quradziy (tapi) SEMUANYA LEMAH. Dan ini jalan yang semisalnya, dan ia (hadits Ibnu Abbas) juga lemah". (Baca : Sunan Abi Dawud No. 1485).

HADITS KEDUA

Telah diriwayatkan oleh Saa-ib bin Yazid dari bapaknya (Yazid) :
"Artinya : Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila beliau berdo'a mengangkat kedua tangannya, (setelah selesai) beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya". (Riwayat : Imam Abu Dawud No. 1492).

Sanad hadits inipun sangat LEMAH, karena di sanadnya ada rawi-rawi :
IBNU LAHI'AH, seorang rawi yang lemah.
HAFSH BIN HASYIM BIN 'UTBAH BIN ABI WAQQASH, rawi yang tidak diketahui/dikenal (majhul).
[Baca : Mizanul 'Itidal jilid I hal. 569].

HADITS KETIGA

Telah diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata :
"Artinya : Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo'a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya". (Riwayat : Imam Tirmidzi).
Hadits ini sangat lemah, karena disanadnya ada seorang rawi bernama HAMMAD BIN ISA AL-JUHANY.

Dia ini telah dilemahkan oleh Imam-imam : Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni.
Imam Al-Hakim dan Nasa'i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja'far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.

[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid III hal. 18-19]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :"Adapun tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo'a, maka sesungguhnya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak (jumlahnya). Sedangkan tentang beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya (sesudah berdo'a), maka tidak ada padanya (hadits yang shahih lagi banyak), kecuali satu-dua hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah (alasan tentang bolehnya) dengan keduanya".[Baca : Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 22 hal. 519].
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berkata : Bahwa perkataan Ibnu Taimiyah tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih lagi banyak, ini memang sudah betul dan tepat. Bahkan hadits-haditsnya dapat mencapai derajat mutawatir karena telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat.
Di bawah ini saya akan sebutkan sahabat yang meriwayatkannya dan Imam yang mengeluarkan haditsnya :

Oleh Abu Humaid (Riwayat Bukhari & Muslim).
Oleh Abdullah bin Amr bin Ash (Riwayat Bukhari & Muslim).
Oleh Anas bin Malik (Riwayat Bukhari) tentang Nabi berdo'a di waktu perang Khaibar dengan mengangkat kedua tangannya.
Oleh Abu Musa Al-Asy'ari (Riwayat Bukhari dan lain-lain).
Oleh Ibnu Umar (Riwayat Bukhari).
Oleh Aisyah (Riwayat Muslim).
Oleh Abu Hurairah (Riwayat Bukhari).
Oleh Sa'ad bin Abi Waqqash (Riwayat Abu Dawud).

Dan lain-lain lagi shahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya di berbagai tempat. Semua riwayat di atas (yaitu : tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a mengangkat kedua tangannya) adalah merupakan FI'IL (perbuatan) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun yang merupakan QAUL (perkataan/sabda) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada di-riwayatkan oleh Malik bin Yasar (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Apabila kamu meminta (berdo'a) kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan telapak tangan kamu, dan janganlah kamu meminta kepada-nya dengan punggung (tangan)".(Shahih Riwayat : Abu Dawud No. 1486).

Kata Ibnu Abbas (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) :
"Artinya : Permintaan (do'a) itu, yaitu : Engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu".(Riwayat Abu Dawud No. 1486).

Adapun tentang tambahan "mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a" telah kita ketahui, semua riwayatnya sangat lemah dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi yang sunahnya itu hanya mengangkat kedua telapak tangan waktu berdoa.

Adalagi diriwayatkan tentang mengangkat kedua tangan waktu berdo'a.
"Artinya :Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah itu Baik, dan Ia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah perintahkan mu'minim sebagaimana Ia telah perintahkan Rasul, Ia berfirman : "Wahai para Rasul !.. Makanlah dari yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih, sesungguhnya Aku dengan apa-apa yang kamu kerjakan maha mengetahui ". (Al-Mu'minun : 51).
Dan Ia telah berfirman (pula) : "Wahai orang-orang yang beriman !. Makanlah dari yang baik-baik apa-apa yang Kami rizkikan kepada kamu". (Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang mengadakan perjalanan jauh dengan rambut kusut-masai dan berdebu. (orang tersebut) mengangkat kedua tangannya ke langit (berdo'a) : Ya Rabbi ! Ya Rabbi ! (Kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya) : "Sedangkan makanannya haram dan minumannya haram dan pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana dapat dikabulkan (do'a) nya itu".(Shahih Riwayat Muslim 3/85).

Di hadits ini ada dalil tentang bolehnya mengangkat kedua tangan waktu berdo'a (hukumnya sunat). Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menceritakan tentang seseorang yang berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Orang tersebut tidak dikabulkan do'anya karena : Makanan, minuman, pakaiannya, dan diberi makan dari barang yang haram atau hasil yang haram.

KESIMPULAN

Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo'a. Semua hadits-haditsnya sangat dlo'if dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya. Karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mengamalkannya berarti BID'AH.

Berdo'a dengan mengangkat kedua tangan hukumnya sunat dengan mengambil fi'il dan qaul Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah sah. Ada lagi kebiasaan bid'ah yang dikerjakan oleh kebanyakan saudara-saudara kita yaitu : Mengusap muka dengan kedua telapak tangan atau satu telapak tangan sehabis salam dari shalat.

Selasa, 20 November 2007

Hukum Mengucapkan SHADAQALLAHUL AZHIM Ketika SelesaiI Membaca AL-QUR’AN

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Mayoritas orang terbiasa mengucapkan, “Shadaqallahul ‘azhim” ketika selesai membaca al Qur’an, padahal ini tidak ada asalnya, maka tidak boleh dibiasakan, bahkan menurut kaidah syar’iyah hal ini termasuk bid’ah bila yang mengucapkan berkeyakinan bahwa hal ini sunnah. Maka hendaknya ditinggalkan dan tidak membiasakannya karena tidak adanya dalil yang menunjukkannya.
Adapun firman Allah Ta’ala.“Artinya : Katakanlah, ‘Benarlah (apa yang difirmankan) Allah” [Ali Imran : 95].Bukan mengenai masalah ini, tapi merupakan perintah Allah Ta’ala untuk menjelaskan kepada manusia bahwa apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu benar yaitu yang disebutkan di dalam kitab – kitab-Nya yang agung yakni Taurat dan lainnya, dan bahwa Allah Ta’ala itu Maha Benar dalam ucapan-Nya terhadap para hamba-Nya di dalam kitab-Nya yang agung, al Qur’an.
Tetapi ayat ini bukan dalil yang menunjukkan sunnahnya mengucapkan, “ShadaqallaH” setelah selesai membaca al Qur’an atau membaca beberapa ayatnya atau membaca salah satu suratnya, karena hal ini tidak pernah ditetapkan dan tidak pernah dikenal dari Nabi ShallallHu ‘alaiHi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum.Ketika Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu membaca awal Surat An-Nisa di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga sampai pada ayat, “Artinya : Maka bagaimanakah (halnya orang – orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi dari tiap – tiap umat dan Kami mendatangkan kamu” (Hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu” [An Nisaa’ : 41]
Beliau berkata pada Ibnu Mas’ud, “cukup”, Ibnu Mas’ud menceritakan, “Lalu aku menoleh kepada beliau, ternyata matanya meneteskan air mata” [Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 5050)]Maksudnya, bahwa beliau menangis saat disebutkannya kedudukan yang agung itu pada hari Kiamat kelak, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tadi.“Artinya : Maka bagaimanakah (halnya orang – orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi dari tiap – tiap umat dan Kami mendatangkan kamu” (Hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu” [An Nisaa’ : 41]Yaitu terhadap umat beliau.
Dan sejauh yang kami ketahui, tidak ada seorang ahlul ilmi pun yang menukil dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’ anhu bahwa ia mengucapkan “shadaqallahul azhim” ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “cukup”. Maksudnya, bahwa, mengakhiri bacaan Al-Qur’an dengan ucapan “shadaqallahu azhim” tidak ada asalnya dalam syari’at yang suci. Tapi jika seorang melakukannya sekali-kali karena kebutuhan, maka tidak apa-apa.
[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syaikh Ibnu Baz (7/329-331]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa – Fatwa Terkini Jilid 2, Penyusun : Syaikh Khalid al Juraisiy, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1424 H/Februari 2004 M]

Senin, 19 November 2007

Akhir Kesudahan Ahli Bid'ah

Oleh :Syaikh Muhammad Musa An-Nasr
Abu Musa Al As’ari Radhiyallahu 'anhu memasuki masjid Kufah, lalu didapatinya di masjid tersebut terdapat sejumlah orang membentuk halaqah-halaqah (duduk berkeliling).
Pada setiap halaqah terdapat seorang Syaikh, dan didepan mereka ada tumpukan kerikil, lalu Syaikh tersebut menyuruh mereka (yang duduk di halaqah) : “Bertasbihlah (ucapkan subhanallah) seratus kali!”, lalu mereka pun bertasbih (menghitung) dengan kerikil tersebut. Lalu Syaikh itu berkata kepada mereka lagi : “Bertahmidlah (ucapkan alhamdulillah) seratus kali!” dan demikianlah seterusnya ……
Maka Abu Musa Radhiyallahu 'anhu mengingkari hal itu dalam hatinya dan ia tidak mengingkari dengan lisannya. Hanya saja ia bersegera pergi dengan berlari kecil menuju rumah Abdullah bin Mas’ud, lalu iapun mengucapkan salam kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin mas’ud pun membalas salamnya.
Berkatalah Abu Musa kepada Abu Mas’ud : “Wahai Abu Abdurrahman, sungguh baru saja saya memasuki masjid, lalu aku melihat sesuatu yang aku mengingkarinya, demi Allah tidaklah saya melihat melainkan kebaikan. Lalu Abu Musa menceritakan keadaan halaqah dzikir tersebut.Maka berkatalah Abu Mas’ud kepada Abu Musa : “Apakah engkau memerintahkan mereka untuk menghitung kejelekan-kejelekan mereka? Dan engkau memberi jaminan mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan hilang sedikitpun?!” Abu Musa pun menjawab : “ Aku tidak memerintahkan suatu apapun kepada mereka”. Berkatalah Abu Mas’ud : “Mari kita pergi menuju mereka”.
Lalu Abu Mas’ud mengucapkan salam kepada mereka. Dan mereka membalas salamnya. Berkatalah Ibnu Mas’ud :“Perbuatan apa yang aku lihat kalian melakukannya ini wahai Umat Muhammad?” mereka menjawab : “Wahai Abu Abdurrahman, ini adalah kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih, tahmid, dan tahlil, dan takbir”.
Maka berkatalah Abu Mas’ud : “Alangkah cepatnya kalian binasa wahai Umat Muhammad, (padahal) para sahabat masih banyak yang hidup, dan ini pakaiannya belum rusak sama sekali, dan ini bejananya belum pecah, ataukah kalian ingin berada diatas agama yang lebih mendapat petunjuk dari agama Muhammad ? ataukah kalian telah membuka pintu kesesatan? Mereka pun menjawab : “Wahai Abu Abdurrahman, demi Allah tidaklah kami menginginkan melainkan kebaikan”. Abu Mas’ud pun berkata :"Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya”.
Berkata Amru bin Salamah : “Sungguh aku telah melihat umumnya mereka yang mengadakan majelis dzikir itu memerangi kita pada hari perang “An Nahrawan” bersama kaum Khawarij”. (Riwayat Darimi dengan sanad shahih)Aku (Syaikh Musa Nasr) berkata : “Firasat Ibnu Mas’ud terhadap mereka (yaitu ahli bid’ah yang mengadakan halaqah dzikir) benar, dimana ahli bid’ah itu bergabung bersama kaum khawarij disebabkan “terus menerusnya” mereka dalam kebid’ahan. Dan inilah akhir kesudahan seseorang yang “terus menerus” dalam kebid’ahannya, serta menyelisihi para sahabat nabi.
Akan tetapi mungkin seseorang di zaman kita berkata : “Apakah yang diingkari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu? Apakah berdzikir kepada Allah itu bid’ah?!! Kita katakan : “Maha suci Allah, jika dikatakan dzikir kepada-Nya adalah bid’ah, khususnya jika dzikir itu adalah dzikir yang disyariatkan, tetapi yang bid’ah hanyalah cara (berdzikir) dimana mereka berkumpul padanya, serta cara yang mereka lakukan dalam berdzikir kepada Allah, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahanbat beliau tidak pernah mengamalkannya. Dan khawarij yang dicela oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang mereka : “Jika aku menjumpai mereka, niscaya benar-benar akan aku bunuh mereka sebagaimana pembunuhan terhadap kaum Ad” [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]
Sesungguhnya hanyalah Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam mengancam mereka dikarenakan perbuatan mereka yang bid’ah dan mungkar, yaitu : mereka mengkafirkan kaum muslimin lantaran perbuatan maksiyat, dan mereka menganggap kaum muslimin masuk neraka kekal (lantaran perbuatan maksiat) padahal (yang benar) pelaku dosa besar tidak kekal dalam neraka. Sebagaimana juga mereka mewajibkan bagi perempuan yang haid untuk mengganti shalat (yang ia tinggalkan ketika haid) sebagaimana ia mengganti puasa (Ramadhan jika ia haid pada waktu itu).Maka mereka berbuat melampaui batas dalam agama mereka, dan mereka beramal dengan sangat membebani diri, bahkan mereka (yaitu khawari) telah khuruj (keluar) dari ketaatan kepada anak paman Rasulullah, menantu beliau Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu (ketika menjadi khalifah) bahkan mereka bunuh Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu secara dhalim dan kedustaan.
Dan Nabi kita Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda : “Artinya : Sesungguhnya Allah menahan taubat dari setiap ahli bid’ah hingga ia bertaubat dari kebid’ahannya”Sedangkan lisan keadaan ahli bid’ah berkata : “Ini adalah agama Muhammad bin Abdullah”. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Imam Malik, dimana ia berkata : “Barangsapa berbuat suatu kebid’ahan dalam agama Islam yang ia pandang baik maka sungguh ia menyangka bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah, karena Allah berfirman : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(Al Maidah 3).
Maka apa saja yang pada waktu itu bukan agama tidaklah pada hari ini dianggap sebagai agama, dan tidak akan baik akhir umat ini melainkan dengan apa yang baik pada umat yang awal (para sahabat).”Pelaku bid’ah diharamkan dari minum seteguk air yang nikmat dari tangannya Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam dan dari telaganya yang mana telaga itu lebih putih dari salju dan lebih manis daripada madu.Maka sungguh telah benar dari hadits Anas Radhiyallahu 'anhu ia berkata : Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda :“Artinya : Benar-benar suatu kaum dari umatku akan ditolak dari telaga sebagaimana unta asing ditolak (dari kerumunan unta)”, maka aku berkata : “Ya Allah itu adalah umatku”, maka dikatakan : “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]
Maka demikianlah kesudahan akhir ahli bid’ah baik pada masa lampau atau masa sekarang, (Semoga Allah melindungi kita dari akhir kematiaan buruk seperti mereka). Maka apakah sadar mereka para ahli bid’ah pada setiap zaman dan tempat pada buruknya tempat kembali mereka? Maka hendaklah mereka bertaubat kepada Allah dengan taubat “nasuha” (taubat yang murni), kita mengharapkan bagi mereka yang demikian itu.Dan hanya Allah saja Dzat yang memberi petunjuk kepada jalan untuk ittiba’ (mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya).
[Diterjemahkan dari majalah al Ashalah edisi 27 halaman 17-18][Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi Th. II/No. 07 Diterbitkan Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali Al-Irsyad Jl Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
 

blogger templates | Make Money Online